Oleh Pande Baik
Ketika memulai karir pegawai negeri sipil (PNS) dari bawah dengan usia yang relatif muda di bawah 30 tahun, tidak jarang yang namanya idealisme masih ada dalam setiap pengambilan tugas dari atasan. Tak jarang pula bentrokan kecil terjadi dengan mereka yang sudah lama mengabdi dengan berbagai gaya hidup dan budaya kerja masing-masing.
Ketika satu kepercayaan diberikan oleh atasan untuk memeriksa pekerjaan yang dilakukan mereka yang telah lama mengabdi, lantaran faktor idealisme tadi yang masih ada, ternyata bukanlah satu hal yang mudah untuk dijalankan.
Seperti kata mertua. Bekerja sebagai Tim Pemeriksa seperti menggergaji. Di sini kena di sana pun kena. Kalau terlalu idealis dan kaku, maka dengan temanlah bentrokan akan terjadi. Karena bagi mereka kalau tim pemeriksa sudah turun maka terlihatlah borok pekerjaan yang dilakukan selama ini.
Namun jika terlalu lunak lantas dibodohi pihak pelaksana hingga mengubah idealisme hanya demi seamplop kecil uang makan, maka dengan atasanlah yang akan bermasalah.
Sesungguhnya tim yang diturunkan bukanlah untuk memeriksa namun mengendalikan pekerjaan. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan data baik secara dimensi maupun spesifikasi. Serta untuk berjaga-jaga saat BPKP turun memeriksa di akhir tahun anggaran nanti.
Tak semua mau mengerti hal ini. Bahkan tak jarang seorang staf yang ditunjuk sebagai Direksi Pengawas pada kegiatan bersangkutan, malah membela pelaksana kegiatan, padahal secara fakta penyimpangan sudah terjadi.
Di sini barulah yang namanya pinter-pinteran berargumen dengan teman sekantor serta membuktikan siapa yang salah. Gambar-gambar yang tampil di sini menjadi contoh betapa bobroknya mental sebagian para pengabdi bangsa ini. Mendukung pencurian uang negara melalui volume pekerjaan yang berada di bawah tanah, dengan harapan tak akan diketahui.
Namun ketika disampaikan, lebih banyak Direksi berpihak pada Pelaksana daripada mendukung tim pengendalian yang diturunkan. Mungkin lantaran sudah ada perjanjian pembagian keuntungan ataupun gratifikasi (fasilitas yang berlebihan) bagi anggota Direksi Pengawas dari pihak Pelaksana.
Sialnya kerja keras tim ternyata tak lantas dihargai setinggi harapan. Terkadang tingkat antar pimpinan lebih banyak bermain untuk menerima pekerjaan tersebut padahal sudah ada catatan penyimpangan volume dan konstruksi.
Malahan ada juga pihak Pelaksana yang begitu pongah mengaku-aku bahwa pekerjaannya sudah beres diperbaiki lantas mencatut nama tim pengendalian maupun atasan langsung, untuk mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan sebagai salah satu syarat pencairan uang negara.
Kalau sudah begitu cap yang dikenakan untuk Tim yang diturunkan pun menjadi beraneka ragam. Walaupun garangnya tim yang turun meminta Pelaksana untuk melaksanakan pekerjaan sesuai bestek maupun Kontrak agar sesuai dari segi dimensi maupun spesifikasi material dan pengerjaan, toh kalo sudah sampai ditingkat atas pasti disetujui dan uang pun ngalir. Ah, ini jadi ironi bagi mereka yang diturunkan sebagai anggota tim.
Nah, masih mau tetap idealis atau… [b]
pengalaman sama, 5 tahun lalu, antara idealis dan ekonomis. terpikir sampai sekarang menjual sudah menjual idealis. mudah-mudahan tidak terulang lagi, khusus proyek di klungkung lebih khusus lagi nusa penida, merupakan lahan basah bagi pelaksana, pengawas dan birokrat. sayang tidak ada laporan mendetail khusus tentang hal ini di media.
wow.. pengalaman ini jg persis spt yg saya alami saat ini, dimana semua cpns laki2 di Kab. jembrana mendapat giliran tugas di pos pemeriksaan KTP Gilimanuk utk menggantikan tim pendahulu yg ditengarai sdh “dicemari” pungli,
Mungkin krn dianggap masi idealis dlm bekerja dan jg blm 100% PNS sehingga tdk akan berani macam2 dlm bertugas, semoga cpns ini kelak bisa merubah pola krj birokrasi menjadi efisien & akuntabel.
Yup. kalo udah sama-sama menjalani keseharian selaku PNS muda, ya emang begini resikonya. plus PASTI ditanggepin gak baik oleh yang merasa terusik akan ke-idealisme usia muda.