Teks Luh De Suriyani, Ilustrasi Internet
“Hampir semua mahasiswa berlaku curang dalam ujian. Tapi yang tidak melakukan malah didiskriminasi,” ujar Suri.
Suri, mahasiswa dari kelompok Ombudsman, mengatakan calon-calon koruptor telah dididik dari kampus. Hal lain menurutnya adalah masalah birokrasi dan administrasi di kampus yang tak transparan.
Mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil menurutnya juga masih beraroma korupsi. “Proses penegakan hukum penuh suap menyuap, bagaimana saat menjadi penegak hukum?” kritik mahasiswa Fakultas Hukum Unud ini. Seragam untuk pelaku koruptor sangat tak efektif karena faktanya pelaku malah mendapat fasilitas mewah dalam tahanan atau penjara.
Kelompok lainnya mengutarakan ide cut generation, sebagai strategi pemberantasan korupsi. “Semua hakim yang ada dicopot,” kata juru bicaranya. Solusi lain adalah sosialisasi ke masyarakat dengan pendekatan dialog dan argumentatif. Penanganan berikutnya pemiskinan atau pengambilalihan asset-asset koruptor, serta pembuatan roadmap strategi reformasi birokrasi.
Strategi penanganan korupsi dan pengenalan akar masalah korupsi di Indonesia ini didiskusikan di Sekolah Anti Korupsi. Sedikitnya 100 orang mahasiswa sejumlah kampus di Denpasar mempelajari apa itu korupsi selama dua hari di Universitas Udayana, Denpasar, yang berakhir Minggu (21/11) dalam kursus singkat, Sekolah Anti Korupsi yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana.
Workshop ini diisi oleh sejumlah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pusat, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan dosen hukum Unud.
Adji Prakoso, Ketua BEM Unud mengatakan perhelatan Sekolah Anti Korupsi ini mendekatkan mahasiswa pada isu korupsi dan belajar membuat jalan keluar untuk mengurnaginya. Hal ini penting, karena menurut Adji praktik korupsi berawal dari sikap individu sampai manajemen kampus.
Putu Wirata Dwikora, pendiri Bali Corruption Watch (BCW) mengatakan partisipasi kaum muda dalam pemberantasan korupsi sangat kecil. “Tidak sebanding dengan fenomena korupsi yang terus merajalela dn meluas sampai ke tingkatan masyarakat,” ujarnya. Misalnya pemilih yang menjual suaranya ke calon kepala daerah dalam pemilu kepala daerah dan legislative.
“Mahasiswa harus membuka matanya bahwa korupsi membuat ketidakadilan dan pemiskinan,” kata Wirata. Karena itu Ia berharap mahasiswa bisa terlibat misalnya dalam pemantauan anggaran di kampus, transparansi, dan membentuk forum-forum anti korupsi di kampus.
Menurut Wirata, pengungkapan kasus korupsi di Bali berjalan amat lambat. Beberapa contoh yang dipaparkan adalah dugaan korupsi alat berat oleh Bupati Buleleng, dugaan korupsi oleh mantan Bupati Jembrana, Gede Winasa. Wirata menambahkan, di Karangasem ada dugaan korupsi pengadaan 70 are tanah dengan markup yang dilaporkan sejak 2005 dan sampai sekarang mantan bupatinya yang terlibat I Wayan Geredeg belum diperiksa.
Selain itu di Tabanan ada dugaan korupsi pengadaan 7 hektar tanah untuk pembangunan rumah sakit internasional di Kecamatan Kediri, di Bangli ada indikasi korupsi pengadaan alat kesehatan sebesar 9 milyar, dan masih banyak lainnya.
“Beberapa kasus korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Kalaupun dinyatakan bersalah, hukumannya sangat ringan,” ujarnya. Lambannya pemberantasan korupsi di Bali ini menurutnya karena beberapa hal. Yakni reformasi birokrasi yang tak berjalan, proses penanganan korupsi malah diwarnai oleh korupsi. Indikasinya, pelaku korupsi relatif jarang ditahan dibanding pelaku kriminal lainnya seperti pencuri ayam, pelaku judi, dan lainnya.
Wirata mengatakan dua sumber korupsi adalah by need dan by greed. Walau Kota Denpasar baru saja diumumkan sebagai kota yang paling bersih korupsi di Indonesia, sesuai hasil survey persepsi public KPK, menurutnya ini karena masyarakat dan media di Bali belum banyak mengungkap kasus-kasus korupsi dengan tuntas.