Menangkap ikan konsumsi dengan cara asal ternyata memiliki dampak buruk.
Ikan yang belum siap panen, karena terjaring, tidak bisa berkembang-biak. Walhasil populasinya kian menurun. Begitu pula jika nelayan menggunakan bahan tak ramah lingkungan seperti peledak atau racun.Bisa dipastikan tidak hanya ekosistem laut saja yang rusak tetapi juga dapat membahayakan orang yang mengkonsumsi ikan tersebut.
Karena itu, WWF Indonesia bekerja sama dengan sejumlah organisasi, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain membentuk Jaring Nusantara (Jarnus). Organisasi ini memberi pengetahuan serta pelatihan bagaimana menangkap ikan dengan baik dan benar serta ramah lingkungan kepada nelayan setempat. Prosesnya mulai dari penangkapan, pengepakan hingga akhirnya dijual ke tempat penampungan ikan.
“Kalau dulu sih iya (menangkap ikan secara asal), Mas. Tapi sejak diberi pelatihan dari WWF, sudah tidak pernah lagi,” ujar Gede Hindu, salah seorang nelayan. Anggota Jarnus itu turut hadir di acara “Bukan Pasar Ikan Biasa” di Pantai Kuta, Sabtu (13/6) siang.
“Penghasilan kami juga meningkat karena ikan hasil tangkapan kualitasnya bagus,” imbuhnya.
Sewaktu pergi berlayar, para nelayan sepakat menangkap ikan di wilayah yang telah ditentukan sebelumnya, “Namanya zona aman. Kami tidak boleh menangkap di luar batas zona itu,” kata pria asal Buleleng Timur ini.
Lantas bagaimana jika kawanan ikan berada di luar zona? “Ya kami biarkan. Itu berarti saatnya mereka bereproduksi, Mas. Nanti kalau sudah balik lagi, baru kami tangkap.”
Sebastian, anggota Bali Reef Check, mengatakan para nelayan Jarnus hanya menggunakan dua jenis alat tangkap, yakni pancing ulur dan speargun. “Nelayan juga diajarkan menembak tepat sasaran dengan speargun. Titik lemah ikan ada di bagian atas antara kepala dan badan,” terangnya.
Setelah proses penangkapan, langkah selanjutnya adalah proses pemilahan. Sebastian memberikan contoh ikan kakap atau kerapu. Paling tidak panjangnya sekitar 30 – 45 sentimeter. Kalau dilihat dari bobot kurang lebih 600 gram – 1 kilogram.
“Ukuran segitu biasanya ikan sudah bereproduksi,” tutur Sebastian. “Jika hasil tangkapan yang tidak memenuhi kriteria, ikannya kami lepas lagi ke laut,” tambahnya.
Lolos dari pemilahan, ikan-ikan tersebut langsung diletakkan ke dalam boks khusus berbahan styrofoam yang telah diisi es batu agar kualitas tetap terjaga. Ketut Wikarti, nelayan lain, mengatakan dulu nelayan asal main taruh di perahu. Lantaran terus menerus kena sinar matahari dan air laut, ikannya jadi rusak. Begitu sampai di tempat pelelangan, harganya jatuh.
“Apalagi kerapu sama kakap, ada cacat sedikit langsung di-reject (ditolak)” ujar Wikarti, nelayan Jarnus lainnya. “Asalkan boks ditutup rapat, es bisa bertahan selama 24 jam.”
Dalam rangka memperingati Hari Kelautan Sedunia (World Ocean Day) yang jatuh tiap 8 Juni dan Hari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Day) pada 9 Juni, WWF Indonesia bersama dengan sejumlah organisasi mengadakan acara bertema “Bukan Pasar Ikan Biasa” yang diselenggarakan di Pantai Kuta, Sabtu dan Minggu (13-14 Juni) lalu.
Tujuan kegiatan ini adalah mengajak masyarakat agar dapat menentukan pilihan produk perikanan yang baik berdasarkan informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan. Publik juga dapat mengetahui lebih jauh mengenai praktik perikanan ramah lingkungan, membeli produk seafood berkualitas dan mengapresiasi para nelayan dan pembudidayaan seafood yang tergabung dalam Jaring Nusantara (Jarnus).
Acara “Bukan Pasar Ikan Biasa” didukung oleh BaleBengong, Earth Hour Denpasar, Marine Buddies Bali serta sektor swasta dan pelaku usaha yang tergabung dalam Inisiatif Seafood Savers.
Referensi:
*. Jaring Nusantara
*. WWF Indonesia