‘Demokrasi’, sebuah kata populer tetapi hingga kini masih gamang dipahami.
Dengan mengusung ide tentang kebebasan, demokrasi berhasil menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat). Seolah-olah slogan tersebut memberi kesan -pada kalangan religius- melampaui kekuasaan Tuhan.
Rakyat menggeser kedudukan Tuhan. Dengan kata lain bahwa kebenaran absolut berada di tangan rakyat. Akan tetapi, rakyat manakah yang dimaksud?
Sebagaimana even-even Internasional lain yang pernah diadakan di Indonesia, khususnya di Bali, Bali Forum Democracy (BDF) di kawasan Nusa Dua menyisakan juga pertanyaan besar: ada apa di balik itu? Padahal forum tersebut telah diadakan 6 kali, mulai tahun 2008-2013.
Kesepakatan apa yang bisa atau telah kita ambil, lalu kita terapkan dalam pemilihan umum (pemilu) 2014 mendatang? Meskipun hasil kesepakatan telah dilaksanakan dalam bentuk program peningkatan kapasitas workshop atau dialog oleh Institute for Peace and Democracy (IPD) selaku agen BDF yang kini telah berdomisili di komplek Universitas Udayana Bali.
Namun selebihnya, sebagian besar hanyalah kerja sama internasional di bidang ekonomi yang disepakati pemerintah. Ini menunjukkan betapa rumitnya memahami sesuatu dengan menyematkan kata ‘demokrasi’ di dalamnya!
Menurut salah satu sumber, demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang. Di dalam sistem demokrasi warga negara mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan. Salah satu ciri demokrasi adalah penyelenggaraan pemilu secara langsung yang keputusannya diambil berdasarkan suara terbanyak.
Tentunya kita masih ingat ketika masa sekolah: pemilihan ketua kelas; ketua OSIS; ataupun ketua SENAT bagaimana berlangsung. Calon yang kalah tersingkir, sedangkan calon dengan suara terbanyak kedua menjadi wakil ketua. Sesederhana itukah demokrasi dalam sistem pemerintahan presidensiil, tanpa harus mencalonkan pasangan-pasangan ‘pengantin’?
Setidaknya kita punya referensi lain dari pemilihan kelian adat atau memperhatikan cara kerja masyarakat subak di pedesaan. Untuk memahaminya kita perlu mempelajari dan mengkaji lebih dalam jenis-jenis demokrasi yang pernah ada di muka bumi ini.
Sistem pemilu di beberapa negara republik memiliki karakteristik tersendiri, tergantung sistem pemerintahan yang masih berlangsung. Menentukan sebuah sistem pemilu di negara yang menganut faham demokrasi liberal, perlu disepakati bersama antara partai-partai politik (yang duduk di parlemen) dengan pemerintah.
Seperti kita ketahui, Indonesia sudah melaksanakan 10 kali pemilu dari 4 kali pergantian sistem pemerintahan. Pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 dianggap sebagai pemilu Indonesia paling demokratis, walaupun istilah ‘pesta demokrasi’ mungkin belum lahir saat itu. Pemilu ini dilakukan dua kali: pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR; kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. (Silakan merujuk ke www.kpu.go.id)
Pada umumnya sistem pemilu yang menyangkut pemungutan suara (voting) terdiri dari 3 macam. Pertama, Sistem Distrik (plurality system) yang terbagi menjadi First Past The Post/FPTP, Alternative Vote/AV, Block Vote/BV, Two Round System/TRS. Kedua, Sistem Semi Proporsional (semi proportional system) yang terbagi menjadi Single Non Transferable Vote/SNTV, Parallel System, Limited Vote, Cumulative Vote. Ketiga, Sistem Proporsional (proportional system) yang terbagi menjadi Single Transferable Vote/STV), Proportional Representative/PR), Party-list, Open-list, Close-list, Local-list, anggota proporsional campuran (Mixed Member Proportional/MMP).
Belum lagi setelah era reformasi UU Pemilu mulai memberlakukan sistem Electoral Threshold (ambang batas pemilu). Menurut pakar pemilu, masing-masing sistem mempunyai kelemahan dan kelebihan. Namun terlepas dari istilah-istilah yang dipakai dalam sistem pemilihan umum, sehingga kita harus mencari definisi-definisi tersebut di atas, bagaimanakah cara orang menilai kandidat-kandidat unggulan mereka baik legislatif maupun eksekutif?
Sementara mayoritas para calon pemilih belum memahami sistem pemilu bahkan mengenal lebih jauh orang-orang yang duduk di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak bisa dipungkiri bahwa semua pemerintahan beserta rakyat menyukai politik dengan tampilan luar.
Siapakah sebenarnya yang menawarkan standarisasi demokrasi yang dalam hal ini sistem pemilu sebagai perwujudannya? Kita pasti tidak mau ketika sarana untuk mencapai kedaulatan rakyat tersebut disalahgunakan oleh sekelompok orang ataupun pihak asing untuk menguasai hajat hidup orang banyak, bukan?
Ya, wajarlah apabila kantor Mahkamah Konstitusi sempat berantakan diserang massa.
Menuju Tatanan Dunia Baru
Sudah menjadi rahasia umum dalam percaturan politik selalu ada peristiwa yang melibatkan beberapa pihak terperosok dalam konspirasi (persekongkolan). Sebuah teori dalam counterculture (budaya tanding) menyatakan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa -seperti politik, sosial, dan sejarah- adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia, orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan berpengaruh.
Sebagian besar teori konspirasi (conspiracy theory) mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik. Kalau Anda pernah mengikuti film seri The X-files ataupun Da Vinci Code dan The Lost Symbol, baik novelnya juga (Dan Brown), seperti itulah contoh konspirasi terjadi.
Tentunya kita mengenal istilah Orde Lama dan Orde Baru, siapa sebenarnya penggagas istilah tersebut? Isu mengenai Tatanan Dunia Baru bukanlah hal yang baru dan bukan pula omong kosong belaka.
Menurut teori konspirasi, pemilu merupakan instrumen dari rencana konspirasi internasional. Targetnya adalah sebuah tatanan di mana dunia akan dikendalikan oleh satu pemerintahan diktator dengan mata uang tunggal sebagai alat pembayarannya. Tema umum dalam teori konspirasi mengenai Tatanan Dunia Baru adalah bahwa sekelompok elite kekuasaan rahasia dengan agenda global merencanakan penguasaan dunia melalui pemerintahan yang otoriter.
Mereka mengendalikan sistem perbankan bahkan mampu menguasai media massa seraya mempropagandakan ideologi ‘dunia baru’ sebagai puncak kemajuan sejarah yang akan menggantikan banyak negara dan bangsa yang berdaulat pada saat ini.
Kalimat New World Order (Tatanan Dunia Baru) pernah muncul pada era pemerintahan Woodrow Wilson sebagai pernyataan yang berkaitan dengan periode baru dalam sejarah setelah masa Perang Dunia I dan II. Kemudian hari ucapannya tersebut menjadi usulan untuk membentuk Liga Bangsa-Bangsa sebagai cikal bakal PBB.
Bahkan George Bush pernah menyatakan juga istilah tersebut dalam Kongres Amerika Serikat tahun 1990 yang mengkaitkannya sebagai konsep pemerintah bayangan dalam pemerintahan dunia yang tunggal.
Sebenarnya sejak 1782 ada istilah lain berbahasa latin yang senafas dengan New World Order: Novus Ordo Seclorum (New World of The Ages). Kita bisa melihat tulisannya pada pecahan 1 dollar AS (di bawah gambar piramid berpucuk mata satu) yang dicetak mulai tahun 1935. Tidaklah mengherankan jika mata uang tersebut hampir berlaku di seluruhan belahan dunia. Dengan meminjam tangan IMF dan World Bank, negara-negara yang berada dalam naungan PBB ‘mau tidak mau’ harus mendirikan bank-bank sentral dalam kontrol Federal Reserve System (FRS), yang otomatis juga memicu pertumbuhan bisnis money changer di tanah air.
Sebagian besar masyarakat mungkin mengira bahwa semakin banyak peredaran mata uang asing di suatu negara maka semakin makmur pula negerinya. Faktanya, industri dan perdagangan tidak terkendali, perusahaan asing menjamur, dan ekonomi pertanahan menjadi kurang bernilai.
Dalam sejarah revolusi dunia, semisal negara Perancis dan Rusia, banyak melibatkan kelompok-kelompok rahasia yang mengatasnamakan ‘kebebasan-persamaan-persaudaraan’. Di Perancis, masalah itu terungkap setelah seorang pastor bernama Augustin Barruel pada 1798 menulis catatan tentang sejarah faham Jakobin (Mémoires pour servir à l’histoire du Jocobinisme).
Di sana diceritakan bahwa Revolusi Perancis telah ditumpangi oleh The Secret Societies (masyarakat tersembunyi) seperti Freemason dan Illuminati sebagai aksi anti-kristus.
Selain itu seorang penulis Rusia bernama Sergei Nilus menemukan berkas Protocols of the Elders of Zion (Protokol Para Tetua Zion), lalu mempublikasikannya pada 1905. Dalam naskah tersebut -yang diduga disusun oleh kelompok Sekte Kabalah- diuraikan dengan gamblang bahwa sistem voting (pemungutan suara) adalah sebuah alat yang dapat menyediakan suatu tahta dunia. Dengan alat tersebut, mereka mengajarkan sesuatu yang tidak didapatkan di instansi pendidikan sehingga suara dari suku bangsa terkecil pun bisa berarti di setiap pertemuan dan kesepakatan, dan memastikan semua orang memilih tanpa syarat, tanpa membedakan kelas dan kelompok mayoritas.
Melalui pemilu pula, mereka mendiskusikan setiap perubahan -dalam sebuah misi- dengan maksud memberi kesan gagal dan salah paham terhadap kelompok pemikir yang berusaha memasuki komplotan mereka lebih dalam. Dengan menentukan presiden ataupun kepala pemerintahahan sebagai boneka pilihan, mereka berupaya menarik semua bangsa-bangsa untuk mendirikan sebuah struktur dasar baru, sebuah proyek besar yang telah disusun dengan rapi.
Tidak hanya itu, mereka pun merambah ke semua ranah kehidupan: dari urusan keuangan, kesehatan hingga makanan. Senjata utama mereka cukup mengerikan: pengkhianatan, penyuapan, dan dusta.
Selama ini mungkin kita tidak berpikir bahwa hal tersebut di atas tidak ada hubungannya sama sekali dengan situasi di Indonesia saat ini. Kita seringkali terlalu berkausalitas (sebab akibat) lokal, padahal kita mempunyai konsep yang universal. Bukankah pada masa kolonial, perekonomian negeri kita pernah dimonopoli oleh VOC?
Tengoklah, Perang Puputan menjadi salah satu saksi atas penindasan itu!
Dalam sejarah ‘Freemasonry di Indonesia’ yang ditulis oleh seorang mantan guru besar ilmu politik di Ohio University, Prof. Paul W. Van Der Veur, menyebutkan bahwa kelompok Freemason masuk ke Indonesia sejak tahun 1762 melalui seorang pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang bernama Radermacher. Dia mendirikan loji Mason pertama di Batavia dengan nama La Choisie, hingga selanjutnya bertebaran pula loji-loji lain di wilayah nusantara sampai abad ke 20 dengan menggunakan nama-nama yang tidak mencurigakan.
Pada masa Orde Lama, upaya membendung gerakan tersebut pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan melakukan dialog terhadap Komisi Penasihat dari salah satu kelompok Mason tersebut yang anggotanya kebanyakan para tokoh dan bangsawan. Akhirnya lewat lembaran negara no. 18/1961, Freemasonry di Indonesia dibubarkan. Setelah itu, lembaran negara ini dipekuat oleh Keppres no. 264/1962 yang melarang keberadaan kelompok Freemason beserta sekutunya seperti Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia)/Freemasonry Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians dan Organisasi Baha’i.
Sejak saat itu, loji-loji mereka disita oleh negara. Namun pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Keppres tersebut dicabut, diganti dengan Keppres no. 69/2000. Akhirnya keberadaan kelompok-kelompok tersebut menjadi resmi dan sah kembali di Indonesia.
Ini membuktikan bahwa segala sesuatu tidak terjadi secara kebetulan. Semua lembaran sejarah ataupun berita-berita yang telah kita telan bulat sejak bangku SD bisa jadi telah direncanakan dengan matang oleh sekelompok masyarakat rahasia yang mungkin kita menganggapnya hanya sebuah perkumpulan persaudaraan, organisasi kemanusiaan, komunitas spritual, yayasan bahkan ormas biasa yang didanai oleh serikat perusahaan dagang.
Apakah negara kita termasuk sasaran dari New Wolrd Order? Patutlah direnungkan ketika kita harus berurusan dengan kurs dolar, kalender masehi, dan bahasa Inggris dari waktu ke waktu. Apapun yang menyangkut globalisasi, kita layak mencurigainya daripada meraba-raba pemahaman tentang demokratis.
Tidak menutup kemungkinan spirit konspirasi akan mendampingi faham demokrasi dewasa ini. Maukah kita dicap sebagai Negara Konspirasi di tengah Konferensi Internasional? Kita pun boleh berkata “pesta konspirasi akan segera dimulai!”. [b]