Informasi adalah kunci dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Senada hal itu, Kordinator Advokasi lembaga pengawas Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS), BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan bahwa banyak peserta JKN belum mengetahui haknya.
Timboel menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bersama jurnalis yang diadakan Sloka Institute dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar Rabu pekan lalu di Denpasar.
Menurut Timboel, karena kurangnya keterbukaan informasi tersebut, peserta JKN seringkali mengalami kesulitan ketika akan menggunakan tanda kepesertaannya.
Timboel Mengawali perbincangan sore itu dengan memperkenalkan BPJS Watch, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dibentuk untuk mengawal pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Hanya saja sebagian besar kasus yang mereka dampingi lebih banyak mengenai BPJS Kesehatan, terutama di rumah sakit.
“Sejak tahun 2014 hingga sekarang sudah ada 150-an kasus yang sudah kami tangani,” kata Timboel.
Cikal bakal BPJS Watch ini mula-mula dari gerakan buruh, yang mengawal kehadiran UU no 24 tahun 2011. “Setelah ada KJS (Komite Jaminan Sosial) kami membentuk BPJS Watch,” katanya. Fungsi BPJS watch ini menurut Timboel untuk memonitor dan mengadvokasi BPJS, baik dari segi regulasi maupun implementasi di lapangan.
Kasus yang dialami peserta JKN menurut cerita Timboel misalnya, pasien disuruh beli obat diluar paket INA CBG’s, kamar dikatakan penuh sehingga harus naik kelas VIP dan sharing biaya. Ada tiga penyebab kasus tersebut menurut Timboel yaitu karena pasien tidak tahu, rumah sakit curang, dan ketidakhadiran BPJS Kesehatan di rumah sakit.
Timboel juga menekankan bahwa pasien sebaiknya berkomunikasi dengan BPJS Center terkait proses-proses menggunakan layanan ini rumah sakit.
Contoh kasus yang pernah didampingi BPJS Watch seperti kasus di salah satu rumah sakit di Jakarta Timur. Rumah Sakit ini merupakan provider BPJS kesehatan. Rumah sakit meminta pasien membayar Rp 9 juta. Setelah didampingi memperjelas permasalahan dan dibantu penyelesaiannya oleh BPJS Kesehatan akhirnya pasien BPJS Kesehatan tersebut mendapatkan perawatan serta biaya yang sesuai dengan haknya.
“Tetapi ada perjanjian rumah sakit ini hanya menampung selama ICU RS Polri penuh,” kata Timboel.
Selain melakukan advokasi kepada peserta JKN di rumah sakit, BPJS Watch juga melakukan sosialisasi. Mereka juga membuat buku panduan tanya jawab terhadap praktik di lapangan, misalnya perihal mengurus surat eligibilitas peserta (SEP). Menurut Timboel pasien seringkali lupa mengurus SEP ini, apabila selama 3 x 24 jam tidak mengurus ini maka pasien dianggap sebagai pasien umum.
BPJS Watch juga mendorong supaya rumah sakit fair dengan pengguna JKN. “Jangan sampai bekerja sama tetapi curang,” katanya. Menurutnya upaya mendorong rumah sakit agar mau bekerjasama menjadi provider BPJS juga penting. Ini terkait dengan penyediaan ruang-ruang yang sedikit jumlah ketersediaanya seperti ruang PICU, NICU atau ruang isolasi.
Untuk pemegang regulasi, BPJS Watch mendorong agar rumah sakit menyediakan informasi ketersediaan ruang perawatan kepada publik. “Sekarang yang sudah ada yaitu di RS Koja, Jakarta, pasien bisa melihat kamar kelas III, II, I ketersediaanya berapa melalui web,” katanya.
Dalam upaya pendampingan peserta JKN, BPJS Watch melibatkan BPJS Kesehatan. “Kan bargaining antara mereka itu equal, kalau rumah sakit sama pasien gak equal,” katanya merujuk posisi antara provider, pasien dan penyelenggara layanan JKN. Melalui proses yang demikian harapannya kasus terkait JKN lebih mudah terselesaikan.
“JKN merupakan terobosan bagi rakyat untuk memiliki hak yang sama dalam kesehatan,” kata Timboel. Oleh karena itu harapan terhadap layanan ini tidak hanya sekadar berjalan, tetapi layanannya terus ditingkatkan. Di akhir pemaparannya Timboel berharap kegotongroyongan dalam JKN bisa diberlakukan disemua daerah melalui penggabungan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke dalam JKN. [b]