Pengelolaan limbah medis menjadi hal sangat menarik untuk dibahas semenjak COVID-19 menjadi pandemi global.
Limbah medis merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3) yang dihasilkan oleh aktivitas di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) seperti rumah sakit, puskesmas, klinik dan lain-lain. Bagaimana pengelolaannya di masa pandemi ini?
Selain itu limbah medis juga dapat dihasilkan di rumah-rumah sebagai hasil kegiatan perawatan medis di rumah. Peralatan medis seperti masker bekas pakai yang digunakan dalam kegiatan isolasi mandiri penderita COVID-19, jarum suntik insulin, dan sebagainya. Pengelolaan limbah medis yang dihasilkan sumber–sumber tersebut harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak kesehatan bagi manusia dan mencegah terjadiya pencemaran lingkungan.
Untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang pengelolaan limbah medis yang aman bagi masyarakat, PlastikDetox menyelenggarakan webinar tentang pengelolaan limbah medis pada 27/09/2020. PlastikDetox adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu lingkungan terutama untuk mengajak dunia usaha untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Webinar berfokus pada pengelolaan limbah medis yang dapat dilakukan di rumah, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain. Narasumber pada webinar tersebut adalah Yuyun Ismawati, Senior Advisor dari Nexus3 Foundation, dan Rizal Bahri yang merupakan Sanitarian sekaligus Koordinator Pengelolaan Sampah di RSUD Ibnu Sina, Kabupaten Gresik.
Sebagai narasumber pertama, Yuyun menjelaskan tentang situasi terkini limbah medis yang dilakukan di Indonesia serta kebijakan–kebijakan terkait pengelolaannya. Yuyun menekankan bahwa selama ini terdapat ketimpangan antara jumlah limbah medis yang dihasilkan fasilitas kesehatatan dan kapasitas pengolahan limbah medis yang ada di Indonesia. Selain itu, sebagian besar limbah medis yang ada di Indonesia sebagian besar diolah menggunakan insinerator dengan suhu tinggi. Pembakaran limbah dengan teknologi termal dapat melepas senyawa toksik dioksin dan furan jika dalam praktiknya tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
Yuyun mendorong rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia untuk menggunakan teknologi non-insinerasi seperti autoklaf dan mikrowave yang lebih ramah lingkungan dalam pengelolaan limbah medis. Selain itu, Yuyun menyarankan penanganan jarum suntik agar dapat dilakukan lebih dekat ke sumber, misalnya dengan menggunakan needle crushers.
Bahri sebagai narasumber kedua pada webinar menyoroti masalah teknis dan alur pengelolaan limbah medis yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesesehatan dan rumah tangga. Alur pengelolaan limbah medis di fasilitas pelayanan kesehatan yang dimulai dari proses pewadahan (pemilahan), pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan (penimbunan) harus dilakukan secara benar dan aman. Sejalan dengan Yuyun, Bahri juga berpendapat bahwa penggunaan teknologi non-insinerasi juga harus ditingkatkan untuk menciptakan pengelolaan limbah medis yang berkelanjutan.
Rumah tangga yang menghasilkan limbah medis diharapkan untuk memilah limbah yang dihasilkan dan membuang limbah medisnya pada TPSSS-B3 (Tempat Pengumpulan Sementara Sampah Spesifik Bahan Bahaya dan Beracun) yang disediakan oleh pemerintah setempat.
Webinar ditutup dengan kesimpulan bahwa perlu adanya partisipasi dari masyarakat untuk memilah antara limbah medis dan limbah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga. Pada masa pandemi saat ini, sampah masker perlu dipotong-potong atau dirusak terlebih dahulu sebelum dibuang ke tempat sampah. Di Amerika Serikat, masker N95 dapat disterilkan terlebih dahulu, sebelum dipakai kembali.
Pengelolaan limbah medis akan berkelanjutan apabila didukung komitmen kuat dari pembuat kebijakan, pembiayaan infrastruktur yang memadai, serta pemantauan yang efektif. Tentunya kesiapan, kapasitas dan ketrampilan tenaga kesehatan juga berperan penting dalam mewujudkan pengelolaan limbah yang aman berkelanjutan.
Penulis: Rizal Bahri (Koordinator Pengelolaan Sampah di RSUD Ibnu Sina, Kabupaten Gresik)