Bentangan wilayah Papua sedemikian luas.
Oleh karena itu, persoalan sosial kutural di Papua tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan parsial. Perlu kebijakan yang bersifat holistik. Demikian menurut para pembicara Pustaka Bentara ‘Papua Dalam Timbang Pandang Budaya’ di Bentara Budaya Bali (BBB), Ketewel, Gianyar, Senin kemarin.
Diskusi buku kumpulan esai terkini karya I Ngurah Suryawan bertajuk “Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya” itu menghadirkan I Ngurah Suryawan, Nazrina Suryani, dan I Wayan ‘Gendo’ Suardana.
I Ngurah Suryawan, doktor lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini Dosen Universitas Negeri Papua, menguraikan 3 pokok utama gagasannya.
Pertama tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Kedua, mengulas tentang kondisi Papua kontemporer yang berhubungan dengan pemekaran daerah berikut pembagian kekuasaan yang terjadi. Ketiga, menggambarkan siasat orang-orang Papua menghadapi kerasnya kehidupan keseharian selama ini.
Menurutnya, terdapat berbagai fenomena dan realitas sosial masyarakat Papua. Masyarakat Papua memiliki mobilitas tinggi, terinterkoneksi dengan etnik budaya lain berikut keragaman budayanya, serta relasi mereka dengan kuasa investasi global.
“Papua sangat kompleks. Masalah-masalahnya pun sangat beragam,” kata Ngurah Suryawan.
Dia menambahkan di satu sisi mereka memiliki kekayaan luar biasa tetapi di sisi yang lain, ada permasalahan soal lokalisir, seolah Papua dianggap eksotis.
“Seringkali pula muncul stigma tentang Papua tanpa diimbangi pengetahuan menyeluruh tentang konteks Papua itu sendiri,” ungkapnya.
Suryawan sendiri sempat menempuh program penelitian postdoctoral sedari tahun 2016 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP London dan Australian National University (ANU). Ia kini juga menjadi research fellow di KITLV dan Universitas Leiden 2017 untuk menulis penelitiannya tentang terbentuknya elit kelas menengah di pedalaman Papua.
Nazrina Suryani menilai buku Papua vs Papua memiliki bobot antropologi politik yang kuat dan ditujukan untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda. Bukan hanya yang berasal dari Papua, tetapi juga mereka yang peduli.
“Lewat buku ini saya melihat upaya penulis untuk mencermati problematik yang kerap terjadi berulang di Tanah Papua. Dampak langsung atau tidak dari pemekaran wilayah, investasi yang bersifat elitis, merebaknya HIV dan AIDS, serta masalah sehari-hari lainnya yang menjauhkan rakyat Papua untuk lebih emansipatoris dan transformatif,“ ungkap Nazrina.
Pada diskusi yang dimoderatori Gede Indra Pramana, pembicara lainnya I Wayan ‘Gendo’ Suardana, mengungkapkan bahwa buku Papua Versus Papua terdiri dari esai-esai yang tajam. Namun, buku itu perlu ditindaklanjuti dengan penelitian lebih mendalam. Dengan demikian bisa mendapatkan gambaran tentang problematik Papua yang lebih holistik, tidak parsial.
Gendo juga menyoroti perihal pemekaran wilayah dan otonomi daerah yang dalam implementasinya kerap menimbulkan masalah di lapangan serta berdampak buruk bagi kehidupan sosial kultural masyarakat setempat.
“Undang-Undang tentang Desa bisa menimbulkan konflik bila tidak disertai suatu pemahaman dan pendekatan holistik dalam menetapkan kebijakan,” ujarnya.
Menurut Gendo konflik itu bisa muncul sebagai akibat perebutan batas desa, terutama terkait kepentingan ekonomi. Belum lagi ditambah adanya investor yang memiliki agenda terselubung. “Ya, sebagaimana yang terjadi di Bali dengan reklamasinya itu,” ujar aktivis yang tergabung dalam Walhi ini.
Buku Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya sendiri mendapatkan kata pengantar dari Manuel Kaisiepo, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Gotong Royong yang juga pernah berkarier sebagai wartawan Kompas pada tahun 1984-2000.
Manuel Kaisiepo dalam tulisannya menilai, bahwa kajian-kajian etnografi dalam buku Papua vs Papua ini dengan sangat baik merekam dan menguraikan fenomena realitas sosial yang menjadi paradoks di Papua. [b]
Comments 1