Ruang diskusi online di akun X Space Bale Bengong pada (03/06), Putri Santiadi
Bali menjadi pusat perhatian dunia. Tidak hanya sebagai episentrum desa wisata, tetapi juga center of excellence dalam pengelolaan desa wisata. Setelah pandemi Covid-19 berakhir, pembangunan-pembangunan pariwisata berkembang dengan pesat dari desa ke desa.
Perubahan pun terjadi dengan cepat, terutama alih profesi. Hanya segelintir warga yang mempertahankan pekerjaannya sebagai petani dan peternak. Sebagian warga lebih tertarik untuk menekuni bidang pariwisata karena upah yang menjanjikan di masa depan. Akibatnya, pembangunan terus terjadi untuk memenuhi kebutuhan warga Bali.
Lahan hijau berubah menjadi bangunan pariwisata. Kini, Bali seperti apa yang diinginkan? Bisakah kita pertahankan konsep Tri Hita Karana, jika pembangunan belum terkontrol dengan baik? Pertanyaan ini membawa Tim Citizen Science AJW 2024 mengangkat isu Dampak Pelanggaran Tata Ruang. Berawal dari keresahan, mereka telusuri setiap ruang yang tak aman.
“Ruang-ruang semakin mengecil, sawah-sawah yang ada di Canggu sudah menjadi bangunan-bangunan yang mengakibatkan kurangnya lahan hijau di daerah Canggu,” ujar Barda, penerima beasiswa AJW 2024 pada Senin (03/06).
Pemilik tanah menjual atau menyewakan tanahnya dengan harga yang melambung tinggi. “Kita sempat riset atau mencari data terkait penjualan tanah di Kuta Utara dan Selatan. Kuta Utara pada 2023 kuarter awal sampai Juni harga tanah 400 USD. Kemudian, Kuta Selatan 500 USD,” lanjutnya.
Tidak hanya di Canggu, pembangunan ini juga terjadi di beberapa desa, seperti Pecatu. “Kalau berbicara tata ruang, banyak hal yang kita bisa lihat. Di Pecatu, banyak pembangunan-pembangunan yang melakukan pengerukan di atas tebing. Pembangunan tersebut ada di beberapa pantai, yang berakibat akses pantai kurang aman untuk disabilitas, lingkungan pantai kotor, dan beberapa infrastruktur semrawut atau belum di tata dengan baik oleh pemilik bangunan. Banyak tebing-tebing yang dikeruk untuk melakukan pembangunan yang mana hal tersebut sudah termasuk pelanggaran tata ruang.” tambah oleh Putri Santiadi, penerima beasiswa AJW 2024 lainnya.
Dengan adanya pembangunan-pembangunan yang menghilangkan keasrian Bali, warga malah abai dan tak ingin berkomentar. “Pada saat observasi, warga abai terkait hal yang berbahaya, warga cenderung melihat dari sisi keindahan bangunan dan pantai,” lanjutnya.
Situasi ini juga terjadi di berbagai daerah, namun Bali menjadi sorotan dan kasus yang pasif. “Dalam semua pembangunan peran warga yang diperlukan. Fenomena yang sering terjadi adalah warga kurang teliti terkait pembangunan yang melanggar tata ruang.” ungkap Vanesha dari Kota Kita.
Tentu, masyarakat memiliki peran penting dalam mengontrol atau mengawasi pembangunan-pembangunan pariwisata yang terjadi di Bali. “Bagaimana tata ruang yang kita lihat secara aturan adanya nilai di tingkat Kabupaten dan Kecamatan. Hal ini sudah diprediksi untuk terjadi, adanya hal yang perlu dilihat. Terkait perizinan tidak hanya dilakukan di tingkat atas tetapi juga harus dari tingkat bawah. Bagaimana keterlibatan unsur-unsur di luar pemerintah hukum terkait tata ruang memang sudah banyak, tetapi jarang masyarakat tahu terkait hal tersebu,.” tambah Icha ahli Urban Planning dari Kota Kita.
Jika membahas perihal pembangunan, tak terlepas dari perizinan dan tata kelola. Bali telah memiliki sistem perizinan online, yaitu SIMBG yang merupakan aplikasi berbasis web yang terintegrasi dengan Online Single Submission (OSS) untuk perizinan khusus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Dengan adanya sistem ini, warga Bali dapat secara online mengajukan permohonan izin pembangunan. Namun, izin pembangunan tidak hanya sampai di OSS saja. Pada pertemuan daring melalui X space adanya keresahan warga terkait perizinan tersebut, “memang diizinkan di pusat tapi dipersulit di daerah,” ungkap @amazingbali.
Proses perizinan memang tidak dapat ditemukan secara terbuka, meskipun syarat dan persyaratan pembangunan telah ditulis. Peraturan pelanggaran pembangunan lahan hijau, kawasan lindung, dan kawasan perlindungan setempat telah ditetapkan. Namun, masyarakat belum sepenuhnya terlibat atas perizinan pembangunan di kawasan tersebut. “Persyaratan administrasinya memang cukup lengkap, tetapi dari desa sekarang jarang melibatkan masyarakat dalam pembangunan,” sebut Barda.
Anak muda atau sekaa teruna-teruna harus terlibat dalam proses pembangunan dan melek akan tata ruang. “Dalam penyusunan partisipatif merupakan hal yang mudah disampaikan tetapi sulit direalisasikan. Ruang konservasi ragam geologis. Pembangunan di tebing-tebing Kintamani contohnya. Kembali lagi jasa konsultan dalam menyusun RDTR melibatkan masyarakat atau hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam absen saja. Banjar dan anak muda perlu paham serta melek terkait adanya hukum tata ruang. Monev bagi masyarakat ruang lingkup kita bermasalah dan kemana kita melapor terkait perizinan,” cerita Oka.
Masyarakat punya hak terkait diskusi publik dalam hal tata ruang. “Pembangunan di Bali sangat memprihatinkan,” tambah Ancak.
Isu tata ruang memang sangat kompleks, masyarakat diharapkan bisa terlibat dalam permasalahan tata ruang. Tentu perlu adanya keseimbangan antara alam dan pembangunan di daerah Bali sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Kini menjadi pertanyaan dalam perkembangan pariwisata di Bali, bagaimana aspirasi warga Bali atau visi dari warga Bali melihat perkembangan pariwisata yang cukup melesat?
Mari kita kawal pembangunan-pembangunan di Bali bersama Tim Citizen Science AJW 2024!