Perempuan dan transgender paling rentan jadi korban pelanggaran privasi.
Sehari setelah putus dengan pacarnya, I Gede Tista langsung mengeluarkan ancaman kepada sang mantan. Pemuda berusia 19 tahun itu mengirim foto setengah telanjang mantan pacarnya, NWSN, kepada orangtua korban.
Melalui pesan yang dikirim melalui WhatsApp itu, Tista memberikan ancaman: balik pacaran atau fotomu aku sebar.
Tista berusaha menekan sang mantan lewat bapaknya.
Namun, dia justru mendapatkan ancaman balik. Melihat foto anaknya, sang orangtua pun geram. Si bapak langsung melaporkan Gede Tista ke Polres Bangli, Bali pada Senin, 26 November 2018 lalu.
Penyidik Polres Bangli langsung memeriksa Tista. Menurut Kepala Humas Polres Bangli Sulhadi, pekerja kapal pesiar itu bisa diancam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 1.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menyatakan tiap orang dilarang untuk dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan dan atau membuat informasi elektronik yang mengandung muatan melanggar asusila. Menurut Pasal 45 ayat 1, pelakunya bisa kena pidana penjara enam tahun dan atau denda hingga Rp 1 miliar.
Polisi sendiri belum menahan Tista karena mereka masih melakukan pemeriksaan terhadap korban. “Korban belum bersedia diperiksa karena masih malu,” kata Sulhadi ketika saya hubungi lewat telepon.
Kelompok Rentan
Sehari sebelum saya membaca berita tentang kasus pengiriman foto asusila NWSN oleh mantan pacarnya ini, saya mendapatkan laporan tentang praktik pelanggaran privasi terhadap perempuan dan transgender. Laporan ini diterbitkan Privacy International, kelompok masyarakat sipil berpusat di London, Inggris yang fokus pada advokasi hak-hak atas privasi.
Penyebaran foto NWSN bisa jadi contoh betapa rentannya perempuan menjadi korban pelanggaran privasi. Kasus itu menjadi pembuka banyaknya kasus pelanggaran privasi terhadap perempuan.
Pengambilan foto oleh Tista bisa jadi dilakukan tanpa persetujuan pacarnya saat itu. Namun, foto itu yang kemudian (akan) disebarluaskan. Tujuannya untuk balas dendam. Foto pribadi korban, sesuatu yang amat privat, justru jadi alat tawar menawar bagi pelaku.
Revenge porn, istilah untuk penyebaran foto pribadi (biasanya cenderung sensual) oleh mantan, hanya salah satu bentuk pelanggaran privasi terhadap perempuan. Menurut Privacy International, pelanggaran privasi pada perempuan dan transgender itu juga dilakukan melalui pengumpulan dan penyebaran informasi pribadi (doxing), pelecehan di media sosial, pencurian akun korban, dan pengawasan secara daring (surveillance).
Pertama, pengambilan dan penyebaran foto tanpa persetujuan. Ini biasanya terjadi ketika korban tidak sadar bahwa dia telah difoto dalam posisi sangat personal. Dalam banyak kasus sih sensual atau bahkan telanjang, penuh ataupun sebagian.
Pelaku melakukannya dengan dalih untuk dokumentasi pribadi, tetapi bisa jadi foto itu hanya alat untuk menyandera korban: jangan macam-macam atau foto telanjangmu aku sebar!
Masalahnya adalah kadang-kadang foto yang dibuat untuk tujuan dokumentasi pribadi pun bisa bocor dan kemudian tersebar ke jagat daring. Bisa dengan sengaja atau tidak sengaja, seperti kasus pada Ariel Peterpan dengan dua pasangannya.
Kedua, pengumpulan dan penyebaran informasi personal (doxing). Pelaku yang berniat mencari latar belakang korban bisa dengan mudah melakukan pengumpulan informasi ini melalui berbagai saluran, terutama media sosial.
Di sisi korban, baik perempuan ataupun transgender, kadang-kadang membuat posisi mereka rentan dengan mengunggah foto-foto personal mereka. Niatnya hanya untuk berbagi entah kepada teman, keluarga, atau orang tertentu. Namun, di tangan pelaku, foto-foto personal bisa jadi alat untuk melakukan perundungan (bullying) ataupun pelecehan (harrasment).
Privacy International mengutip Dubravka Šimonovic, Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan di PBB, mengatakan penyebaran foto intim perempuan termasuk yang dimodifikasi atau diolah lagi secara digital tanpa persetujuan pemilik, pada umumnya bertujuan untuk merendahkan derajat korban. Hal itu termasuk pelanggaran terhadap privasi dan hak perempuan untuk hidup aman secara daring.
Represi pada Ekspresi
Ketiga, pelecehan secara daring (online harrasment). Perempuan dan (apalagi) transgender sering kali menjadi korban pelecehan secara terbuka, terutama melalui media sosial, baik karena ekspresi ataupun penampilan mereka.
Kasus yang dialami Anindya Shabrina Prasetiyo di Surabaya bisa menjadi contoh. Hanya karena memprotes pembubaran diskusi dan mengekspresikan protesnya melalui media sosial, dia justru diancam dengan UU ITE Pasal 27 ayat 3. Anindya tidak hanya mendapatkan pelecehan, tetapi juga pembungkaman untuk berekspresi.
Baru-baru ini terjadi juga kasus serupa di Bali. Ketika kelompok advokasi kalangan LGBT terpaksa menutup semua akun media sosial mereka hanya karena polisi membubarkan acara tahunan mereka.
Dalam budaya patriarkis saat ini, perempuan dan transgender tidak bebas berekspresi. Begitu pula dalam aktivitas di Internet. Padahal, ekspresi adalah bagian dari pilihan pribadi. Sesuatu yang amat personal dan privat.
Keempat, pencurian akun korban dengan cara meretas. Pelaku pelanggaran ini pada umumnya adalah orang-orang terdekat, seperti pasangan atau mantan pasangan. Tujuannya untuk tahu lebih banyak tentang kegiatan perempuan yang dijadikan korban.
Pelanggaran ini semakin mudah ketika di sisi lain, perempuan dan transgender termasuk kelompok yang kurang melek keamanan digital. Bagaimanapun kesenjangan digital laki-laki dan perempuan masih terjadi, termasuk kesadaran tentang keamanan digital.
Pengaturan katakunci (password) yang lemah dan keterbukaan pada aplikasi-aplikasi berbahaya hanya sekadar contoh penyebab rentannya perempuan jadi korban pencurian akun media sosial.
Kelima, pengawasan secara daring (surveillance). Pengawasan ini dilakukan banyak pihak, bahkan termasuk keluarganya sendiri. Tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh orangtua atau saudara. Para pengawas ala Big Brother ini lalu mengatur bagaimana perempuan dan transgender harus bersikap di publik, dalam hal ini media sosial.
Meskipun media sosial di satu sisi bisa menjadi media berekspresi bagi perempuan dan transgender, tetapi di sisi lain juga menjadi layar terbuka untuk mengawasi mereka.
Pengawasan ini makin parah ketika dilihat dari sudut pandang bahwa data adalah minyak baru bagi korporasi digital. Semua gerak-gerik perempuan yang terbuka menjadi objek untuk diperjualbelikan oleh korporasi: kebiasaan, kesehatan, belanja, minat, dan bahkan doa-doa yang dipanjatkan.
Dan tak banyak perempuan yang mungkin sadar bahwa privasi yang mereka bagi di media sosial adalah data-data yang bisa dijual pada pengiklan atau juru kampanye. Bagi korporasi digital, privasi perempuan adalah komoditas mahal. [b]