Oleh Putri Santiadi, Wiranto, Putri Indrawati, Bardha Gemilang
Langkah kami terhenti pada jalan setapak yang dipenuhi bangunan pariwisata dan permukiman warga, yakni Desa Pecatu. Semua telah berubah, sebelumnya desa ini hanya desa gersang yang dipenuhi dengan batu-batu karang dan tanah liat.
Mengutip dari situs LPD Desa Adat Pecatu Tahun 2014 bahwa sekitar 70 persen penduduk desa petani lahan kering dan peternak, 10 persen menekuni pekerjaan di sektor pertukangan atau pengrajin, dan 20 persen sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, nelayan, dan bidang jasa lainnya. Kini sebanyak 24 persen penduduk sebagai karyawan swasta, rincian lebih jelas terlihat pada diagram di bawah ini.
Data Penduduk Desa Pecatu berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2022, Sumber: Sistem Informasi Desa Pecatu
Desa di ujung kaki Bali dengan tebing-tebing kokoh menjadi desa pariwisata. Hotel-hotel berbintang dan villa berkembang dengan pesat. Bahkan sampai melakukan pembangunan pada daerah sempadan jurang, seperti bangunan di pantai Suluban, pantai Uluwatu, pantai Bingin, dan pantai Dreamland.
Perbandingan Kawasan Desa Pecatu Tahun 2010 dan 2024, Barda (02/06)
“Pembangunan di Pecatu sudah terjadi sebelum saya menjabat, dan sekarang pemerintah daerah sudah melakukan sebuah mapping. Kasarnya bisa dibilang, disertifikatkan oleh pemerintah daerah. Nanti perlakuannya seperti apa, ya masyarakat yang ada di sekitar sana akan diajak diskusi.” Ditegaskan oleh I Made Karyana Yadnya, Kepala Desa Pecatu pada Rabu (08/05).
Ketika kami mengunjungi beberapa pantai tersebut, terlihat kesemrawutan kabel dan pipa di sepanjang jalan menuju pantai Bingin dan Pantai Suluban. Ada pembangunan yang merusak bagian tebing. Pengunjung abai dengan kondisi ini. Mereka hanya fokus pada keindahan pantai tanpa memperhatikan bagian-bagian kecil yang berbahaya. “Bali itu dikenal dengan pantainya yang indah, bagi saya bangunan itu indah,” Dwi, wisatawan lokal di Pantai Suluban (09/05).
Kondisi Jalan di Pantai Bingin dan Pantai Suluban, Putri Santiadi (03/05)
Peristiwa yang serupa juga terjadi di Desa Canggu. Kami mengamati, hamparan lahan pertanian telah berubah menjadi pemukiman warga, restaurant, cafe, hotel, maupun vila. Adanya proyek pembangunan baru yang berhadapan langsung dengan lahan pertanian. Akibatnya, debu pembangunan mencemari udara dan bahu jalan digunakan sebagai tempat parkir. Jika semua lahan pertanian menjadi bangunan pariwisata, siapkah Desa Canggu mengalami mass tourism? Saat ini sudah terasa sangat sesak dan padat.
Pembangunan di Desa Canggu, Putri Santiadi (08/05)
Bagaimana dampaknya di masa depan?
Perubahan Tata Ruang Sempadan Jurang dan Lahan Pertanian
Pemerintah merancang zona permukiman, industri, perdagangan, jasa, dan lainnya melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bali (Perda RTRW Bali). Namun pembangunan pariwisata di Desa Pecatu dan Canggu, terlihat berada pada daerah kawasan lindung. Dalam pasal 42 Peraturan Daerah tersebut ditentukan adanya kawasan lindung yang mencakup kawasan perlindungan setempat.
Dalam Perda disebutkan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan jurang, dan/atau sempadan waduk harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati, serta kelestarian fungsi lingkungan.
Regulasi yang mengatur tentang tata ruang di kabupaten Badung yakni Peraturan Daerah Nomor 26 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. dalam pasal 69 ayat (2) huruf h, yakni daratan di tepian jurang yang memiliki kemiringan lereng sekirang-kurangnya 45%, kedalaman sekurang kurangnya 5 meter dan bidang datar bagian atau sekurang-kurangnya 11 meter. Sementara kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan budidaya yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.
Untuk Sempadan Jurang diatur dalam PerGub Nomor 29 Tahun 2021 tentang RDTR Kuta Selatan, dan Canggu dalam PerGub Nomor 9 Tahun 2021 tentang RDTR Kuta Utara. “Semua peraturan daerah sudah integrasi dengan sistem. Tindak lanjutnya untuk kepentingan dan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR),” sebut Larasati Adnyana, bidang Tata Ruang Kabupaten Badung pada Senin (13/05).
Peta Rencana Pola Ruang pada 2018-2038 dan 2021-2041, Sumber: Peraturan RDTR Kabupaten Badung
Perubahan yang terlihat adalah penambahan kawasan komersial dan jasa, area pertanian yang semakin menipis, dan peningkatan fokus pada pengembangan infrastruktur strategis untuk mendukung laju investasi.
Dalam konteks “Tragedy of the Commons,” perubahan tata ruang di Bali menunjukkan bagaimana hilangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga lahan sebagai sumber daya bersama. Di Bali, lahan yang dulunya dikelola secara komunal untuk pertanian kini dieksploitasi untuk pembangunan pariwisata, mengabaikan dampak jangka panjang terhadap ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat.
Bangunan Pariwisata yang Menerabas Tata Ruang
Seiring berjalannya waktu, pariwisata di kawasan Pantai Bukit Pecatu maupun Desa Canggu diperluas untuk menarik para wisatawan asing dan lokal. Hingga saat ini semakin menjamur hotel, vila, kafe, bar, bahkan kelab malam.
Permukiman baru dan penyewaan rumah juga berkembang dengan pesat. Akibatnya arus transportasi di jalur wilayah tersebut semakin sesak dan padat. Kemacetan lalu lintas sering terjadi pada beberapa titik menuju daya tarik wisata, seperti Pandawa dan Tanah Lot. Hal inilah yang menjadi peta pergeseran lokasi pariwisata. Para investor mulai tertarik membangun di Desa Pecatu dan Canggu.
Namun, peraturan yang sudah tertulis dilanggar oleh pemilik bangunan. Salah satunya Morabito Art Cliff di pantai Bingin, Desa Pecatu dinilai melanggar ketentuan tata ruang. “Untuk Morabito Art Clif tersebut memang menggunakan tanah Pemkab tanpa izin. Pemilik sudah mendapatkan surat panggilan dan kami melakukan pengawasan dalam bentuk bimbingan terhadap bangunan tersebut hingga mendapatkan arahan tindak lanjut,” sebut I Wayan Sukanta, Satpol PP Kabupaten Badung pada Selasa (14/05).
Salah satu akomodasi di tebing. Putri Santiadi (03/05)
“Saya takut dengan bangunan-bangunan baru yang terlalu tinggi di sekitar Pantai Bingin, terutama pembangunan yang terus menerus dan khawatir kalau tebing tersebut rapuh akibat pengerukan. Sebenarnya warga sekitar tahu bahwa di daerah Pantai Bingin tidak boleh membangun terlalu tinggi mengingat tebing sudah tinggi, tapi ada beberapa oknum yang tidak mengikuti aturan,” ungkap salah satu pedagang di Pantai Bingin yang menyebut dirinya Mamak (09/05).
(klik link di bawah)
Peta Interaktif Zonasi Desa Pecatu yang Menunjukkan Tumpang Tindih Zonasi Terhadap Bangunan Eksisting, Barda (01/06)
Keresahan warga sekitar beralasan karena menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, tebing itu semakin lama akan rapuh dan berbahaya untuk pengunjung. “Pembangunan di sempadan jurang atau pantai dapat mengganggu stabilitas tanah akibat penggunaan air yang tidak terkendali sehingga memperburuk kondisi dan meningkatkan risiko erosi dan longsor, terutama pada tanah yang rapuh dan tidak stabil. Tebing yang kehilangan material pendukungnya menjadi lebih rentan terhadap erosi dan pergerakan tanah, terutama selama musim hujan atau gempa bumi. Pengerukan yang masif dapat mengubah pola aliran air permukaan dan bawah tanah yang mempercepat erosi dan abrasi pantai,” papar I Wayan Suryawan, Kepala UPTD Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali pada Jumat (24/05).
Peta Potensi Tsunami Provinsi Bali, Suryawan (24/05)
Pembangunan di sempadan jurang dilakukan dengan pengerukan tebing atau pengikisan sebagian lahan. Contohnya pada pembangunan hotel baru di Desa Pecatu yang viral akibat pengerukan tebing pada 17 Mei 2024. Melansir komentar dari akun instagram DPD Bali terpilih @niluhjelatik bahwa yang Bali butuhkan adalah pondok-pondok wisata sebagai bagian dari experience tourism, education tourism, wellness tourism, homestay desa yang mempertahankan kelestarian alam, dikelola oleh, dan untuk kesejahteraan warganya.
Perubahan Sekejap Desa Canggu
Lain lagi dengan kondisi Desa Canggu yang mengalami alih fungsi lahan yang awalnya area pertanian. Makin padat saat 2010-an, ketika kemudahan akses internet dan tren bekerja dari jarak jauh menarik para pekerja digital atau digital nomad ke Canggu. Tempat ini dipilih sebagai alternatif wisata baru selain Kuta, Legian, Seminyak yang lebih dahulu eksis. Dari tren digital nomad inilah, Canggu membentuk ekosistem bisnis dan properti sendiri, dimulai dengan munculnya co-working space.
Diagram Perubahan Tata Guna Lahan di Kawasan Canggu, Barda (01/06)
Perubahan ini mencerminkan transformasi Canggu dari daerah yang didominasi oleh lahan pertanian dan lahan hijau menjadi kawasan yang lebih urban dengan pembangunan properti yang tinggi. Semua didorong oleh lonjakan pariwisata dan investasi asing. Akibatnya, lahan hijau dan pertanian yang sebelumnya mendominasi kawasan ini semakin berkurang. Hal ini juga menyebabkan berbagai masalah, di antaranya eksploitasi air tanah.
BPBD Provinsi Bali menyatakan penggunaan air tanah berlebihan di daerah persawahan akan menyebabkan erosi tanah. “Sistem irigasi yang tidak dikelola dengan baik dan penggunaan air tanah yang berlebihan di daerah persawahan bisa menyebabkan erosi tanah. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas tanah dan peningkatan resiko longsor,” jelas I Wayan Suryawan, Kepala UPTD Pengendalian Bencana Daerah Provinsi Bali (24/05).
Ketidakteraturan pembangunan di Canggu juga terkait dengan perubahan peran pemerintah dalam kontrol dan pengawasan, setelah penerapan Omnibus Law melalui sistem Online Single Submission (OSS). Sebelumnya, banjar dan pihak desa berperan penting dalam mengatur pengawasan pembangunan. Namun, kewenangan ini menjadi sangat terbatas sehingga mengurangi keterlibatan pemerintah desa dalam pengawasan tata ruang. Implementasi OSS mempermudah proses perizinan tetapi juga mengurangi keterlibatan lokal dalam pengambilan keputusan, menimbulkan potensi konflik, dan menurunkan efektivitas pengawasan terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai perencanaan.
(klik link di bawah)
Peta Interaktif Zonasi Desa Canggu yang Menunjukkan Tumpang Tindih Zona Hijau dengan Bangunan Eksisting, Barda (01/06)
“Dengan undang-undang untuk perizinan sekarang kita lebih minim untuk dilibatkan, semua tinggal lurus langsung di OSS. Sebelum membangun mungkin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) lurus, kalau bangun duluan mungkin Sertifikat Laik Fungsi (SLF),” ujar I Gede Yoga Setiawan, Bidang Kesejahteraan Rakyat Desa Canggu pada Selasa (14/05).
Pemberian izin tersebut seharusnya mempertimbangan pada area kawasan rawan bencana akibat abrasi. Perlu ada syarat yang harus dipenuhi pemilik lahan dan bangunan, seperti menciptakan dan menemukan alat yang mampu mengendalikan bencana dengan teknologi yang tepat, mencegah dampak buruk bagi masyarakat sekitar, dan mampu mencegah terjadinya pencemaran, kerusakan, bahkan eksploitasi lingkungan hidup.
Canggu dan Pecatu kini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan identitas lokal atau menyesuaikan diri dengan arus globalisasi yang tak terelakkan.
Siapakah yang Mendapat Keuntungan?
Permintaan dan penyediaan properti di Bali secara umum sangat tinggi beberapa tahun belakangan. Tren penjualan bahkan sudah menggunakan kurs dolar. Pada tahun 2023 dan awal 2024, Kuta Utara dan Kuta Selatan mengalami peningkatan yang signifikan dalam harga median properti dan alih fungsi lahan. Selain itu, pengembangan lahan di kedua wilayah ini juga menunjukkan pertumbuhan yang kuat, Kuta Utara berkembang dari 150 hektar menjadi 180 hektar dan Kuta Selatan dari 140 hektar menjadi 170 hektar.
Diagram Tren Kenaikan Harga Properti di Kuta Utara dan Selatan, realinfo.id (01/06)
Tren harga ini bisa juga dilihat melalui iklan-iklan di media sosial yang menawarkan investasi properti dengan janji keuntungan besar, bahkan menggunakan mata uang asing. Sehingga menyebabkan melonjaknya harga properti yang tidak masuk akal. Dari data realinfo.id, harga median pada semester awal 2023 untuk harga penjualan properti di Kuta Utara adalah $397.000 dan $405.000 di Kuta Selatan. Sedangkan pada kuartal awal 2024, harga median properti di Kuta Utara menjadi $440.000 dan $435.000 di Kuta Selatan.
Kondisi alam tersurut, namun masyarakat lokal memperoleh keuntungan dari adanya peristiwa Mass Tourism. Kami berbincang dengan salah satu penjual oleh-oleh di Pantai Dreamland, yang ternyata seorang akademisi. “Ibu membantu orang tua berjualan, biasa oleh-oleh seperti ini diminati wisatawan,” ujar Eka Setiawati (09/05).
Penyewaan payung di sepanjang pantai yang dikelola oleh kelompok masyarakat lokal desa Pecatu maupun milik perorangan. “Tergantung tamunya kalau mamak ngasihnya Rp 150.000, kalau kita orang lokal sekedarnya saja berapa, Rp 50.000 bisa,” sebut oleh salah satu pedagang aksesoris di Pantai Bingin yang menyebut dirinya Mamak (09/05).
“Bagusnya, kita yang punya lahan cukup diuntungkan dengan adanya banyak orang yang datang. Kalau masalah terlalu bising, pembangunan yang terlalu banyak, dan terus menerus kurang nyaman. Positifnya, banyak lowongan dan peluang kerja bagi anak muda di wilayah Canggu,” lanjut oleh Komang, seorang tukang parkir di sekitar Desa Canggu (14/05).
Lalu, bagaimana dengan identitas lokal masyarakat Bali dan lahan terbuka hijau? Pembangunan terus terjadi pada bidang tanah yang seharusnya menjadi tanah budidaya dan lahan hijau.
Solusi dan Kebijakan
Pembangunan di Bali pada masa lampau mempunyai bentuk bangunan yang didasari oleh konsep Tri Hita Karana. Termuat dalam pengaturan ruang, tata letak, dan penggunaan bahan yang berpedoman pada pemikiran, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya.
Peran masyarakat Bali penting dalam implementasi konsep Tri Hita Karana. “Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi kesesuaian pemanfaatan ruang merujuk pada peran aktif serta partisipasi masyarakat dalam memantau dan mengevaluasi apakah penggunaan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.” sebut Gede Ogiana, Kepala Seksi Pengaturan dan Pembinaan Tata Ruang (20/05). Walau pada kenyataannya, konsep ini makin memudar didesak kepentingan industri pariwisata dan agenda pemerintah pusat.
I Nyoman Gede Maha Putra, akademisi Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa memandang bahwa tata ruang merupakan produk politik. “Kita harus menyadari kalau tata ruang itu selalu produk politik, semua diproduksi oleh proses politik,” ungkapnya.
Jika melihat kasus pelanggaran tata ruang maka intervensi negara condong pada pemilik modal. Contohnya pada pembangunan di zona merah atau kawasan rawan bencana yang terjadi di Jatiluwih, Tabanan. Dampaknya jelas terlihat, longsor menimpa satu unit akomodasi di kawasan warisan budaya dunia subak pada 14 Maret 2024.
Namun di sisi lain, masih ada upaya resiliensi masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan tata ruang di Bali, seperti yang dilakukan Subak Sading Peguyangan, Denpasar. Organisasi subak ini memiliki otoritas untuk mengatur fungsi lahan pertanian melalui aturan lokal atau awig-awig, yang melarang alih fungsi sawah menjadi bangunan.
Subak Sading Peguyangan, Denpasar, Barda (27/04)
Pada Sabtu (27/04), Pekaseh Subak Sading Peguyangan, Made Dayaraksa bercerita beliau pernah mencegah pembangunan perumahan di kawasan subak tersebut. “Sebelumnya saya pernah melarang pembangunan perumahan di salah satu lahan yang pernah dijual di subak ini. Namun, ternyata pekerjaan pembangunan dilakukan malam hari, dan ketahuan. Kemudian, kami laporkan ke kelurahan untuk ditindak dan dihentikan proyeknya,” ujarnya. Upaya ini merupakan satu langkah untuk menghentikan pelanggaran tata ruang.
Pembahasan topik tata ruang mestinya menjadi diskursus, untuk memberikan edukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. “Pembahasan Tata Ruang di Bali perlu terus menerus dibahas, karena sebetulnya masalah ini bukan hanya terjadi di Canggu dan Pecatu, tapi di kawasan lain juga terjadi,” kata Made Swabawa dalam diskusi online BaleBengong pada Senin (03/06).