Jangan berpoligami di desa ini. Atau Anda akan dikucilkan.
Penglipuran desa tradisional di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa ini dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 2 jam dari pusat kota Denpasar melewati kota Gianyar menuju arah utara. Dari Gianyar ke arah Bangli, desa ini berada di kiri jalan sebelum kota Bangli.
Wayan Supat, Bendesa Adat Desa Penglipuran memaparkan keunikan di Desa Penglipuran. Di lingkungan desa terdapat Tugu Pahlawan Penglipuran sebagai simbol perjuangan Kapten Anak Agung Anom Mudita dari Puri Kanginan Bangli. Tugu ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab krama adat Desa Penglipuran dan tidak dilimpahkan kepada pemerintah.
Desa Penglipuran memiliki luas 112 hektar berbatasan dengan Desa Kubu di sebelah timur dan Desa Cempaga di sebelah barat.
Masyarakat Penglipuran menganut sistem organisasi ulu apat yaitu adanya jenjang tingkatan sosial dimulai dari angka 1 – 76. Jero Kubayan adalah sebutan untuk orang pada urutan 1. Keberadaannya di masyarakat dianggap paling tinggi. Bendesa sendiri saat ini berada pada urutan 27.
Sejak 1973 Desa Penglipuran telah ditetapkan sebagai obyek wisata desa. Penetapan ini merupakan keputusan pemerintah, bukan keinginan masyarakat setempat.
Masyarakat setempat hanya ingin melestarikan bangunan tradisional sebagai warisan leluhur mereka. Ciri paling menonjol yaitu adanya konsep tata ruang Tri Mandala di mana rumah terletak dari utara ke selatan, tempat yang paling tinggi terdapat Pura Penataran dan Pura Desa.
Di sekitar desa tersebar hutan bambu. Di sekitar hutan bambu terlihat sebongkah batu yang menurut masyarakat Penglipuran merupakan kawasan suci. Selain itu, di sini ada angkul-angkul rumah dengan motif sederhana. Maka, tak peduli kaya atau miskin, semua warga menggunakan motif angkul-angkul yang sama.
Rasa kekeluargaan masyarakat Penglipuran sangat harmonis. Hal ini karena jika masuk dalam salah satu rumah akan mampu melintas ke rumah sebelah tanpa melewati pintu utama. Selain itu, ketika hujan, air cucuran atap akan jatuh ke utara menuju atap rumah sebelah rumah.
Korban Suci
Masyarakat adat Desa Penglipuran juga memiliki tradisi unik saat ada yang meninggal. Saat penguburan orang meninggal, warga selalu menyembelih 1 ekor sapi sebagai korban suci. Perbedaan antara jenazah laki-laki dan perempuan yaitu jenazah laki-laki diletakkan tengkurap dan jenazah wanita diletakkan tengadah.
Potensi hutan bambu di sini memiliki fungsi ekologis yaitu mampu menahan tanah dari longsor. Secara ekonomis, bambu berfungsi dalam pembuatan atap sirat bambu. Selain itu umat Hindu dari lahir sampai mati pun tetap memerlukan bambu.
Adapun aturan adat yang disepakati berupa larangan tidak boleh menaruh jemuran di depan rumah serta tidak boleh keluar rumah pukul 9 malam hingga 5 pagi. Cermin persatuan kesatuan warga tercermin dari kondisi setiap rumah saling berdampingan dan ada jalan di samping rumah menuju rumah sebelah.
Inilah yang menyebabkan Desa Penglipuran begitu unik di tengah-tengah kondisi masyarakat modern perkotaan. Mereka tidak pernah khawatir tetangga sebelah bila ada kasus pencurian walaupun di setiap rumah terdapat pintu di sebelahnya. Penglipuran memang menyimpan banyak hal berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini.
Anti-Poligami
Selain uniknya arsitektur desa, Penglipuran juga memiliki aturan unik terkait perkawinan. Desa ini melarang warga laki-lakinya untuk memiliki istri lebih dari satu. Salah satu bagian di awig-awig (aturan adat) desa berbunyi tan kadadosang madue istri langkung ring asiki yang berarti warga adat tak boleh beristri lebih dari satu.
Jika ada warga yang melanggar, maka dia akan disepekang (dikucilkan) dari pemukiman warga umumnya. Tempat pengucilan ini disebut Karang Memadu atau tempat untuk orang beristri lebih dari satu. Lokasinya di ujung selatan desa. Warga menganggap lahan ini kotor atau leteh.
Sepekang ini masih diterapkan oleh sebagian desa adat di Bali meskipun sudah dilarang oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) karena dianggap tidak manusiawi. Saat disepekang, orang tersebut akan tinggal untuk sementara waktu di luar desa. Warga akan membuatkan gubuk sementara.
Begitu pula di Desa Penglipuran. Jika ada warga yang beristri lebih dari satu, maka dia akan disepekang di Karang Madu dan tinggal di gubuk yang dibuatkan oleh warga.
Nyatanya, hingga saat ini, menurut Wayan Supat, belum ada satu pun warga yang berani melanggar awig-awig ini. Belum ada lelaki Penglipuran yang berani beristri lebih dari satu.
Akibatnya, Karang Memadu itu pun belum pernah digunakan hingga saat ini. Lahan itu hanya berupa tanah kosong dengan alang-alang liar tumbuh di sana. Bukti bahwa tak ada warga adat yang berani melanggar aturan tersebut. [b]
*Lepas Nafas Panjang* … Menarik isi cerita nya. Alur penyampaian runut. *Click* Like 🙂
Opini: tidak berani berpoligami karena awig-awig yang “saklek”, moga2 aja tidak ada yang berselingkuh diluar desa, diantara gemah ripah perkembangan IT saat ini 😉