Tak ada lagi sawah yang bisa kami nikmati.
Biasanya, tiap musim hujan begini, sawah-sawah di sisi jalan Kerta Dalem, Sidakarya, Denpasar Selatan itu akan terlihat indah. Sawah-sawah terisi air, ada petani membajak dengan traktornya, sementara sesekali Gunung Agung akan terlihat di timur laut sana.
Setelah musim tanam, pemandangan berganti dengan hijaunya padi sebelum kemudian menguning dan dipenuhi aneka hiasan untuk menghalau burung-burung. Menyenangkan melihat sawah-sawah masih ada di tengah kepungan kafe, perumahan, dan perkantoran Denpasar.
Tapi, pemandangan yang hampir tiap hari saya temui selama sekitar 7 tahun tersebut kini hilang. Sebagai gantinya, sebuah hotel baru kini dalam proses pembangunan. Di sekitarnya rumah-rumah baru dengan bentuk terlihat elite dan mahal pun bermunculan.
Saya tidak mengerti, kenapa bisa ada hotel bertingkat dibangun di jalan kecil seperti jalan Kerta Dalem ini. Saya juga tidak mengerti, kenapa hotel-hotel di Denpasar terus saja bertambah sementara Bali sebenarnya sudah kelebihan kamar hotel.
Lihatlah di Denpasar saja dulu. Secara kasat mata terlihat hotel-hotel baru terus dibangun. Di Jalan Teuku Umar Denpasar, akan segera dibangun Hotel Amaris milik grup Kompas Gramedia. Padahal jalan Teuku Umar ini salah satu pusat kemacetan di Denpasar.
Di Jalan Cokroaminoto, saat ini juga sedang dibangun Hotel Harris. Padahal jalan ini pun sering macet. Lalu, berjarak sekitar 2 km dari jalan ini, ada pula Hotel Neo yang sedang dibangun di Jalan Gatot Subroto Barat. Hotel jaringan ini dibangun persis di samping sungai.
Daftar pembangunan hotel di Bali selatan bisa terus bertambah jika melihat tempat lain di Kuta, Tuban, Jimbaran, Nusa Dua, Tanjung Benoa, dan tempat lain di jantung pariwisata Bali, Kabupaten Badung.
Anehnya, pertambahan hotel itu terus terjadi ketika Pemerintah Provinsi Bali sedang melaksanakan moratorium pembangunan pariwisata akibat terlalu banyaknya kamar hotel di Bali. Menurut riset Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Universitas Udayana, Bali sudah mengalami kelebihan kamar hotel hingga 9.800 kamar.
Selain itu, Gubernur Bali juga sudah mengeluarkan Surat No 570/1665/BPM tentang Penghentian Sementara Pendaftaran Penanaman Modal untuk Bidang Usaha Jasa Akomodasi Pariwisata. Penghentian sementara alias moratorium ini berlaku sejak 5 Januari 2011. Tapi, buktinya, hotel-hotel baru terus bertambah. Jika Anda dua tahun tidak ke Bali sama sekali, maka saya yakin Anda akan kaget melihat banyaknya hotel-hotel baru itu.
Tapi, begitulah aturan cuma galak di atas kertas tapi melempem di lapangan. Ketika Gubernur Bali membuat aturan moratorium, hotel-hotel baru justru terus bermunculan.
Akibatnya, hotel kian banyak dan semena-mena lokasinya. Paling tidak enak ketika dia ada di tengah pemukiman. Jalan yang makin macet pun nantinya pasti lebih macet.
Dampak maraknya hotel-hotel murah berjaringan ini sangat mungkin adalah sepinya hotel-hotel milik warga lokal. Tentu saja mereka kalah, sudah modal kecil dan tak punya jaringan kini harus bersaing dengan hotel-hotel bermodal besar dan jaringannya di mana-mana.
Tapi, siapa peduli kalau hotel-hotel milik warga lokal ini satu per satu mati?
lihat berapa banyak dan berapa besar proyek hotel sedang jalan di bali saat ini di: “Bali: How Much Is Too Much?” http://www.facebook.com/balitoomuch
Lho, berarti moratorium itu sebenarnya masih berlaku ya? Saya kirain selama ini tidak ada moratorium. Brarti pemerintah/penegak hukum harusnya menelusuri ijin pembangunan hotel2 itu.
Selain menambah kepadatan dan kemacetan di jalan2, proses pembangunan hotel itu sendiri sebenarnya sangat mengganggu, seperti pembangunan hotel di jalan Taman Mertanadhi Kerobokan, jalan aspal menjadi sangat kotor dan berlumpur karena truk membawa tanah yang lalu lalang, kalau aspal itu kena hujan bisa dibayangkan gimana kotornya, kalau kering pun juga jadi berdebu.