Selalu ada yang kalah oleh pembangunan fasilitas pariwisata.
Begitu pula yang terjadi di Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Pembangunan hotel Chateau the Bali membuat semua pedagang di pantai Mimba, yang berada di depan hotel tersebut, kini tak bisa berjualan seperti sebelumnya.
Nyoman Sari dan Nyoman Rimben adalah dua di antara sekitar sepuluh pedagang yang kini tak bisa lagi berjualan di sana. Sebelumnya, Sari dan Rimben berjualan di pantai berpasir putih tak jauh dari Pelabuhan Padangbai ini. Rimben berjualan di warung kecil miliknya yang dia dirikan sejak sekitar delapan tahun lalu.
Di warung sederhana beratap rumbia itu, tiap hari Rimben berjualan minuman ringan, rokok, serta beberapa camilan. Dia membawa barang dagangan itu dari rumahnya berjarak sekitar 500 meter melewati Bukit Mimba lalu turun ke pantai berpasir putih di bawah bukit di mana ada puluhan turis asing yang berjemur di pantai tersebut.
“Waktu itu tiap hari bisa ada sampai dua puluhan turis. Jadi ada saja dagangan yang laku,” kata Rimben. Menurutnya, hasil jualan waktu itu lebih dari cukup untuk menghidup dia dan keluarga.
Agak berbeda dengan Rimben yang sudah punya warung sendiri meski sederhana, Nyoman Sari masih nebeng di warung milik temannya. Dia menjual sarung pantai dan souvenir lain di pantai itu. Tiap hari dia bisa menjual sekitar tiga lembar sarung yang harga per lembarnya sekitar Rp 40.000 tersebut.
Meski pendapatan naik turun, Rimben dan Sari merasa berjualan di pantai pada saat itu bisa jadi sumber utama penghasilan keluarga mereka. Suami mereka bekerja di pelabuhan sebagai buruh. “Kalau hanya mengandalkan pendapatan dari buruh tidak seberapa, Pak,” kata Sari.
Namun sumber pendapatan mereka itu kemudian terancam ketika pada April 2008 lalu ada investor dari Korea Selatan bernana Han Jung Kok yang akan membangun hotel Chateau the Bali di bukit Mimba. Begitu investor datang, warga setempat langsung memberikan izin pada mereka untuk membangun.
Kepala Dusun Mimba Ketut Sumertanaya mengatakan warga setempat menerima investor tersebut karena bukit tersebut semula tidak produktif, kering kerontang. “Investor juga sepakat untuk mempekerjakan warga lokal kalau hotel sudah jadi,” kata Ketut. Maka, bukit itu pun langsung dikeruk untuk lokasi pembangunan hotel tersebut. Bukit kering ini menghadap ke arah laut dengan pemandangan air laut biru dan pasir putih di mana Sari dan Rimben berjualan.
Masalahnya, bukit ini juga sekaligus tempat jalan ke lokasi pantai. Selain itu, karena pantai tempat Sari dan Rimben itu jadi pemandangan utama, maka oleh pihak hotel, mereka pun diminta untuk pergi dari pantai. Sebagai ganti rugi, mereka mendapat uang tunai Rp 8 juta.
“Awalnya kami mau menolak. Tapi karena teman-teman lain pada menerima, kami tidak bisa menolak lagi. Apalagi kami juga dijanjikan akan mendapat pekerjaan di hotel baru itu,” kata Rimben. Ketika pembangunan mulai berjalan, semua pedagang langsung berhenti jualan di pantai tersebut.
Namun pembangunan hotel yang baru berjalan sekitar tiga bulan ternyata terhenti sejak dipersoalkan banyak kalangan. Meski sudah mendapat izin dari warga setempat, proyek pembangunan hotel Chateau the Bali di Bukit Mimba mendapat protes dari kelompok lembaga swadaya masyarakat, DPRD, bahkan gubernur Bali.
Alasan penolakan tersebut antara lain karena pembangunan itu dianggap melanggar aturan, merusak lingkungan, dan mengotori kesucian pura. Karena ada suara keberatan itu, Gubernur Bali saat itu Dewa Made Beratha pun meminta agar Bupati Karangasem Wayan Geredeg segera menghentikan proyek tersebut.
Melalui surat No 188-34/4518/HK gubernur Bali meminta agar bupati mencabut suratnya yang merivis larangan membangun di kawasan tersebut. Gubernur Bali yang baru, Made Mangku Pastika juga meminta agar proyek itu dihentikan. DPRD pun secara resmi sudah meminta bupati menghentikan pembangunan hotel tersebut. Akibat polemik antara gubernur dan bupati itu, pembangunan hotel pun terhenti.
Menurut Ketut Sumertanaya pihak manajemen hotel Chateau the Bali belum memberitahu secara resmi alasan berhentinya pembangunan hotel tersebut. ”Setahu saya karena menunggu adanya revisi aturan tersebut,” kata Ketut.
Toh di lapangan, proyek itu benar-benar berhenti. Sementara itu para pedagang acung seperti Rimben dan Sari tak bisa menunggu kejelasan nasib hotel. “Kalau menunggu proyek, kami mau makan apa,” katanya.
Maka mereka kini berjualan lagi, meski hanya kecil-kecilan di pantai tersebut. Tapi kondisi sudah jauh berbeda. Minggu pekan lalu, ketika mereka berjualan di sana, hanya ada tiga turis di pantai tersebut. Itu pun tak satu pun yang belanja sampai tengah hari tersebut. Sari dan Rimben sibuk membuat banten ditemani anak masing-masing.
“Sekarang dapat duit lima ratus (rupiah) sehari saja sudah syukur,” kata Sari. [b]
maaf bli anton, judul artikel diatas bisa juga dirubah menjadi ” investor korea kecele “.
inilah bahayanya berinvestasi di indonesia, biasanya uang yang didapat secara susah payah, bisa menguap. yang untung hanya beberapa gelintir pejabat dan calo yang tak bertanggung jawab.
seharusnya setiap kecamatan memiliki plan tata ruang pembangunan, atau istilah asingnya bebauungsplan.
jadi pak camat harus tahu, dilokasi mana boleh dibangun dan dimana dilarang. jika volume pembangunan terlalu besar, dan pak camat tidak berani mempertanggungjawabkan keputusannya, maka dia harus berunding dengan bapak bupati. jika oleh camat dan bupati sudah diizinkan, selain itu, penduduk disekitar proyek tidak berkeberatan, ya seharusnya tidak boleh ada masalah. proyek harus jalan terus, sebab semua masalah harus ditanggung oleh camat dan bupati.
jika seorang investor datang mengajukan proposal, banyak pejabat daerah swastantra tingkat II, merasa sok berkuasa dan berjanji mengeluarkan surat2 izin, tentu saja harus ada uang pelicin, istilah halusnya biaya administrasi+plus+plus. jika bapak gubernur tidak setuju
maka semuanya pada mengempit ekor. begitulah seterusnya.
jika bapak gubernur setuju, tetapi yang berkuasa di jakarta tidak setuju, ya gilirannya pak gubernur yang ngempit ekor. semuanya beramai-ramai cuci tangan, dan berlagak masa bodoh. yang kasihan dan rugi adalah si-investor, baik asing maupun pribumi.
seharusnya pejabat memiliki kompetenz, bilang boleh, ya boleh. bilang tidak ya tidak. semuanya harus menurut aturan dan undang2. jangan yang satu bilang boleh, setelah uang mengucur, yang lain bilang tidak boleh.
sifat plintat plintut macam ini, tidak baik untuk suasana investasi.
bapak gubernur dewa made beratha sudah sangat sering datang berkunjung kenegeri cina, beliau tahu betul, jika seorang pejabat negeri cina mengijinkan sebuah proyek, maka proyek tersebut akan berjalan mulus. di cina semua investasi yang nilainya dibawah 30 juta us dollar, cukup hanya minta izin dari sekretaris partai kabupaten dan bupati.
kita kasihan kepada mbok sari dan mbok rimben, jangan lupa kasihan kepada siorang korea, sebab setiap mata-uang memiliki dua sisi, bukan seperti main gambaran sewaktu saya masih kanak2.
semoga bapak gubernur pastika setahap demi setahap memperbaiki birokrasi dipulau bali, membuat bebauungsplan yang jelas, tidak boleh lagi ada penyelewengan yang merugikan rakyat bali atau investor yang jujur. pejabat yang jujur harus kompetenz, berani bertanggung jawab, walaupun harus cecok dengan atasannya.
jika merasa benar, tidak usah takut kepada atasan. pegawai negeri tidak boleh dipecat sesukanya. pegawai swastapun memiliki hak berlandaskan undang2.