Oleh I Nyoman Winata
Saya tertegun menonton Program Acara “Silet” di RCTI Minggu (20/1) lalu. Acara dengan presenter Feni Rose itu mengangkat tentang sakitnya Pak Harto. Lengkap dengan musik mendayu-dayu, gambar Pak Harto yang terbaring lemah dengan alat-alat bantu kedokteran dan didorong keluar masuk lift untuk kepentingan pemeriksaan, diulang beberapa kali. Lalu muncul gambar plus narasi tentang serombongan anak-anak dari Panti asuhan yayasan milik Dorce mendatangi RSPP mendoakan Pak Harto. Saya yakin, anak-anak yang diajak Dorce itu kebanyakan anak-anak yang belum lahir ketika Pak Harto berkuasa. Ataupun kalau sudah lahir, mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti sepak terjang Pak Harto memimpin negeri ini.
Saya tidak tahu persis kemana sebenarnya arah berita infotainment Silet hari itu. Namun saya menduga bahwa semuanya bertendensi untuk membangkitkan rasa iba penontonnya.
Lalu tiba-tiba saya merasa pingin muntah, ada rasa mual yang menyerang perut saya saat lebih menyimak narasi-narasi yang dipaparkan Feni Rose atas keadaan Pak Harto dan juga pernyataan beberapa artis seperti Titiek Puspa. Mereka berkali-kali menyebut Pak Harto adalah orang yang sangat berjasa, berjasa besar bagi Republik ini, Pahlawan Pembangunan dan banyak sebutan lain yang diulang-ulang. Perut saya semakin mual. Sayapun tidak mampu menuntaskan menonton tayangan itu dan remote langsung saya switch, nonton acara tv lainnya.
Beberapa hari sebelumnya, Harian Suara Merdeka, harian terbesar di Semarang memuat tulisan George Adi Tjondro. Judulnya kalau tidak salah “Simfoni Pembangkitan Iba di Media”. Pemberitaan-pemberitaan media soal sakitnya Pak Harto bukannya tanpa latar belakang. Semuanya merupakan kerja-kerja rapi dari para pemilik modal media terutama televisi Nasional untuk membangkitkan rasa Iba bangsa ini terhadap nasib Pak Harto. Tidak disebutkan jelas apa tujuan membangkitkan ras Iba ini. Namun saya menduga-duga semuanya adalah bagian dari upaya membuka jalan selebar-lebarnya bagi kroni Pak Harto dari masa orba untuk kembali berkuasa penuh atas republik ini. Sakitnya Pak Harto merupakan celah yang diharapkan bisa menjadi titik awal untuk menghapus semua dosa-dosa Pak Harto dan dengan demikian juga dosa-dosa anak-anak Pak Harto dan kroni-kroninya.
Lalu, Pantaskah kondisi Pak Harto yang sakit membuat kita Iba? Benarkah Pak Harto berjasa besar bagi Republik ini? Pantaskah Pak Harto dimaafkan atas dosa-dosanya? Pikiran dan hati saya hambar jika memikirkan jawaban atas semua pertanyaan ini. Selain itu jelas perut saya akan mual dan pengin muntah kalau berita di TV terus menayangkan berita betapa besar jasa Pak Harto dan betapa banyak orang yang berdoa bagi kesembuhannya. Pikiran dan hati saya menjadi semakin hambar jika mengingat bahwa selama ini media tidak pernah ada pemberitaan yang sama besarnya tentang nasib para korban pembantaian manusia di jaman orde baru. Demikian juga doa-doa dan maaf bagi mereka yang telah dibantai tanpa alasan yang jelas, tidak pernah dilakukan bangsa ini.
Saya jadi bertanya, mengapa Dorce tidak mengajak anak-anak asuhnya untuk berkunjung ke Ladang-ladang dimana ratusan manusia yang dituding PKI dibantai? Atau mengapa mereka tidak diajak meninjau waduk Kedung Ombo yang tanahnya diambil secara paksa dari rakyat?
Apa yang ditinggalkan Pak Harto selama berkuasa selain benih-benih kehancuran Republik ini dimasa depan? Pondasi apa yang telah ditanam Pak Harto selain keroposnya mental dan moralitas manusia-manusia Indonesia? Jasa apa dari Pak Harto yang harus saya hargai dan ucapkan terima kasih, kalau disekeliling kita saat ini yang ada hanya carut marutnya nasib rakyat kecil? Disaat saya merasa mual, saya jadi memiliki pikiran yang kurang ajar, jangan-jangan saat diberitakan kritis, Pak Harto sebenarnya malah lagi asik main kartu bersama Pak Murdiono di ruang perawatannya? Atau jangan-jangan Pak Harto sedang tertawa terbahak-bahak saat menonton TV dimana diberitakan orang-orang di Karanganyar begitu sibuknya menyiapkan pemakamannya, padahal ia sendiri masih sehat bugar.
Ah…Mudah-mudahan saja saya pikiran saya ini salah, karena kalau benar maka dosa Pak Harto akan bertambah banyak sebab sekali lagi telah berani membohongi orang se-Indonesia bahkan sedunia. Kalau seandainya benar begini, di neraka (sorga?) tingkat berapa Pak Harto layak diberikan tempat?
saya setuju sekali dengan anda, tidak tahu kenapa rakyat indonesia so naif. sudah jelas2 Soeharto menipu rakyat, dan membunuh ratusan manusia yang tak berdosa, apakah pantas itu disebut sebagai seorang pahlawan yang di elu-elukan. unbelievable… may he burned in hell.
berpikir positiflah my mann…
mendoakan orang sakit, mau yang sakit itu malaikat atau yang sakit itu raja penjahat sekalipun adalah perbuatan baik.titik.
sudah meninggal dia sekarang…makin banyak tayangan di tivi yg mengulas jasa2nya, makin banyak ya muntah2nya pak winata? hati2 muntaber pak…
kl saya sih lebih memilih mendoakan yg baik2 untuk beliau, keluarganya, bangsa ini, dan manusia2 Indonesia seperti kita berdua ini Pak daripada muntah2 dan mual2 kaya orang hamil. hehe…
Dan…. mulailah Media menjadi suatu Rezim baru… waspadalah… waspadalah… waspadalah
yup..thats right.. dont just judging him like that… its not like ur the one whos going to heaven..duh..
whoever u r..!