Gubernur Bali Wayan Koster telah mengemukakan 22 misi Provinsi Bali.
Misi nomor 4 pembangunan Bali tahun 2018-2028 adalah tersediannya pendidikan yang adil, merata, terjangkau, dan berkualitas serta melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Misi tersebut menyenangkan untuk dilihat saat dipampang di depan tembok atau didengar oleh siaran media.
Bagaimana pelaksanaannya hari ini dan di masa depan? Marilah lihat situasi di lapangan.
Di Bali masih ada sekolah yang tidak layak fasilitasnya. Di Karangasem, ada sekolah yang atapnya rawan runtuh. Ini membahayakan guru dan siswa saat sedang belajar. Kasus serupa juga terjadi di Jawa Timur hingga menyebabkan murid dan guru meninggal dunia.
Sekolah negeri unggulan di Bali fasilitasnya di atas kelayakan, sementara sekolah bukan unggulan sarana dan prasarana boleh jadi tidak memadai. Itu yang terjadi kota. Belum lagi bila membandingkan kondisi infrastruktur fisik pendidikan di dalam kota dengan di pinggir kota hingga pelosok desa.
Dari fasilitas fisik yang belum memadai, sekarang kita akan melihat praktik pendidikan yang ada. Murid-murid SD hingga SMA mempelajari ilmu pengetahuan alam. Proses pembelajaran tidak hanya melalui buku teks khusus pelajaran sekolah.
Di hampir semua perpustakaan sekolah, amat sedikit buku yang bertema ekologi pulau Bali tersedia. Seharusnya pemerintah mencetak buku tersebut dan didistribusikan ke sekolah sekolah di Bali agar guru dan siswa memahami ekologi pulau ini.
Guru selayaknya mengajak siswa menonton film bersama mengenai flora dan fauna Bali, ekosistem pulau Bali dan masalah lingkungan yang terjadi di Bali saart ini. Film Kala Benoa yang menjelaskan akibat kerusakan lingkungan karena reklamasi Teluk Benoa dapat diputar di seluruh sekolah pulau Bali. Sekolah perlu mengadakan kerja sama dengan para pembuat film yang bertema ekologi pulau Bali sebagai media pendidikan siswa.
Murid-murid yang belajar ilmu alam di sekolah tidak banyak yang mengetahui macam-macam spesies tanaman budidaya dan liar yang hidup di Bali beserta kondisi tanah yang cocok untuk tanaman tersebut. Bila dibaca secara dangkal mungkin ini dianggap tidak penting. Namun, pendidikan ilmu alam harus sesuai dengan kondisi nyata di tempat di mana sekolah itu berdiri. Siswa perlu mengetahui hal tersebut supaya dapat meneliti manfaat tanaman tersebut bagi manusia dan lingkungannya dan dapat mengembangkan perekonomian desa dari sumber alam yang ada.
Murid-murid tidak tahu persis jumlah spesies burung, ikan dan hewan lainnya yang ada di Bali apalagi statusnya dalam konservasi. Mungkin hanya jalak bali yang paling diketahui. Sekolah sampai saat ini tidak mengajarkan kepada muridnya tragedi lingkungan yang telah terjadi di Bali mulai dari punahnya harimau Bali hingga hutan yang kurang dari sepertiga luas pulau.
Saat siswa diajak ke sawah, hutan dan padang penggembalaan, guru perlu membimbing siswa untuk mengidentifikasi spesies burung yang ada di situ dan memahami hubungan antara burung dengan hewan lain dan tanaman lain di sawah sehingga siswa belajar ekologi melalui pengalaman.
Bagi siswa yang tinggal tak jauh dari taman nasional Bali Barat sekolah perlu mengadakan perjalanan ilmiah ke sana lebih dari sekali. Dengan demikian siswa semakin mengapresiasi fauna dan flora liar Bali. Sekolah dapat memfasilitasi siswa yang menimba ilmu di Tabanan untuk melihat praktik pemeliharaan burung hantu untuk mewujudkan sawah organik di tempat yang dijuluki desa burung hantu.
Guru perlu mengajak siswa untuk membandingkan kondisi sawah di Jatiluwih dan Ubud sepuluh tahun yang lalu dengan sekarang saat sawah semakin digusur dengan akomodasi pariwisata.
Belum Reflektif
Pendidikan alam yang diajarkan di sekolah belum reflektif dalam arti menghubungkannya dengan keadaan di lapangan. Di sekolah murid diajari pentingnya hutan di pegunungan dan perbukitan. Mereka mengetahui peran amat berharga hutan bakau bagi pesisir dan nelayan.
Murid-murid tidak diberi kesempatan untuk berpikir kritis penyebab hutan terdegradasi yang terhubung dengan kebijakan pembangunan. Murid-murid amat jarang diajak melakukan belajar lapangan melihat langsung kondisi hutan bakau, sawah dan hutan pegunungan yang tersisa. Siswa mempelajari dampak pestisida dan pupuk kimia bagi ekosistem sawah dan sekitarnya tapi tidak pernah berdialog langsung dengan petani yang menggunakkannya tersebut untuk memberikan pendidikan kecil agar mengurangi pemakaiannya demi kesehatan lingkungan.
Bali termasuk kawasan Segitiga Koral (Coral Triangle). Ini berarti terdapat terumbu karang dan padang lamun yang merupakan eksositem laut terkaya di dunia. Murid memang mendapatkan informasi mengenai fungsi terumbu karang dan padang lamun serta kegiatan manusia yang dapat merusak terumbu karang dan lamun hingga akibat yang ditimbulkan.
Namun, pada pelajaran di sekolah guru jarang menginformasikan jenis jenis koral dan lamun yang ada di Bali kepada siswanya. Akibatnya kesadaran untuk peduli laut masih belum cukup. Di tepi pantai, sering terdapat sampah yang akan mencapai padang lamun dan terumbu karang sehingga mengakibatkan biota laut terancam.
Pendidikan alam bagi siswa di Bali tidak hanya untuk mengenal kondisi ekosistem dan jenis jenis mahluk hidup yang ada di dalamnya. Siswa perlu diberi pendidikan untuk mengolah hasil alam dari tanah Bali. Tidak hanya mengolah daun kelapa, tetapi mengolah bagian pelepah kelapa, nira kelapa, kulit kelapa dan batang kelapa.
Siswa perlu melihat langsung penggilingan padi menjadi beras. Mereka dapat berkesempatan mempelajari pengolahan sisa sisa tanaman padi seperti pembuatan minyak dari bekatul dan pengolahan jerami padi menjadi tikar. Saat mempelajari pengolahan hasil laut, murid murid memperoleh peluang untuk mengolah limbah ikan menjadi tepung atau sesuatu yang memiliki nilai guna.
Pendidikan alam seperti betujuan agar siswa peka bahkan peduli terhadap keragaman hayati dan keberadaan spesies di ekosistem terpenting bagi orang Bali yaitu sawah. Harapannya, mereka bisa bersama-sama menahan laju alih fungsi sawah serta menggalakkan pertanian ekologi yang ramah lingkungan. Dalam mempelajari ekologi, guru mengajarkan kepada siswa untuk menghubungkannya dengan aspek keadilan sosial dimana setiap orang berhak atas air bersih, udara segar, makanan sehat dan lingkungan yang layak huni.
Yang terpenting siswa perlu diberi kesempatan berpikir kritis melihat dampak lingkungan dari pembangunan Bali yang mengabaikan lingkungan. Kurikulum pendidikan ilmu alam untuk Bali hendaknya tidak sekedar menjiplak saja apa yang dipraktikkan dari Jakarta. Dinas Pendidikan Bali perlu menyesuaikannya dengan kondisi alam dan budaya yang ada. [b]