Suasana asri menyambut tiap pengunjung Desa Penglipuran.
Rapinya desa ini terlihat sejak di pintu masuk begitu melewati candi bentar, pintu gerbang besar khas Bali. Tanaman perindang di kanan kiri jalan tertata rapi. Hijau dan asri. Udara berkisar 20 derajat celcius di desa ini.
Kondisi lebih tertata terlihat setelah masuk kawasan pemukiman desa di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut itu. Tempat parkir dengan paving. Wantilan atau aula pertemuan terbuka tanpa dinding. Taman-taman di depan rumah. Tempat sampah tidak hanya dua jenis tapi bahkan sampai lima jenis tong sampah –anorganik, plastik, sampah lain, organik, dan bahan berbahaya– berada di salah satu pojokan halaman.
Desa Penglipuran tidak hanya tertata rapi tapi juga sangat peduli lingkungan. Karena itu pula, dia termasuk salah satu desa wisata yang paling banyak dikunjungi di Bali. Salah satu sumber bahkan menyebut desa ini sebagai salah satu desa paling bersih di dunia selain Desa Giethoorn di Belanda dan Mawlynnong di India.
Jika penilaian itu terlalu bombastis, satu hal yang setidaknya sudah terbukti, Desa Penglipuran bisa disebut sebagai desa paling bersih di Bali.
Desa berjarak sekitar 50 km dari Denpasar ini masuk wilayah Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Perjalanan dari Denpasar menempuh sekitar 1,5 jam dengan kendaraan pribadi. Agen-agen pariwisata di Bali juga menjadikan kunjungan ke Desa Penglipuran sebagai bagian dari paket perjalanan karena searah dengan kawasan wisata lain yang lebih populer yaitu Gunung dan Danau Batur di Kintamani, Bangli.
Karena sudah resmi menjadi sebuah desa wisata, maka desa ini menyediakan karcis bagi tiap pengunjung, turis domestik maupu asing. Tiketnya Rp 15.000 per orang dewasa.
Rapi dan bersihnya Penglipuran Desa Wisata nan Asri di Bangli terlihat dari penataan desa. Peta desa dipasang di papan kayu tempat parkir sehingga pengunjung juga bisa melihatnya sebelum masuk ke kawasan inti pemukiman. Penataan wilayah desa mengikuti konsep tata ruang ala Bali yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu Nista Mandala di bagian paling luar, Madya Mandala di bagian tengah, dan Utama Mandala di bagian paling inti atau paling suci.
Desa ini dikelilingi jalan raya pedesaan. Hanya ada satu jalan utama di tengah desa. Uniknya, kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil tidak boleh masuk jalan utama di tengah desa. Mereka harus memutar di jalan raya yang mengelilingi desa tersebut. Karena itulah desa ini juga terjaga dari polusi suara ataupun udara kendaraan bermotor.
Jalan utama di tengah desa membelah pemukiman warga yang terdiri dari sekitar 230 rumah. Di jalan utama yang masuk kawasan Madya Mandala inilah para turis bisa berjalan-jalan menikmati asri dan bersihnya Desa Penglipuran.
Penglipuran Desa Wisata nan Asri di Bangli
Barisan Penjaga
Penataan Penglipuran Desa Wisata nan Asri di Bangli terlihat pula pada seragamnya penataan tiap rumah warga. Angkul-angkul, pintu gerbang terbuat dari batu padas atau batu bata, berdiri megah di bagian paling luar tiap rumah. Deretan angkul-angkul di bagian depan rumah seperti barisan para penjaga yang berdiri menyambut turis dan para penghuninya.
Jalan utama desa sepanjang sekitar 500 meter yang membelah desa dihiasi tanaman hias, seperti rumput taman dan bunga-bunga lainnya. Tiap hari, warga merawat tanaman-tamanan hias tersebut. “Tidak ada keharusan dari desa, tapi kami memang merawatnya demi kebersihan desa kami sendiri,” kata Nengah Kurniasih yang awal April lalu mencabut rumput di depan rumah bersama cucunya.
Menurut Kurniasih, penataan desanya dimulai pada 1992. Pada tahun tersebut Bupati Bangli saat itu, Anak Agung Made Putra mencanangkan desa wisata. Ide ini adalah tindak lanjut dari penetapan Penglipuran sebagai desa konservasi oleh pemerintah setempat. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga sedang gencar-gencarnya mempromosikan desa-desa wisata di Bali.
Peresmian Penglipuran Desa Wisata nan Asri di Bangli sebagai desa wisata dilakukan oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi saat itu, Soesilo Soedarman. Desa lain di Bali yang masuk sebagai desa wisata adalah Desa Baha di Kabupaten Badung dan Desa Tenganan Pegeringsingan di Kabupaten Karangasem.
Program sejak 24 tahun lalu itu masih berjalan di Penglipuran. Meskipun tidak ada aturan khusus, para warga seperti Nengah Kurniasih masih menerapkan prinsip hidup ramah lingkungan.
Selain penataan rumah masing-masing, warga juga menerapkan pengolahan sampah secara berkelanjutan. Nengah Sariasih, warga lain di Desa Penglipuran, melakukan pemilahan sampah tiap hari. Di dalam rumahnya, Sariasih membuka warung kecil. Dia menyediakan tong sampah organik dan organik di rumahnya. “Sampah-sampah plastiknya kami kumpulkan untuk kami jual setiap seminggu sekali,” katanya.
Untuk sampah organik, warga belum melakukan pengolahan secara pribadi di rumah masing-masing. Mereka hanya mengumpulkan untuk kemudian diambil tim sampah desa dan dibuang ke tempat pembuangan akhir di desa.
Di tiap rumah, warga juga mempraktikkan budi daya tanaman rumah tangga. Selain tanaman hias juga ada tanaman untuk keperluan pangan, terutama cabai, tomat, dan aneka sayur. Begitu pula yang dilakukan Sariasih dan Kurniasih.
Desa ini mendapatkan Piala Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan dari pemerintah pada 1995.
Pelestarian lingkungan di Penglipuran Desa Wisata nan Asri di Bangli ini juga dilakukan melalui upaya konservasi hutan bambu di luar desa. Hutan bambu seluas 45 hektar ini adalah bagian dari lahan milik pura desa (laba pura). Ada peraturan warga tidak boleh sembarangan menebang bambu di sini. Mereka hanya boleh melakukan tebang pilih pada hari tertentu. Jalan setapak yang tertata rapi membuat pengunjung bisa menikmati dengan leluasa hutan bambu di Penglipuran ini.
Rimbun dan teduhnya hutan juga bisa jadi latar belakang foto-foto. Bagus sebagai kenang-kenangan dan bukti bahwa kita sudah pernah jalan-jalan ke salah satu desa paling bersih dan peduli lingkungan di Bali ini. [b]