Bukan hal luar biasa jika di Bali kita melihat pantai indah lautan sampah.
Begitulah keadaannya. Media masa sering sekali memuat keindahan pantai di Bali yang selalu dihantui permasalahan sampah. Tidak cukup dengan itu, keindahan Bali dengan keragaman potensi alam dan budayanya semakin hilang karena derasnya arus perubahan.
Contoh kecil saya temukan di sini, tepatnya di pantai Jasri lebih kurang 30 menit dari Padang Bai, Karangasem. Nyoman Komping memaparkan tentang Pantai Jasri yang dalam lima tahun terakhir mengalami abrasi luar biasa. Hal lainnya adalah permasalahan sampah yang mengganggu nelayan maupun pariwisata.
Kebanyakan jukung menambatkan talinya di sini. hHl ini karena bagian pantai yang lain telah dikuasai vila dan hotel. Pria 35 tahun ini memaparkan bahwa kehidupan nelayan di desanya semakin terpuruk karena kondisi karang yang telah rusak, musim melaut yang tidak menentu serta perlengkapan nelayan tidak menunjang.
Kondisi keterpurukan makin bertambah ketika nelayan selalu menyiapkan uang sebagai modal untuk melaut. Di desanya jika nelayan ingin mencari ikan sedikitnya mengeluarkan kocek Rp 35.000 untuk sekali melaut. Hal tersebut harus ditambah dengan ikan yang belum tentu di dapat.
Jikalau pada musim sulit melaut, kebanyakan nelayan tidak mendalami keahlian yang lainnya sehingga menganggur. Paceklik semakin panjang dirasakan ketika nelayan dengan hasil tidak menentu harus merawat jukung, jala, mesin serta layar yang semakin hari semakin usang.
Kebanyakan nelayan kemudian memilih berhutang.
Lain halnya jika pada profesi pemandu wisata, kendaraan bisa disewa sehingga tidak memerlukan biaya perawatan. Selain gaji mereka juga kerap mendapatkan tip jika mengantar ke tempat belanja atau tempat makan.
Nyoman Komping mengisahkan bahwa bapaknya adalah nelayan, namun dia menjadi pemandu wisata. Alasan yang paling kuat adalah bahwa pada kehidupan nelayan memiliki risiko lebih besar dibandingkan menjadi pemandu wisata.
Diharapkan dengan adanja ajang Pemilu, para pemimpin tidak hanya memaparkan program pemberdayaan nelayan sebagai bumbu bumbu kampanye, namul lebih ke aplikasi nyata memberdayakan masyarakat nelayan.
Patut diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Bali semakin sulit mencari lahan untuk memarkirkan jukungnya dikarenakan pelaku wisata. Sementara pelaku wisata sangat mengharapkan hasil tangkapan nelayan dari permintaan para pengunjung. Sangat ironis.
“Mampukah pemerintah menyeimbangkan antara pemerdayaan nelayan dengan pariwisata karena keduanya sangat penting dan saling berkaitan?” tanya Nyoman Komping. [b]