Berita tentang Bali, menjadi momok sekaligus pertaruhan citra Bali di mata wisatawan dunia.
Lihat saja pemberitaan majalah Times. Media kaliber internasional ini sempat mengubah ‘kulit asli’ Bali. Bali sebagai pariwisata Neraka.
Ya, bukan hal salah apalagi harus disanggah secara membabibuta. Pemerintah Provinsi Bali pun tak bisa berkutik, bahkan seakan mengiyakan hal tersebut. Itulah gambaran sebenarnya Bali saat ini.
Pencitraan Bali, terlalu berlebihan dan menggema di luar sana. Toh, citra ini tak diimbangi dengan restorasi dari keamanan, kebersihan, polusi, kemacetan, hingga ledakan penduduk. Terlalu bervariasi masalah di pulau ini. Tumbuh subur dan menggeliat tanpa henti.
Bukan sampai di sana saja. Sampah, yang juga belakangan menjadi isu nasional selain ulat bulu pun semakin merambah saja. Menarik untuk dicermati. Sampah-sampah yang menumpuk di pantai Kuta dengan tanggap disebut sebagai sampah kiriman angin barat.
Apakah mungkin, sampah sebanyak itu hasil kiriman murni? Apakah itu bukan sampah hasil sisa rumah tangga maupun aktivitas pariwisata yang tertumpu di pantai Kuta?
Pembelokan alasan, memang acapkali terjadi ketika ingin menyelamatkan keadaan di Lapangan secara realita. Sekali lagi memang tidak ada salahnya. Namun, sangat salah besar jika menuduh hal-hal di luar konteks sebagai penyebab dari biang keladi hal tersebut di atas.
Ketakutan pemerintah akan dikeluarkanya travel warning tentu saja menguras otak. Beragam cara dan usaha yang dilakukan selama ini, pun belum bisa menemukan indikasi yang membaik.
Dampak pariwiata tak selamanya indah. Buktinya para penggiat industri pariwisata seperti hotel, restoran, pasar modern, pasar tradisonal, dan kejadinan lainnya yang memproduksi sampah tiap harinya begitu banyak, belum secara maksimal melengkapi operasional perusahaan dengan tempat pengelolaan sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA)-nya.
Dampak nayata pun terasa. Ini membuktikan kiriman sampah dari angin barat hanyalah faktor terkecil, dan bahkan nyaris tidak ada jika menyikapi hal tersebut. Kembali lagi pada elite tertentu yang ingin “menyelamatkan” penggerak pariwisata yang bermain di belakangnya, bukankah seperti itu!
Jadi Bom Waktu
Go Gren and Celan yang dicanangkan pemerintah pun tak berarti banyak jika seluruh elemen tidak bisa sadar diri dalam pengelolaan sampah yang tak lama lagi akan menjadi bom waktu buat Bali sendiri.
Ini tak terlepas dari gaya hidup masyarakat Bali, yang acuh tak acuh terhadap keadaan sampah. Budaya membuang sampah ke sungai, semakin bertambah saja seiring dengan imbauan pemerintah agar berperan dalam penanganan sampah. Ini membuktikan adanya miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Menjadi pulau bersih dan sehat, bukanlah perkara gampang. Apalagi hanya sebatas imbauan. Melihat aktivitas penduduk yang begitu banyak, tentu ini pun setidaknya menjadi ironi.
Untuk menyiasati hal tersebut, pemerintah di kabupaten pun menerapkan peraturan daerah (perda) yang memberikan sanksi kepada masyarakat, apalagi melakukan aktivitas membuang sampah secara sembarangan. Bahkan, retribusi pun di terapakan.
Namun, harus lagi-lagi karena sanksi dan pengawaan yang amat lemah, hal tersebut tak pernah diindahkan. Warga dengan gencar membuang sampah disungai, selokan, got ataupun aliran perairan. Akibatnya, ketika musim hujan datang, banjir pun melanda.
Belum berhenti sampai di sana untuk menyikapi ironi sampah. Seakan tak kehilangan akal, belakangan ini pemerintah pun mengucurkan bantuan sosial untuk menangani masalah sampah sebanyak Rp 500 juta untuk 100 kelompok masyarakat. Dengan setiap satu kelompok masyarakat akan dijatahkan masing-masing 5 juta.
Tentunya dengan persyaratan, yaitu bagi kelompok masyarakat dan sekolah yang berminat untuk mendapatkan bantuan sosial bansos tersebut benar-benar sudah melakukan pengelolaan sampah yang mengarah pada 3R, yaitu reduce, reuce, dan recycle. Warga juga harus memberikan persyaratan tertulis berupa propasal yang nantinya akan diverifikasi. Memang sedikit formal dan meyakinkan.
Wajib dipantau, mengingat bansos di atas bukanlah dengan biaya sedikit. Jangan sampai langkah untuk menyadarkan mayarakat tentang baiknya pengelolaan sampah hanya sebatas untuk memperoleh pendanaan sekian juta. Namun, upaya ini harus lebih pada penyadaran diri terhadapan lingkungan saat ini. Belajar dari kisah pabrik pengelola sampah yang saat ini menjadi “sampah”, di Dusun Peh, Desa Kaliakah, Jembrana.
Mesin khusus dari negeri Sakura tersebut, hanya bisa dimanfaatkan sampai beberapa bulan. Padahal, tujuan didatangkan pabrik tersebut untuk mengatasi sampah agar bisa dimanfaatkan menjadi kompos. Kompos ini nantinya digunakan untuk kepentingan pertanian. Namun, ide ini ternyata mandek di tengah jalan.
Parahnya lagi, mesin pabrik kompos yang menelan uang rakyat sebesar Rp 4,1 milyar tersebut sekarang hanyalah menjadi “sampah” tak berarti. Ini seharusnya menjadi pelajaran untuk para elite, dalam mengambil sikap di lapangan. Apalagi masalah dana yang dikucurkan. Perlu pertimbangan! [b]
rwa bhineda tidak akan pernah terlepas dari dimensi ruang dan waktu jika kita masih brada di dunia ini….. kebaikan akan selalu pasti berdampingan dengan keburukan.
“now…what are you doing for save our Bali”
Yang bisa aku lakukan untuk membuat Hijau Baliku hanya dengan membuang sampah pada tempatnya. Namun apakah itu sudah cukup ❓ keknya masih jauh dari harapan. Contohnya saja mesin pengolah sampah dari Jepang yang menghabiskan duit milyaran rupiah. Tapi hasilnya cuma menjadi sampah tak berarti.
Jadi sedih dengan kelanjutan penanganan sampah ini. Mungkin sekarang sudah agak mereda pembicaraan tentang sampah ini, tapi benar ini merupakan sebuah bom waktu yang akan bisa terpicu dengan sendirinya. Seperti kejadian beberapa tahun yang lalu di kota Bandung Jabar. 🙁
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
kampanye “buanglah koruptor pada tempatnya” lebih mendesak timbang “buanglah sampah pada tempatnya ..”
Mengatasi soal sampah memang tdk.seperti teknologi pemusnah sampah,diberitakan berhasil hari ini/tahun ini tahun berikut sama tetap berhasil,karena memang tepat sasaran pada sampah-2 yg.perlu di atasi,dibandeng cara lain,diberitakan tahun ini tahun depan geblak begfitu saja terus ya jelas tidak akan berhasil mengatasi sampah,marilah gunakan teknologi pemusnah sampah kalo memang betul-betul ingin sampah-2 itu teratasi.Saya penemu cara ini tidak serakah,tidak promosi,tidak memproduksi juga tiudak menjual,sekedar menginformasikan dan membantu bilama ada yg.memerlukan pembuatan alat pemusnah sampah yg.gak pernah gagal dalam mengatasi sampah berapapun juga kondisi basah busuk skalipun tanpa bahan bakar apapun.Trima kasih.
Halllo sampaaaah,kedengarannya masih blm.teratasi pada hal terus berdtangan,diatas sdh.ada komentar saya,itulah cara mengatasi persoalan smpah dengan kepastian mesti berhasil,bagekan rumus bila 3×3 pasti ada 9 tdk.ubahnya cara yg.saya lakukan PASTI BERHASIL pasti ada yg.gak percaya,yg.gak percaya tinggal baca aja di blog.termasuk yg.baru selesi pembuatan yg.ke 46 di Cengkareng,ke-47 di perum.Depok dan ke-48 di Bekasi,dari sekian itu tidak satu pun yg.tdk.berhasil,semuanya berhasil atasi sampah yg.ada.Trima kasih.