Oleh Luh De Suriyani
Pemilu kali ini melakukan diskriminasi bagi orang sakit. Komisi Pemilihan Umum tidak menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) keliling di rumah sakit negeri.
Di dua rumah sakit pemerintah di Denpasar saja, diperkirakan sekitar 500 orang akan hilang hak pilihnya. Belum lagi penunggu pasien yang biasanya lebih dari satu orang dan pasien-pasien di puluhan rumah sakit swasta lainnya.
Dokter gigi Triputro Nugroho, Direktur Umum dan Operasional RS Sanglah mengatakan tidak punya kebijakan khusus untuk memfasilitasi agar pasien bisa menggunakan hak pilihnya. “Ini kan tergantung KPU. Kami hanya memberikan izin sesaat bagi pegawai rumah sakit yang akan memilih,” ujarnya.
Pemilu 2004 lalu saja ada 500 orang pasien, pegawai, dan penunggu pasien yang menggunakan hak pilihnya di RS Sanglah.
Sementara untuk Pemilu kali ini diperkirakan terdapat 500 pasien yang dirawat inap di Sanglah pada saat pemilu. Rata-rata tingkat hunian 80 persen dari 700 tempat tidur. Jumlah pasien bayi dan anak-anak sekitar 100, artinya sekitar 400 pasien yang punya hak pilih.
Ia tidak bisa memastikan berapa persisnya jumlah pasien dan penunggu pasien saat Pemilu 9 April nanti. Sementara jumlah pegawai dan petugas medis sekitar 200 orang.
Sementara di RSUD Wangaya Denpasar, daftar calon pemilih per 7 April yang sedang dirawat sebanyak 104 orang.
Ketut Sutikayasa, Kepala Bagian Bina Program dan Publikasi RSUD Wangaya mengatakan pihaknya tidak melakukan koordinasi apapun terkait pemungutan suara. “Sebelumnya KPU mengirim surat soal pengadaan TPS di Wangaya tapi kemudian dibatalkan,” ujarnya. Ia tidak tahu alasan KPU membatalkan TPS khusus di rumah sakit.
Ketua KPU Kota Denpasar Ray Misno mengatakan ditiadakannya TPS di Rumah sakit adalah kebijakan KPU nasional. “Sistem Pemilu saat ini menekankan keaktifan pemilih untuk mendaftar sendiri dan memilih di daerah pemilihannya masing-masing,” ujarnya.
Setiap calon legislatif dipilih oleh warga di daerah pemilihannya masing-masing. Misalnya ada daerah pemilihan di Denpasar Utara dan Denpasar Timur.
Karena itu,TPS yang dulu ada di RS Sanglah Denpasar misalnya kali ini ditiadakan. Tapi menurut Ray Misno, pasien dan keluarga yang mendampingi di rumah sakit bisa menggunakan hak pilihnya di TPS terdekat.
“Tapi pemilih harus bisa menunjukkan surat pengantar dari TPS asalnya kepada panitia pemungutan suara di TPS tempat ia akan memilih,” urai Ray Misno.
Ia mengakui ditiadakannya TPS khusus di rumah sakit berisiko tinggi pada makin meningkatnya suara golput. “Tapi kami tidak bisa membuat kebijakan baru. Kami harus ikuti,” tambahnya.
Nila Wahyuni, 26 tahun, pasien demam berdarah yang baru masuk RSUD Wangaya, Selasa mengaku kaget tidak ada TPS keliling lagi. “Saya dirugikan. Saya kan punya hak pilih,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Jero Parwati, pasien dengan keluhan kram perut di RS Sanglah. “Saya sudah dapat surat panggilan untuk memilih, tapi sekarang saya tidak bisa memilih,” ujarnya.
Sementara kerabat pasien, I Kadek Asta Astawa mengatakan akan berbagi waktu dengan keluarganya yang lain agar bisa memilih. “Mestinya KPU menyediakan TPS di rumah sakit seperti Pemilu lalu. Jangan mendiskriminasikan orang sakit,” tambahnya. [b]
Mungkin KPU berpikiran kalo orang sakit perlu istirahat dan tidak bole di ganggu.
Itu adalah tanda bahwa tidak siapnya KPU sebagai badan/lembaga yang melaksanakan pemilu