Oleh: I Dewa Ayu Anandhita putri
Pariwisata Kuta, Badung. siapa yang tak mengenal dengan tempat wisata tersibuk di Bali ini? Tempat wisata yang dari segi apapun, selalu terlihat beragam hal dengan jumlah yang “membludak”. Bisa kita liat dari segi jalanannya, yang tiada hari tanpa dipenuhi dengan beragam huruf pada plat kendaraan yang selalu berimpit. Tak hanya itu, segala macam ras ataupun warna kulit, yang tak pernah lenggang mencoba berbagai aktivitas di tempat dengan citra gemerlap ini. Tetapi siapa sangka? Tempat yang seakan diduduki kembali oleh wisatawan asing berkulit putih, ternyata meruapakan tempat pertama mendaratnya pasukan bala tentara kerajaan Majapahit di tahun 1334.
Lokasi yang menjadi tempat pasukan bala tentara itulah yang menjadi alasan dibalik nama “benteng” yang sesuai dengan prasasti di Pura Sanggaran, Kuta. Bahkan ketika pertama Kali didatangi oleh pasukan tentara, Kuta hanya sebatas hutan rimba. Namun, jika kita melihat dari sejarahnya saja, tidak heran jika Kuta memiliki magnet dengan tarikat dasyatnya. Nyatanya, Kuta sejak terdahulu telah menjadi lokasi strategis. Hal tersebut pun berhasil menarik para pedagang dari berbagai negara, untuk menurunkan jangkar kapalnya. Tak cukup sampai sana. Kuta juga telah menjadi tempat persembunyian bagi perampok dan bajak laut, bahkan sebagai pusat penyeludupan candi ke Jawa sekitar 1826. Dari sini saja kita sudah dapat melihat, bagaimana konsep “perampokan” di Kuta sudah terbentuk sejak dulu hingga kini. Tetapi bedanya, “merampok” yang terjadi saat ini adalah merebut lahan persawahan, untuk membangun fasilitas megah seperti hotel bintang yang seakan terus dibangun untuk menyaingi bintang bertebaran di langit Kuta.
Tak puas dengan “merampok” Kuta, maka pemerintahan Indonesia di tahun 1969 melakukan kerja sama United Nations Development Program (UNDP) yang melakukan pengembangan pariwisata di Bali Selatan, yakni Nusa Dua dengan rancangan SCETO Badan Pariwisata Prancis. Dimana SCETO plan ini ingin menitikberatkan bahwa pariwisata bisa menjadi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun tetap ingin melestarikan nilai – nilai budaya hingga lingkungan alam. Hal tersebut merupakan tujuan untuk mencapai konsep pariwisata berkelanjutan. Konsep SCETO Plan menempatka Nusa Dua sebagai “basis” akomodasi wisatawan asing dengan tanah Bali lainnya di seluruh pelosok Bali sebagai jendela dan halaman para wisatawan “bermain” menikmati keelokan dan keunikan Bali.
Hanya saja, konsep SCETO Plan yang begitu bagus tersebut tidak terus dapat dijalankan. Setidaknya sejak dekade 80 an, konsep Pariwisata Bali yang berpijak pada SCETO Plan diobrak-abrik oleh Gubernur Bali ketika itu, IB Oka. Ribuan hektar tanah Bali yang tadi sawah, kebun dan hamparan tanah yang menghijau digilas. Diobrak-abrik dan disulap menjadi resort, hotel dan aktivitas sarana pariwisata lainnya. Hal itu terjadi karena oleh Gubernur Bali, tanah-tanah Bali “dijual” dan “diobral” ke investor-investor Jakarta dan asing.
Apa yang dilakukan IB Oka telah memporakporandakan konsep pengembangan Nusa Dua dan pariwisata Bali secara keseluruhan. Padahal di dokumen SCETO Plan tahun 1972 itu pengembangan Nusa Dua mengikuti zonasi tata ruang mengurus batas garis pantai, konsep lansekap, desain utilitas serta sistem keamanan seperti yang tertuang dalam rencana induk pembangunan serta dikelola dengan konsep ramah lingkungan. Dari program SCETO plan ini, pemerintah ingin menjalankan bagaimana konsep dari pariwisata berkelanjutan. Dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang sejalan dengan tujuan dari SCETO plan, yakni untuk melibatkan masyarakat lokal dalam inisiatif mengembangkan pariwisata dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Tetapi sayangnya, kembali lagi pada kata “tidak konsisten”. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pemerintahan berganti dan sedang gencar – gencarnya tancap gas. Sehingga pemerintah mengizinkan dibukanya enam area wisata lainnya pada 1993, dan menyebabkan luas total kawasan wisata mencapai seperempat Pulau Bali. Seperti halnya memberi umpan kepada banyak kepada ikan, maka ini memberi banyak tempat pariwisata yang dibuka, seperti hotel dan villa kepada wisatawan yang membludak datang ke Nusa Dua. Maka hal tersebut menyebabkan adanya deregulasi perbankan yang memudahkan investor untuk mendapat modal pinjaman, dan mulai menyimpang pada konsep pariwisata berkelanjutan. Hal ini dikarena tanah – tanah sawah di Bali selatan mulai beralih fungsi secara masif menjadi permukiman dan akomodasi pariwisata.
Kondisi itu terus berlanjut. Satu diantaranya masih di Kabupaten Badung tetapi agak ke tengah, yaitu Canggu. Canggu yang selalu menjadi lintasan merah pada aplikasi penunjuk jalan dan menjadi Overtourism. Maka, dampak yang dihadapkan baik oleh Canggu ataupun wilayah lain di bagian selatan Bali, seperti menghilangkan ruang hijau yang membentang, dan menggantikannya dengan bangunan kepentingan turis. Seakan, Canggu ataupun Nusa Dua hanya dijadikan sebagai pemuas bagi turis, dengan melampiaskan pada bentangan alam Bali dengan berjuta sumber kebutuhan masyarakat lokal.
Lantas, apakah Bali hanya terpaku pada pariwisata massalnya? Nyatanya tidak. Kita justru dapat melihat pada bagian pegunungan yang juga masih berada di Badung, yakni desa di Banjar Kiadan, Desa Pelaga, Kabupaten Badung, Bali. Desa dengan suhu udaranya yang tetap terasa segar, ditengah hiruk pikuknya pancaran hawa dari Canggu dan Nusa Dua. Hal ini dikarenakan Desa Kiadan menerapkan konsep jaringan ekowisata desa. Sebuah konsep yang jelas-jelas sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan.
Konsep Ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan sistem pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu, dalam memberi dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi pada lokal (dalam hal control, manfaat yang diambil dari kegiatan usaha). Dengan konsep itulah, kita akan melihat konsep ekowisata masyarakat yang berasal dari sumber daya alam lokal yang dijalankan oleh masyarakat lokal, Bahkan, di tengah Canggu dan Nusa Dua yang ber bondong – bondong membangun fasilitas mewah, Desa Kiadan ini justru anti pada pengembangan pariwisata oleh pemodal besar (investor) dan hanya “memoles” sedikit dari sumber daya alam yang ada dan membatasi jumlah wisatawan. Dari situ saja kita dapat melihat, bahwa program jaringan ekowisata desa ini dapat dijadikan contoh sebagai pariwisata berkelanjutan. Hal ini dikarenakan jaringan ekowisata desa, telah memenuhi aspek penting pariwisata berkelanjutan.
Aspek penting tersebut, terdiri dari keberlanjutan lingkungan yang telah meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti One day trip di Desa Kiadan. One day trip ini berisi kegiatan wisatawan menikmati kopi organik Pelaga hingga tracking di sekitar Pelaga. Setelah itu, aspek keberlanjutan sosial dan budaya yang mendukung kebudayaan lokal, tradisi, serta nilai – nilai masyarakat setempat. Terakhir adalah aspek keberlanjutan sosial. Aspek ini memberikan manfaat ekonomi yang adil dan berkelanjutan termasuk masyarakat lokal. Seperti halnya pada Desa Kiadan juga yang memiliki konsep keterlibatan tenaga kerja dalam ekowisata, dengan mengandalkan masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan hanya masyarakat lokal yang mengetahui bagaimana desanya. Maka, dengan terpenuhinya tiga aspek penting pada pariwisata berkelanjutan, akan membawakan dampak positif dengan terjaganya lingkungan dan mendukung kesejahteraan masyarakat setempat.
Sekarang, kembali lagi pada kita. Bali Ingin menjadi seperti hiruk pikuk dengan membludaknya wisatawan di Canggu dan Nusa Dua? Atau ingin mengikuti jejak jaringan Ekowisata Desa Kiadan dengan tetap melestarikan sumber daya alamnya, sekaligus mendapatkan bonus pemasukan? Tanyakan pada rumput-rumput yang bergoyang kata penyanyi lawas, Ebiet G. Ade.
(Artikel ini adalah salah satu pemenang Lomba Opini oleh Persma Akademika)