Bali, nama yang sudah tidak asing bagi kita.
Pulau di mana kita berdiri selama ini. Pulau dengan sejuta pesona yang ditawarkan bagi para wisatawan mancanegara. Pulau yang sudah terkenal ke pelosok dunia dengan wisata alam dan budaya serta keramahan penduduknya.
Bahkan akhir-akhir ini Bali dinobatkan sebagai pulau terbaik kedua di dunia mengalahkan Pulau Galapagos di Ekuador.
Namun, di balik semua panggung gemerlap indahnya, pulau seribu pura ini masih banyak problematika sosial yang telah mendarah daging di dalam lingkungan masyarakatnya.
Jika kita mencari apa yang sebenarnya perlu dibenahi dari pulau kita ini, tentu saja jawabanya banyak. Realita inilah yang kita rasakan sebagai penduduk pribumi yang telah mengenal tanah kelahiran kita sendiri. Penyakit-penyakit sosial kemiskinan, kebodohan dan ketelantaran masih hinggap di tengah hirup pikuknya masyarakat Bali.
Jika kita merujuk kepada peningkatan yang terjadi kita boleh saja mengambil kesimpulan bahwa Bali sudah mengalami kemajuan. Namun, jika kita telaah lebih dalam apakah kemajuan ini sudah tepat sasaran dan mengenai aspek yang diinginkan dalam perubahan?
Bali sebenarnya memiliki sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang cukup memadai. Namun, entah mengapa faktor-faktor ini tidak berfungsi dengan baik. Hal ini dapat kita lihat bagaimana masih tingginya angka pengangguran di Bali.
Beberapa artikel pun sudah saya baca mengenai penganguran yang rata-rata mengatakan angka pengangguran di Bali masih tergolong tinggi. Hal ini dipicu karena adanya budaya malas dari sejumlah pencari kerja di Bali. Selain itu juga karena banyak pekerja di Bali yang berhenti bekerja karena alasan upacara keagamaan.
Tapi masalah sosial di Bali tidak berhenti di sana. Jika kita melihat ke daerah-daerah terpencil kita pasti masih melihat keadaan masyarakat-masyarakat yang belum tersentuh dengan tangan kebijakan wakil rakyat. Bagaimana kita melihat masih banyak anak-anak yang notabene generasi emas bangsa masih kekurangan pendidikan dan belum mendapat penghidupan yang layak.
Masyarakat di benaknya sangat mengharapkan bagaimana wujud konkret dari propraganda-propaganda yang diserukan saat masa menggali suara dahulu. Tentu saja semua masyarakat menunggu bagaimana tindakan pasti para pemangku pemerintahan yang seharusnya. Bukan sekadar rayuan semata yang diperlukan rakyat bagaimana aksi nyata pemerintah dapat menyejahterakan rakyatnya dari segala aspek kehidupan.
Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 34 ayat 1 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. Sehingga aturan inilah yang mewajibkan pemerintah wajib menyejahterakan masyarakatnya agar dapat mencapai kualitas hidup layak. Sehingga apa yang diangan-angankan oleh masyarakat dapat dapat dilihat tindakangan konkretnya.
Akhir-akhir ini saya sangat terkejut dengan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Bali terus naik meskipun lonjakan angka berkunjung wisatawan mancanegara ke Bali juga meningkat. Hasil survei Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) wilayah Bali menyebutkan pada Maret 1,37 persen dan akhirnya meningkat menjadi 1,99 persen pada September 2015. Hal ini antara lain karena turunnya pelaku usaha di sektor pertanian dan industri.
Angka kemiskinan di Bali terus naik meskipun angka berkunjung wisatawan mancanegara ke Bali juga meningkat
Inilah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi di dalam badan pemerintahan. Bagaimana pemerintah harus berupaya sekeras-kerasanya dalam menangani masalah sangat pelik ini. Bagaimana tidak pelaku sektor pertanian dan industri mengalami penurunan apabila sawah-sawah di bali pada zaman ini mengalami penurunan yang sangat jauh dari pemikiran. Bagaimana sawah sudah banyak berubah menjadi beton-beton. Daerah resapan air ditutupi semen-semen pondasi bangunan, dan entah apalagi yang akan terjadi di Bali masa yang akan datang.
Saatnya pemerintah memulai langkah jelas yang tegas dan nyata untuk menyelamatkan Bali yang kian tua di makan usia. Bali yang sudah rentan dihinggapi wabah penyakit sosial. Agar suatu hari anak cucu kita mendengar sebuah pulau bernama Bali dengan sejuta pesona keindahan alam dan kerafian lokal bukan hanya sebuah mitos. Namun, seharusnya mereka dapat melihat pulau Bali masih seperti pulau Bali yang dulu terkenal dengan Ajeg Bali bukannya Ajeng Bali.
Saya selaku mahasiswa dan juga selaku generasi muda sangat mengharapkan gebrakan-gebrakan baru yang dapat lebih signifikan menyentuh kedalam masyrakat. Agar masyarakat dapat lebih merasakan bagaimana peran serta pemerintah dalam menciptakan suatu tatanan kehidupan lebih baik. Bagaimana pula pedang keadilan bukannya malah menyerang ke arah rakyat kecil.
Pemerintah seharusnya dapat mendengarkan berjuta-juta gelontoran aspirasi dari masyarakat untuk membangun Bali. Sebab, asprasi masyarakat tersebut pasti akan menunjukan bagaimana perubahan yang melenceng di dalam keadaan Bali saat ini. Karena pemimpin yang baik akan senantiasa akan mendengarkan masukan-masukan dari rakyatnya. [b]