Desa wisata Penglipuran lebih banyak memikat turis domestik daripada turis asing.
Akhir Maret lalu, misalnya, dari sekitar 500 pengunjung Desa Penglipuran siang itu, dominan wisatawan domestik dan turis lokal. Turis asing hanya satu dua.
Para pengujungnya yang lalu-lalang berasal dari rombongan siswa kelas XI dari SMA Jepara, Jawa Tengah. Sisanya pengunjung lokal Bali. Ada yang dari Denpasar, Badung, dan Tabanan. Turis asing satu-dua yang berasal dari Jepang.
Desa tradisional Bali ini terletak sekitar 50 km timur laut Denpasar (arah Kintamani). Jalan ke desa mulus. Setiap hari, rata-rata sekitar 300 turis berkunjung setiap hari, termasuk turis lokal.
Seorang turis lokal dari Denpasar, I Nyoman Rudita, mengatakan senang mengajak keluarganya ke desa, sebagai selingan rekreasi ke mall. “Bosan juga ke mall terus, sesekali rekreasi ke desa,” ujar Nyoman yang berdinas sebagai hakim di Jawa Timur. Saat bekerja, dia tinggal berpisah dengan keluarganya.
“Saya juga pengen ke sini, jadinya kalau ditanya teman sekantor di Jawa, sebagai orang Bali bisa jawab,” ujarnya.
Siang itu, Nyoman mengajak dua anaknya, dan istrinya. Seperti turis lainnya, dia pun jeprat-jepret, selfie, dan belanja di kios-kios penduduk yang digelar untuk menyambut turis.
Ceramah Adat
Siang itu, dari balai desa di depan gerbang, terdengar suara ceramah adat. Ternyata di sana duduk berkumpul siswa dari Jepara. Dari pengeras suara terdengar penceramah menjelaskan adat dan budaya Bali, termasuk ihwal pecalang, yaitu petugas keamanan yang berada dalam struktur desa adat.
Lewat ceramah, pengunjung tak hanya bisa mengetahui apa yang dilihat tetapi juga memahami tradisi masyarakat.
Usai ceramah, para siswa ke luar melihat-lihat desa. Ada yang masuk ke rumah penduduk, membeli minuman atau suvenir. Lainnya berfoto di depan gerbang masuk rumah (angkul-angkul) unik Desa Penglipuran.
Desa Penglipuran membentang dari Utara ke Selatan, dibelah jalan selebar tiga meter. Jalan desa yang bebas dari kendaraan itu tampak bersih. Rumput hijau rapi, pun saluran air yang membujur di kedua tepi jalan desa.
Di kiri-kanan jalan, berjejer angkul-angkul seragam bentuknya, sebagian beratap kepingan bambu sehingga tampak tradisional. Ada sebanyak 76 angkul-angkul, berarti ada 76 rumah warga keluarga utama (pangarep).
Terbuka buat Turis
Rumah mereka terbuka untuk wisatawan. Ada yang menyulapnya menjadi kios kecil menjual suvenir seperti kain dan patung khas Bali. “Ada kopi luwak juga Pak. Langsung dari olahan pabrik,” ujar Men Cobar (begitu dia memperkenalkan diri). Dia menawarkan dagangannya kepada wisatawan anak-anak SMA Jepara yang masuk ke rumahnya.
Selain suvenir dan kopi, dia juga menjual kelepon berbahan baku ketela yang katanya lezat. “Mau nyoba loloh ceremcem,” ujarnya menawarkan jamu. Men Cobar sangat ramah dan beberapa kali menyampaikan ‘silakan masuk, lihat-lihat. Tak beli juga tak apa-apa’.
Dia juga menjual durian, buah yang lagi musimnya Maret ini. “Langsung dari pohonnya. Segar. Kalau tak enak, tak usah bayar,” ujarnya memberikan jaminan mutu.
Suaminya di depan rumah berjaga. Juga ramah menawarkan wisatawan masuk dan mengucapkan selamat jalan serta terima kasih kepada yang berkunjung. Rumahnya bersih, nyaman dikunjungi turis. Tersedia kamar mandi di belakang, yang juga bersih, disediakan bagi pengunjung yang memerlukan. Turis yang membeli durian, bisa mencuci tangan dari ari keran yang sejuk.
Sejak 1991
Desa Penglipuran memang berudara sejuk, terletak sekitar 700 meter di permukaan laut. Desa seluas 112 hektar ini dijadikan objek wisata sejak 1991, saat Bali dimpimpin oleh Gubernur Ida Bagus Oka. Tujuannya menambah daya tarik wisata dan mengarahkan distribusi ekonomi pariwisata sampai ke desa-desa.
Potensi Penglipuran sebagai desa wisata memang kuat.
Penglipuran termasuk desa Bali tradisional, dilihat dari pola menetap dan adatnya. Di ujung desa, terdapat pura, yang juga menjadi daya tarik wisata. Bila ada upacara di desa ini, sepanjang jalan yang mebentang dari bawah ke atas yang membelah desa biasanya berjejer penjor yang membuat suasana desa sangat indah dan religius.
Di ujung desa, terdapat hutan bambu. Selain daya tarik budaya, Penglipuran juga menawarkan daya tarik alam.
Sejak pertama digagas tahun 1991 sampai sekarang, berarti sudah hampir 25 tahun, tidak juga menjadi desa wisata yang mentereng. Fasilitas masih terbatas, misalnya saat musim ramai tempat parkir saja tidak cukup, demikian juga toilet.
Pada 15 Desember 2012, pemerintah Pusat melalui Kementerian Pariwisata meresmikan lagi Desa Penglipuran sebagai desa wisata setelah melakukan penataan fisik dan sumber daya manusia (SDM). Penglipuran kemudian menjadi desa wisata berbasis masyarakat.
Pemprov Bali di era Gubernur Made Mangku Pastika membaut proyek membangun 100 desa wisata sampai 2018. Sejauh ini, baru tujuh yang tergarap termasuk Desa Penglipuran. Lainnya adalah Ubud (Gianyar), Desa Jasri dan Desa Budakeling (Karangasem), dan Belimbingsari (Jembrana).
Dalam 15 tahun terakhir, penduduk desa mulai berani membuka rumahnya menjadi home stay, bisa menerima wisatawan menginap. Walau tidak semua, beberapa rumah sudah menjadi pelopor. Di depan gerbang masuk, tertulis home stay.
Home stay hadir dalam wujud rumah modern. Meski demikian, tiap rumah masih memiliki rumah tradisional berdinding gedeg, beratap bilah bambu.
Tiket masuk ke objek wisata Penglipuran terus mengalami penyesuaian, dari Rp 7.500 menjadi Rp 15.000. Ketika kami datang berlima, petugas meminta Rp 75.000. Artinya, mobil kami tidak dikenai ongkos parkir. Harga ini berdasarkan peraturan daerah tahun 2010.
Jika rata-rata pengunjung per hari 300 orang, berarti desa wisata ini bisa mendapat pendapatan per hari sekitar Rp 4,5 juta. Pada musim ramai, jumlah itu bisa lebih banyak. Jumlah ini relatif kecil, apalagi pendapatan itu mesti dibagi dengan pemerintah daerah yang membutuhkan dana untuk menjaga fasilitas seperti jalan.
Masyarakat Menyambut
Walaupun perkembangannya menjadi desa wisata agak alot, yang pasti Penglipuran termasuk salah satu desa wisata populer di Bali. Masyarakat mendukung pengembangannya, terbukti dari kemampuan mereka menjaga kebersihan desa.
Pendapatan desa wisata ini bisa mendukung dana pembiayan desa, termasuk membangun pura atau melaksanakan upacara yang frekuensinya lumayan banyak. Men Cobar mengatakan bahwa mereka tidak lagi wajib membayar iuran untuk keperluan pembangunan desa karena sudah ada pendapatan dari pengelolaan desa sebagai objek wisata.
Selain pendapatan desa, warga yang aktif dan kreatif menjual suvenir dan makanan-minuman kecil, juga bisa mendapatkan sekadar recehan dari wisatawan. Sejauh masyarakat menikmati hasilnya, mereka akan mampu mempertahankan status sebagai desa wisata berbasis masyarakat. [b]