Ritual upacara agama berkurang dampak pandemi, pengerajin serobong daksina tetap berproduksi karena ketersediaan bahan baku. Inilah salah satu bentuk adaptasi warga.
Serobong daksina merupakan salah satu sarana upacara bagi umat Hindu yang banyak digunakan. Dalam serobong dari daun kelapa ini, ditata aneka sarana sesajen penting seperti kelapa, telur bebek, bunga, dan simbol suci lainnya.
Banyak masyarakat Bali yang menjadi produsen dari pembuatan serobong daksina. Salah satu desa dengan jumlah produsen cukup banyak berada di Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, sehingga membuat serobong menjadi salah satu mata pencaharian bagi sebagian masyarakat desa.
Sri merupakan salah satu produsen dari pembuatan serobong daksina. Selain membuat serobong, Sri juga membuat sarana upacara lain dari daun kelapa seperti cepe dan tamas. Sri bisa membuat serobong 50-100 biji dalam sehari.
Alat dan bahan yang diperlukan dalam membuat srobong daksina meliputi daun kelapa, pisau, dan semat (biting bambu). “Bahannya kadang beli, kadang juga cari di kebun sendiri,” jelas Sri. Untuk pendistribusiannya biasanya dijual langsung ke pengepul yang datang ke rumah warga.
Selama 10 tahun menekuni usaha pembuatan serobong daksina, Sri merasakan perubahan harga yang signifikan. “Awal saya membuat serobong tahun 2010, harganya sangat murah hanya Rp200 rupiah per biji.
Namun dari tahun ke tahun harganya terus meningkat, hingga saat ini harganya bisa mencapai seribu rupiah per biji apalagi saat hari raya besar bisa lebih mahal lagi,” tutur Sri.
Adanya pandemi Covid-19 ini membuat pendistribusian serobong daksina menjadi sedikit sulit karena upacara agama banyak yang ditunda. Sehingga harga serobong menjadi tidak menentu. Sri merupakan salah satu produsen yang terdampak akibat adanya pandemi covid-19.
Ia mengatakan semenjak pandemi Covid-19 sampai di Bali pada Maret lalu, penjualan serobong menurun drastis. Sri membuat serobong daksina hanya pada saat mendapat orderan dari pengepul serobong dan beberapa masyarakat yang melakukan upacara agama seperti perkawinan, upacara 3 bulanan, dan upacara lainnya.
Meskipun begitu ibu Sri tetap konsisten untuk terus membuat serobong daksina meski hanya dihargai Rp400 rupiah per biji. Karena tinggal di desa yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, bahan baku tersedia, dan sulit bagi masyarakat untuk menemukan keterampilan baru.
Catatan: Karya peserta Kelas Jurnalisme Warga (KJW) Desa Ngis: Ni Ketut Listriani, Ni Luh Listriani, Ni Ketut Sudewi Apriliantari.