“Rasa nikmat amat dekat dengan rasa sakit” (Marques de Sade)
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim konstitusi Patrialis Akbar pada pekan lalu kembali menelanjangi Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng hukum di Indonesia.
Patrialis diduga menerima suap 20.000 dollar Amerika dan 200.000 dolar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar tersebut dari importir daging.
Sebagaimana ditulis Kompas, suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak kalah mengejutkan beberapa hari setelah heboh tertangkapnya Patrialis Akbar, masyarakat Bali juga disuguhkan berita tentang penetapan Ketua DPRD Badung periode 2015-2019 Putu Parwata. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam pengurusan izin kondotel di wilayah Kuta Selatan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khsus Polda Bali pada 30 Januari 2017.
Belakangan ada klarifikasi dari Kabid Humas Polda Bali bahwa Putu Parwata belum resmi menjadi tersangka. Lucu bin menggelitik, tapi berita semacam ini tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Pemangku kebijakan, politisi, pun penegak hukum justru menjadi tersangka kasus korupsi.
Pola Korupsi
Jika ditelusuri secara Antropologis prilaku korupsi lahir atau paling tidak berakar dari tradisi beri-memberi. Sebagaimana pernah ditulis Bambang Wijayanto bahwa di Medan, tradisi memberi uang bagi saksi pembelian tanah disebut ihot-ihot. Lebih lanjut Wijayanto mengatakan bahwa hal semacam ini juga terdapat di beberapa daerah di Indonesia semisal Surabaya, Makasar dan Bandung (Indriati, 2013: 70).
Kebiasaan ini pada gilirannya terinternalisasi atau dihayati sebagai nilai budaya menjadi sebentuk ucapan terima kasih atas dimudahkannya atau telah dibantu. Dalam Negara modern hal semacam ini, gift-giving, adalah tindakan melanggar hukum atau apa yang kita sebut saat ini dengan korupsi.
Pola korupsi pada umumnya tak terkecuali dengan prilaku korupsi di Indonesia, sering kali membentuk pola yang terdiri dari principal-agent-client-middlemen. Principal dan agent adalah pejabat negara, client adalah individu perwakilan korporasi dan middlemen merujuk pada rakyat biasa (Indriati, 2013).
Sebut saja kasus Patrialis Akbar yang melibatkan semua komponen pola di atas. Principalnya adalah Patrialis sendiri sebagai pejabat negara, clientnya adalah Basuki Hariman sang pemilik perusahaan impor daging sedangkan middlemennya adalah Komaludin yang diduga menjadi prantara suap.
Dalam kasus Putu Parwata, Putu Parwata diduga meminta sejumlah uang kepada salah satu pengusaha kondotel untuk memuluskan perizinannya di wilayah Kuta Selatan. Namun, setelah uang diterima, izin yang dijanjikan politisi PDIP ini tidak kunjung keluar.
Kasus yang menjerat Putu Parwata itu sendiri berawal dari ‘surat kaleng’ yang dikirimkan ke Dit Reskrimsus Polda Bali. Menurut NusaBali, surat kaleng itu mengungkap dugaan jual beli perizinan kondotel yang menyeret nama Ketua DPRD Badung Putu Parwata.
Sampai saat ini penyidik masih terus mengembangkan kasusnya dengan mengumpulkan alat bukti dan pemeriksaan saksi-saki. Artinya tidak menutup kemungkinan pola korupsi sebagaimana gambaran kasar yang terjadi pada kasus Patrialis Akbar juga bisa ditemukan pada kasus Putu Parwata. Ada pejabat negara, pelaku bisnis/pengusaha dan makelar sebagai penghubung memuluskan izin.
Pemburu Kenikmatan
Donatien Alphonse Francois de Sade adalah seorang penyair Prancis yang cukup kontroversial dengan gaya bahasa amat vulgar. de Sade kemudian dianggap seorang penulis porno, dan pencipta sadisme. Hal ini karena de Sade adalah seorang Libertin yang secara harafiah pada zamannya diartikan sebagai pemikir bebas tentang agama.
Namun, pada pertengahan abad 18 kata ini mengalami perubahan menjadi paham yang membenarkan gaya hidup menyimpang. Padahal aliran pemikiran Libertinisme sebenarnya membawa agenda-agenda perubahan politik dan kritik satir terhadap para pejabat maupun monarki Eropa yang korup serta munafik.
Di tengah moralitas agama yang begitu kuat mencengkeram masyarakat Eropa kala itu, ia menulis dengan bahasa amat vulgar dengan kebencian yang tak ditutup-tutupi terhadap moralitas tradisional yang dicapnya sebagai sebentuk kemunafikan (Wattimena, 2012: 52).
Bagi de Sade, manusia merupakan mahluk-mahluk seksual yang tujuan hidupnya mendapatkan kenikmatan tertinggi namun seringkali tertutupi citra diri. Yang tak kalah menarik dari pemikiran de Sade adalah kenikmatan seringkali identik dengan penyimpangan. Baginya kenikmatan amat dekat dengan rasa sakit sekaligus juga tak kalah dekat dengan kejahatan (Wattimena, 2012: 47).
Pemikiran ini tercermin juga dalam film fiksi “Fifty Shades Of Grey” di mana kenikmatan justru didapat berbarengan dengan rasa sakit. De Sade membawakan cermin pada kita semua, mengajak orang untuk melihat dirinya sendiri dan melihat motivasi-motivasi tersembunyi di baliknya, dorongan-dorongan hewani primitif dalam diri setiap manusia kemudian menata, memahami dengan sehat dan proforsional.
Motif utama pemikiran de Sade adalah untuk memahami kejahatan dalam diri dan kehendak manusia melalui refleksi diri.
Terlepas dari berbagai definisi tentang korupsi, dalam pandangan de Sade korupsi adalah bentuk konkret dari pemburuan kenikmatan tanpa batas oleh manusia yang ditutupi kemunafikan penampilan dan pencitraan.
Nikmatnya tumpukan uang sejumlah ratusan atau miliaran rupiah yang diterima Patrialis Akbar maupun Putu Parwata sejatinya disadari betul amat dekat dengan rasa sakit dan kejahatan. Namun, sekali lagi kenikmatan justru seringkali didapat dengan cara menikmati dan memahami rasa sakit.
Karenanya, perilaku korupsi terus berulang terjadi dan menimpa para pemangku kebijakan. Mereka memburu kenikmatan akan uang dengan cara korupsi meskipun sangat dekat dengan rasa sakit pun sadar betul korupsi adalah kejahatan. Sepenggal lirik lagu dari Iwan Fals yang berjudul “Asik gak Asik” seperti orang nyolong mangga kalo gak nyolong gak asik kiranya cukup mewakili kondisi ini. [b]
DAFTAR PUSTAKA
Indriati, Etty. 2013. Pola dan Akar Korupsi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Wattimena, Reza A.A. 2012. Filsafat Anti Korupsi. Kanisius: Yogyakarta