Di balik sosok sederhananya, Pekak Degeng bisa menginspirasi.
Ini merupakan tulisan lama yang ada di website pribadi saya sendiri. Namun, mungkin bisa menginspirasi banyak orang jika saya posting di sini. Bukan bermaksud untuk promosi atau apapun. Hanya ingin berbagi pengalaman dan semoga dapat menginspirasi banyak orang.
Ini adalah pengalaman saya pada saat launching Talk Show Suara Sandal Jepit. Kebetulan pula di sana saya menjadi tim Suara Sandal Jepit tersebut. Saya hanya menceritakan apa yang masih bisa saya ingat. Mungkin ada yang bertanya-tanya apa itu suara Sandal Jepit berikut saya kutip dari web resminya, SuaraSandalJepit.org:
Suara Sandal Jepit (SSJ) adalah sebuah wadah atau ruang bertutur yg disiapkan untuk para kaum marjinal. Selama ini kisah hidup mereka yang luar biasa sebenarnya menginspirasi tapi tak pernah bisa kita dengar. Ruang fomal tak berpihak kepada mereka.
Program ini adalah bagian dari kegiatan Komunitas Anak Alam di bidang pendidikan. Tujuannya untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat luas akan suatu perjalanan hidup orang-orang biasa, kebanyakan, tukang sampah, tukang suun, kepala dusun dari kampung terpencil, bidan desa, seniman tua, dll yang unik dan memiliki kisah tak ternilai harganya.
Di format dalam bentuk talkshow (bertutur dan bercerita), direncanakan hadir setiap hari Minggu di tempat yang berbeda-beda di setiap edisinya. Waktunya mulai pukul 7 malam dengan durasi 120 menit. Obrolan ini menampilkan ‘pahlawan’ dari kaum pinggiran dan pelosok sebagai pembicara yang berbeda di setiap edisinya. Hal ini untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa talkshow bukan ekskusif milik kaum terdidik, politikus dan orang terpandang secara umum.
Harapan dari Suara Sandal Jepit ini adalah untuk dapat didengar masyarakat luas sebagai ‘cermin’ buat berkaca, mensyukuri hidup, belajar banyak darinya. Selain itu khususnya lembaga, individu-individu peduli, pemerintahan, karena suara yang di sampaikan oleh pahlawan kita tersebut di atas merupakan suara rakyat, yang konon adalah suara Tuhan. “Vox Populi Vox Dei”
Edisi perdana dari suara sandal Jepit dilakukan pada Minggu, 17 Februari 2013 dengan menampilkan Pekak Degeng sebagai pembicara dalam tajuk Pekak Degeng “Jenderal Marjinal dari Jalan Turi”. Pekak Degeng adalah sosok pemulung rongsokan yang telah menjalani profesi ini berpuluh-puluh tahun. Dia sekaligus juga tulang punggung keuarganya. Di tengah keterbatasan dan tantangan hidupnya, banyak cerita inspiratif yang dapat kita ambil hikmahnya. Tentu pula kita dapat mambantu kehidupan sehari harinya, yang sangat kekurangan. Besar harapan kami, medium bertutur ini akan bermanfaat kepada kita semua, menjadikan kita lebih peka, peduli dan mensyukuri hidup yang berharga ini.
Launching pertama obrolan ini pada 17 Februari 2013, di Danes Art Veranda Cafe. Bintang tamu yang ditampilkan pada edisi pertama ini cukup membuat saya terkagum-kagum dan heran. Kenapa? Karena beliau merupakan orang tua yang sudah cukup renta namun masih memiliki semangat kerja melebihi kita semua. Saya sempat malu ketika mendengar apa yang Pekak Degeng ini alami selama kehidupannya.
Sekilas tentang Pekak Degeng. Beliau Lahir pada jaman penjajahan Jepang. Beliau tidak ingat tanggal lahirnya. Beliau pernah mengecap bangku pendidikan sampai kelas 5 Sekolah Dasar (seingat saya). Namun, karena itu pula beliau harus berpindah pindah dari satu SD ke SD yang lain. Pada saat itu masih zaman penjajahan Jepang. Akhirnya beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
Seusai putus sekolah beliau bekerja sebagai pengantar roll film untuk bioskop-bioskop di Banyuwangi, Denpasar dan Lombok. Namun pada tahun 1989 beliau berhenti dari pekerjaan tersebut dan beralih menjadi pengumpul barang bekas. Pekak ini walaupun sudah berumur tapi pada saat talkshow sangat bersemangat menceritakan pengalaman hidupnya. Pekak ini juga sangat lucu dan humoris sehingga membuat para penonton tertawa melihat kepolosan dan kelucuan kata-kata beliau.
Beliau mempunyai empat anak. Anak pertama sudah meninggal, yang kedua tidak bekerja hanya menjaga ibunya yang sakit di rumah. Anak ketiga bekerja di art shop. Anak terakhir bekerja di sekitar Mengwi. Saya lupa pekerjaannya apa.
Ketika ditanya apa tidak lelah ketika setiap pagi harus berjalan untuk mencari barang rongsokan? Jawaban Pekak ini sederhana. Katanya, jika dia diam di rumah dia stress dan bisa sakti. “Lebih baik saya keluar tidak sakit dan bisa menghasilkan uang,” katanya.
Penghasilan Oekak Degeng per hari tidak menentu. Kadang Rp 5.000, kadang Rp 10.000. Kadang bisa lebih jika ada yang berbelas kasihan memberikan uang kepadanya. Jika dihitung per bulan, pendapatannya sekitar Rp 200.000. Pendapatan yang pas-pasan. Hanya cukup untuk beli beras dan sarana persembahyangan.
Saya kaget. Walaupun tidak mampu, tapi Pekak degeng ini masih memikirkan untuk mengaturkan canang setiap hari dan menyisihkan sedikit penghasilannya untuk sarana persembahyangan.
Beliau mengatakan rongsokan yang dikumpulnya tidak langsung dijual. Dia mengumpukannya terlebih dahulu hingga bisa menghasilkan lebih banyak uang. Rumah beliau berukuran sangat kecil di Jalan Turi No. 110 Denpasar. Rumah tersebut jika dilihat dari depan tidak seperti rumah. Kecil, sempit, dan ya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dapur dan ruang kumpul menjadi satu.
Menurut pekak, rumahnya sempat mendapat program Bedah Rumah tapi dia harus membayar ongkos tukangnya sendiri dan membeli bahan bangunan lainnya sendiri.
Yang membuat bulu kuduk saya merinding adalah ketika beliau ditanya apa keinginan atau mimpi terbesar beliau? Mimpi terbesar beliau cuma tiga. Pertama ingin melihat istrinya sehat. Kedua ingin memiliki sepatu walupun bekas tidak apa-apa. Ketga ingin memiliki telepon genggam. Mimpi yang sangat sederhana.
Beliau terkadang sekali hanya makan sekali. Paling untung kalau dapat uang lebih beliau makan tiga kali dalam sehari. Betapa ironi ketika di tengah hiruk pikuk kota Denpasar ternyata masih ada orang yang makan saja masih sulit.
Setelah melihat beliau saya sedikit malu dengan keadaan saya yang sering mengeluhkan keadaan. Masih muda semangatnya terkadang luntur. Malu dengan I Nyoman Degeng yang sudah berumur namun hampir tiap hari bisa jalan membawa gerobaknya keluar untuk memungut barang-barang bekas, demi menghidupi istri, anak dan cucunya yang menunggunya pulang setiap hari di rumah.
Beliau berpesan, jika melihat beliau di jalan, sapalah beliau. Sebab, semakin banyak teman beliau makin suka. “Amen bek ngelah timpal nak tiang demen,” begitu kira-kira yang disampaikan beliau pada saat talkshow tersebut.
Jika ada yang ingin tahu di mana rumah beliau, kalian bisa langsung mengunjungi beliau di Jalan Turi No 110 Denpasar. Beliau akan dengan senang hati menyambut kalian. Pesan yang paling saya ingat dari Pekak Degeng adalah, “Nanti kalau nikah jangan punya banyak anak ya, biar tidak repot seperti Pekak.” Begitu kata pekak kepada salah seorang teman saya.
Itu saja yang bisa saya ingat dari Edisi perdana Talk Show Suara Sandal Jepit. Semoga bisa menginsipirasi banyak orang, bahwa banyak yang lebih tidak beruntung dibanding kita.
Di bawah ini adalah kisah pekak degeng yang sempat kami buatkan short movie 🙂
acaranya asyik. profilnya juga keren. orang2 biasa tp luar biasa begini harus lebih banyak diangkat di media jurnalisme warga. biar gak cuma pejabat dan penjahat yg ada di media. 😀
kami masih vacum melaksanakan kegiatan ini karena kemarin kendala kesibukan masing2 crew dan kendala di tempat, tepi dalam waktu dekat kami akan segeara meluncurkan Kisah-Kisah inspiratif lainnya dari Bali 🙂
Inspiratif, smngat yg luar biasa, hdup kak degeng!
kadang yang seperti ini tidak pernah terlihat, bahkan untuk masa kampanye pun yang seperti ini jarang tersentuh, kadang mereka tidak mau membebani orang lain, mereka cukup berjuang sendiri untuk hidupnya.
Kenyataanya kemarin saya sempat melihat pekak degeng di masa kampanye Pilgub bali, Gerobak yang biasa dia gunakan untuk keliling itu di tempeli atribut salah satu partai (saya lupa foto saat itu). Entah itu murni keinginannya dia atau oknum yang memasangnya saya juga kurang begitu paham.
Hai Putra, kalau mau bikin talkshow nya boleh dong aku dikabari. pengen ikut bantu2 sekalian merekam potret kota.. entahlah, semoga semakin banyak penyebaran informasi jadi bisa bikin sesuatu yg bikin mrk lbh sejahtera..
Oke Nanti kalau Edisi Selanjutnya Suda mau Release pasti dikabarin, Judulnya sudah ada tapi berhubung kesibukan dan kesulitan tempat jadi pending terus 🙂
Kisah hidup yang hebat… Inspiratif!