Oleh Ibed Surgana Yuga
Dalam sebuah tulisan berjudul “Budaya sebagai Strategi dan Strategi Budaya” (2000), G.R. Lono Lastoro Simatupang menyatakan bahwa dalam pergaulan global, terutama dalam bahasannya terhadap seni pertunjukan Indonesia, suatu wilayah budaya harus memberlakukan strategi budaya yang tepat. Menurutnya, globalisasi memberikan dua hal paradoks pada seni pertunjukan, yaitu peluang dan batas. Kedua hal inilah yang mesti dihadapi dengan strategi sehingga peluang tidak terlalu kebablasan atau tanpa batas dan batas sendiri tidak mematikan kreativitas atau membatasi dengan begitu ketat sehingga mencitrakan stagnasi.
Peluang yang diberikan era globalisasi adalah untuk mengembangkan seni pertunjukan itu sendiri dalam berbagai dimensinya dengan memanfaatkan penyebaran luas dan tanpa bendung dari ilmu, teknologi, informasi, pengetahuan dan lainnya. Sedangkan batas adalah semacam pembendung, pagar, tepi untuk mencegah pemanfaatan peluang yang jor-joran, kedodoran atau kebablasan sehingga mengakibatkan hilangnya karakter kelokalan dari seni pertunjukan itu sendiri. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya keseragaman pada berbagai dimensi seni pertunjukan di berbagai wilayah budaya di dunia.
Simatupang memberi sebuah solusi terhadap permasalahan yang dihadapi seni pertunjukan daerah di Indonesia dalam menghadapi persaingan global, yaitu strategi diaspora. Strategi ini menurutnya menyarankan kehadiran di mana-mana, di berbagai bidang kehidupan, sehingga “manusia-manusia lokal dalam berbagai kegiatan dan waktu selalu diingatkan kembali akan sebuah nilai yang hendak dibentuk” lalu memberanikan diri melakukan penawaran bentuk tanpa mendangkalkan nilai.
Bagi Simatupang, Bali adalah contoh yang tepat dalam strategi diaspora ini. Menurutnya, di Bali “terdapat kesupelan sekaligus keketatan” yang terlihat dalam kompromi terhadap berbagai pengaruh, termasuk yang non-Bali, namun tetap memegang makna inti dengan erat. Pembedaan kesenian Bali menjadi wali, bebali dan balih-balihan adalah salah satu bentuk strategi mengenai batas dan — menurut saya — peluang sekaligus.
Pengklasifikasian kesenian Bali, terutama tari, menjadi wali, bebali dan balih-balihan merupakan sebuah konsep yang dapat dikatakan baru dalam ranah budaya Bali. Ia diciptakan jauh setelah modernisme menancapkan jangkarnya di tanah Bali. Konsep yang kemudian mewujud sebagai strategi kebudayaan ini adalah hasil dari sebuah seminar yang diselenggarakan sekelompok seniman, budayawan dan cendekiawan Bali pada 1971.
Secara konsepsional, klasifikasi wali, bebali dan balih-balihan ini memang jitu. Ia memberikan pembedaan yang tegas — sekali lagi, secara konsepsional dan teori — terhadap kehidupan kesenian, terutama tari, di Bali; yang mana termasuk sakral (wali) yang hanya bisa digelar untuk keperluan atau bagian dari pemujaan terhadap Ida Betara; ada yang merupakan bagian dari ritual namun juga menjadi tontonan; ada yang murni tontonan atau hiburan yang profan. Dengan pembedaan yang demikian, batas-batas ditentukan secara jelas sehingga yang sakral tidak bercampur-aduk dengan yang profan, yang sakral tidak dapat dipentaskan untuk keperluan yang bersifat sakral.
Demikian pula dalam hal peluang. Agaknya yang memiliki ruang yang cukup luas dalam hal peluang pengembangan adalah seni yang balih-balihan. Sifatnya yang profan memungkinkan untuk mengadopsi unsur-unsur profan yang ada di luar wilayah budaya Bali. Joged Bungbung, misalnya, dengan kemunculan varian Joged Bungbung Jaipongan — terlepas dari kualitas estetik serta etik yang dikandungnya.
Ada pula kecenderungan di mana ketika seni yang wali ternyata memiliki unsur penghiburan yang potensial, namun tidak memungkinkan pementasannya untuk keperluan profan, maka orang Bali menyikapinya dengan membuat suatu varian, dengan distorsi serta penambahan pada beberapa segi, sehingga menghasilkan sebuah karya yang profan. Karya yang profan ini dengan demikian masih menyisakan berbagai unsur dari “induk” sebelumnya yang sakral.
Proses demikianlah yang sebenarnya disarankan oleh Simatupang di atas. Penawaran bentuk atau peralihan, dengan mengeluarkannya dari batas sakral kemudian menciptakan suatu bentuk yang dapat diterima sebagai hiburan. Proses yang seperti ini juga yang terjadi dalam satu pergaulan global seni pertunjukan.
Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya proses yang demikian sudah menjadi semacam proses alamiah dalam dinamika dan sejarah perkembangan seni pertunjukan, terutama di Bali. Perubahan sosial yang terjadi atau persentuhan dengan budaya luar menjadi salah satu penyebab hal ini. Budaya luar ini bisa berarti sangat dekat secara fisik, desa misalnya.
Salah satu contoh misalnya, perkemangan gamelan Angklung. Sekarang ada sebuah varian Angklung yang bernama Angklung Kebyar. Tabuh-tabuh yang dimainkannya adalah yang biasa dimainkan oleh Gong Kebyar. Barangkali perkembangan Angklung Kebyar ini merupakan sebuah respon terhadap popularitas gamelan Gong Kebyar, yang salah satunya diangkat oleh Festival Gong Kebyar PKB. Ini adalah salah satu bentuk pemanfaatan peluang.
Perkembangan Angklung yang demikian tidak serta-merta mengubahnya menjadi Gong Kebyar, karena ia tetap menggunakan instrumen Angklung, yang secara jenis kenadaan berbeda. Angklung Kebyar menjadi unik dan lepas dari kesannya yang “membosankan”, sebagimana tanggapan masyarakat mutakhir wilayah budaya Bali.
Kembali ke masalah wali, bebali dan balih-balihan. Pertanyaan yang perlu diajukan di sini, secara realitas lapangan, apakah ia sudah diterapkan dan bukan hanya berhenti pada tataran konsep? [b]