Pemilu 2024 semakin dekat. Agar tak menjadi objek politik saja, apa yang bisa kita persiapkan menjelang pergantian pemimpin negara?
Sejumlah anak muda Bali dari ragam asal berkumpul dalam Kelas Jurnalisme Warga Edisi Pemilu membahas Suara dan Asa Pemilih Pemula Bali (25/10). Masihkah ada asa yang kita gantungkan pada penentuan pemimpin atau pemilu hanya menjadi pesta untuk kaumnya saja? Bagaimana dunia perpolitikan ini bergulir menjelang 2024?
Dalam diskusi yang difasilitatori oleh Luh De Suriyani membagikan pengetahuan soal bagaimana strategi partai atau orang politik berkampanye menyongsong pemilu 2024 lewat internet. Perlu disadari bersama cara-cara kampanye politik sekarang memainkan emosi warga lewat tiktok atau media sosial lainnya.
Fenomena kampanye para pelaku politik saat ini juga banyak dengan melancarkan diskursus orang tuanya. Membuat citra bahwa dia (bakal calon) membuat sejarah baru, versi-versi baru dengan bumbu-bumbu dan kemasan yang keren ala tiktok.
Media baru ini memberikan informasi pendek-pendek sehingga tidak dipahami konteksnya secara utuh. Begitulah cara kandidat saat ini menyampaikan kampanyenya.
“Begitu juga kita di Indonesia, lihat sama ya kan kita mirip-mirip Filipina. Drama politik itu mulai banyak sekarang,” katanya.
Luh De mengarahkan untuk mengenal platform-platform yang digunakan media kampanye saat ini. Jika ada yang sudah menerima iklan pencalonan di media sosial, kita bisa melihat bagaimana strategi-strategi itu bekerja. Misalnya melalui meta ads manager yang bisa dicari di peramban. Untuk melihat Indonesia, cukup pilih Negara Indonesia. Kemudian tersedia juga isu yang akan diiklankan. Bisa semua isu, atau fokus pada isu politik saja.
Pencari bisa memasukkan kata kunci yang mau dicari. Akan terlihat seberapa banyak para bakal calon di Indonesia ini beriklan. Berapa yang sudah aktif dan tidak aktif. Jadi meta ads manager ini adalah salah satu ruang transparansinya Meta. Sebagai bentuk tanggung jawab untuk publik.
Salah satu bakal calon yang menggunakan media ini untuk berkampanye dibedah dalam diskusi. Kita bisa melihat berapa banyak iklan dan beberapa yang masih aktif. Termasuk juga bisa melihat berapa nilai yang dihabiskan untuk beriklan.
“Nih, di library report. Disini kalian bisa lihat, salah satu calon bupati menghabiskan 1,5 miliar untuk iklan saja, dan dia kalah, spending ads-nya gede. Nanti kalau mau lihat spanding lihat di ad library, begitu bisa cek mau laporan 7 hari terakhir atau 30 hari terakhir,” Luh De menerangkan.
Beginilah Pemilu di Mata Masyarakat Bali
Bisa dilihat juga cara bakal calon membangun citra-citra menjadi personal branding di Indonesia, seperti kelihatan ganteng, berwibawa, bisa melindungi kita. Namun, bagi warga yang sudah merasa bebal terhadap perubahan pemimpin di negeri ini akan memunculkan celetukan-celetukan apatis.
“Nyen je menang, nah ye be, iya ga sih? (Siapa yang menang, yaudah biar dia saja),” kata Luh De menirukan celetukan familiar ditemukan dalam obrolan warga menjelang pemilu.
Luh De juga mengajak audiens diskusi menilik fenomena pemilu yang sering terjadi di Bali. Seperti halnya masih menjadi momok di Bali dalam merespon pemilihan pemimpin, masih mudah menemukan satu komando dalam lingkup komunitas misalnya banjar.
Suara masyarakat masih mudah tergiring oleh satu komando. Berbincang lebih jauh, fenomena ini terbentuk karena masih begitu besarnya pengaruh balas budi.
“Apa pentingnya kita sama pemilu? Pedulikah kita tentang Pemilu?” celetuk Luh De bertanya pada anak muda yang melingkar ketika itu.
Yuko, anak muda dari Batubulan, Gianyar mengakui pemikiran-pemikiran untuk tidak peduli dengan Pemilu dan perpolitikan di Indonesia. Ia juga merefleksikan ketidakpedulian ini pada obrolan kerabatnya.
“Nyen gen menang patuh, patuh gen idup raga (Siapapun pemimpinnya, hidup kita sama saja tidak ada perubahan). Orang-orang sudah menjadi apatis karena dampaknya nggak kerasa sampai ke bawah,” ungkap Yuko.
Triadi, salah satu peserta diskusi menjawab kenapa Pemilu masih ada dan diikuti oleh masyarakat di Bali. Menurutnya, meski KKN itu masih ada sampai saat ini. Tapi warga masih mengikuti Pemilu itu karena unsur kepentingan. Masih ada warga yang berharap kalo si calon yang didukung menang, bisa mempermudah warga meminta bantuan.
Komang Army menambahkan, saat Pemilu juga ada yang memanfaatkan untuk mengumpulkan ‘serangan fajar’. Ia pernah menemui kerabatnya yang sampai dapat Rp1,5 juta dari mengumpulkan serangan fajar.
Triadi menekankan lagi, biasanya akan terlihat mana yang memilih dan yang tidak memillih ketika di TPS. Intimidasi lain juga kerap terjadi dengan berbagai cara, paling sering terlihat adalah pembangunan fisik tidak dilanjutkan jika kandidat tak terpilih.
Merespon fenomena dan asa yang tergambarkan dalam Pemilu di Bali, anak muda menuangkan suaranya dalam postingan di media sosial dengan tagar #suarapemilihpemula dan #anakmudakhawatirpemilu. Ragam responnya ada yang memberi semangat untuk tetap berpartisipasi, ada pula yang berbagi tips memilih calon pemimpin.