Oleh Arief Budiman
Sekurangnya telah 10 kali saya menonton pawai ogoh ogoh di kota Denpasar setiap sebelum perayaan Nyepi dan alangkah luar biasa pada tahun ini menyadari betapa acara ini sangat besar dan megah. Bayangkan, tiap warga banjar membuat sekurangnya dua ogoh ogoh dengan biaya swadaya atau sponsor lalu jalanan menjadi prioritas bagi pawai ogoh ogoh. Tanpa izin keramaian, tanpa biaya keamanan sebagaimana layaknya sebuah acara toh polisi dikerahkan di segala penjuru kota untuk mengamankan acara ini.
Tahun ini media melansir ada sekitar 4000 ogoh ogoh dibuat dan diarak di masing-masing lingkungannya. Sebagai gambaran saya yang menonton di jalan Veteran Denpasar dari jam 6 sore baru benar-benar bisa pulang sekitar jam 12 tengah malam ketika pawai ogoh ogoh usai. Belum ada yang mengklaim tapi saya yakin inilah festival jalanan terbesar di Indonesia.
Yang menarik adalah keterlibatan tim dari tiap banjar mempersiapkan segala sesuatu sebelum pawai berlangsung. Dari mulai membuat tokoh ogoh ogoh di banjar masing-masing dengan kreatifitas dan ukuran beragam, mempersiapkan atribut tim berupa kaos dan spanduk serta kelengkapan lain. Jika dulu ogoh ogoh betul-betul digotong oleh sekelompok orang kini telah disediakan sebuah pengangkut dengan roda sehingga menjadi lebih mudah dan ringan ketika dibawa. Tidak jarang kini ogoh-ogoh dibuat dengan menggunakan mekanis sederhana sehingga dapat berputar atau bergerak sesuai dengan gayanya.
Tata cahaya dan tata suara pun ditambahkan sehingga menjadi lebih “hidup” dan modern. Inilah pesta rakyat dengan biaya swadaya terbesar. Jika ingin kalkulasi yang sederhana mengenai biaya yang dikeluarkan maka untuk mudahnya kita ambil biaya rata rata pembuatan per ogoh ogoh adalah dua juta rupiah maka untuk empat ribu ogoh ogoh diperlukan biaya sebesar delapan ratus juta rupiah. Ditambah biaya atribut, aksesori dan konsumsi maka angkanya secara total dapat mendekati 2 M. Luar biasa!
Pawai ogoh-ogoh yang berlangsung tiap tahun ini memang bukan bagian ritual dari perayaan Nyepi namun lebih menjadi bagian kreatifitas dan budaya manusia Bali. Pawai ogoh-ogoh dilakukan untuk memeriahkan pengerupukan pada malam menjelang Nyepi. Budaya membuat dan pawai ogoh-ogoh telah dimulai sejak tahun 1980-an, setelah diarak berkeliling oleh warga kemudian ogoh-ogoh dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. Namun tidak demikian dengan yang terjadi saat ini.
Tokoh ogoh-ogoh yang dibuat tidak lagi sebagai golongan Bhuta Kala. Budaya pop dan kekinian telah menginspirasi tokoh-tokoh baru baik koruptor, tokoh film anak, punk rock, bahkan tokoh idola. Tak jarang diantaranya bernuansa porno dengan mengekspos “daerah terlarang”. Tidak jelas pakah penokohan ini merupakan sebuah kesadaran menterjemahkan simbol Bhuta Kala dalam format modern yang harus diwaspadai atau hanya kreatifitas semata. Namun pembakaran ogoh-ogoh seperti yang dilakukan sebelumnya jarang terjadi. Yang ada bahkan banyak ogoh-ogoh berserak di beberapa bagian jalan setelah pawai usai. Pembenahan lain tentunya pada kedisiplinan tidak mengotori jalanan dengan sampah bekas minuman, minuman keras dan petasan juga harus ditertibkan demi menjaga keamanan dan kesempurnaan makna Nyepi.
Jika pawai ogoh-ogoh ini sedemikian besarnya maka apakah ada potensi untuk membuatnya menjadi sebuah peristiwa budaya yang dikelola lebih baik lagi? Pariwisata budaya yang telah menjadi predikat Bali tentu akan bertambah seru jika mengagendakan pawai ogoh-ogoh sebagai festival jalanan yang layak diapresiasi oleh wisatawan. Apalagi setelahnya ada Hari Raya Nyepi dimana para wisatawan dapat diajak untuk hening dan melakukan kontemplasi di pulau Dewata ini. Karnaval jalanan di Pasadena atau di Rio yang sohor itu barangkali tidak lebih besar dari pawai ogoh-ogoh di Bali.
Selamat Tahun Baru Caka 1930.
saya protez terhadap juri
juri bangsat