Sudah sering saya mendengar tetangga sebelah indekos tempat saya tinggal membicarakan saya. Mereka warga yang merantau ke kota Denpasar, menyewa rumah untuk tempat tinggal sekaligus dijadikan tempat usaha. Rumah mereka sering didatangi tamu. Saat mereka mengobrol, suaranya terdengar hingga ke kamar indekos saya. Dari situ saya dengan jelas mengetahui obrolan mereka juga menyangkut diri saya. Perihal pekerjaan, aktivitas, juga penyakit saya yang kini saya sadari akibat kelengahan saya membuka diri pada salah satu tetangga. Itu menjadi bumerang kemudian.
Sebagai orang dengan skizorenia (ODS), pembaca bisa jadi mengira apa yang saya dengar sebagai halusinasi, kerap menyertai gangguan mental yang saya alami sejak tiga belas tahun silam. Tidak, apa yang saya dengar bukanlah halusinasi, persepsi salah yang ditangkap indra. Memang, halusinasi yang saya alami terutama saat relapse atau kambuh adalah halusinasi pendengaran; saya mendengar apa yang orang lain tidak dengar. Suara-suara itu akumulasi dari ketidakseimbangan zat kimiawi di dalam otak, organ yang terganggu pada penyakit mental.
Selama ini saya rutin minum obat anti-psikotik. Ada dua jenis obat yang diresepkan psikiater, Risperidone dan Hexymer. Kedua obat itu berfungsi menurunkan kadar dopamin, zat kimiawi pada otak yang berlebih pada mereka yang didiagnosis mengidap skizofrenia. Halusinasi yang dirasakan bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali jika ODS rutin mengonsumsi obat.
Omongan tetangga saya dengar saat keadaan mental saya normal dan baik-baik saja. Artinya, apa yang saya dengar nyata adanya; bukan imajinasi apalagi halusinasi. Faktanya, memang benar mereka sedang mengobrol, terdengar hingga ke kamar indekos saya. Jujur, saya sangat terganggu. Ingin sekali rasanya mendatangi mereka, menegur, dan membicarakan baik-baik apa sebenarnya yang terjadi sehingga saya dijadikan bahan pembicaraan dan pergunjingan.
Saya mencoba menganalisis penyebab mereka membicarakan saya. Memang, selama ini beberapa tetangga mengira saya tak bekerja karena lebih banyak berada di indekos. Jika pun keluar rumah, dalam waktu tak lama. Tetangga saya sempat bertanya soal pekerjaan saya ketika kami bertemu pada sebuah kesempatan.
Dengan bahasa sederhana, saya menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan mereka. Saya adalah wartawan sebuah media daring yang berpusat di Jakarta. Selama ini, pekerjaan saya lakukan dari rumah, terlebih sejak pandemi melanda. Work from Home. Perusahaan media tempat saya bekerja memberi kelonggaran untuk tidak meliput berita, terjun ke lapangan setiap hari. Berita yang saya buat lebih banyak berasal dari press release atau rilis pers yang ditulis oleh Humas pemerintahan di Bali. Bahannya saya dapat melaui laman pemerintah atau grup WhatsApp wartawan sesuai tempat mereka bertugas.
Tampaknya, anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia terutama di daerah tentang seorang pekerja adalah pergi pagi dan pulang sore, atau pergi sore dan pulang malam jika pekerjaan dengan sistem shift. Bisa dipastikan, jika setiap hari berada di rumah seseorang dikatakan pengangguran, atau lebih jelek lagi disangka memelihara tuyul atau babi ngepet, terlebih jika bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi seseorang yang dianggap “tidak bekerja”.
Kesehatan mental di masa pandemi
Pandemi yang terjadi sejak dua tahun lalu memang membuat banyak perubahan terkait pola hidup dan interaksi warga. Beberapa ahli memperingatkan perihal kesehatan mental masyarakat dunia saat dan pasca pandemi. Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebut angka pengidap gangguan mental meningkat tajam di masa pandemi. Di sisi lain, layanan kesehatan mental di rumah sakit-rumah sakit justru menurun, akibat pembatasan kegiatan masyarakat dan kebijakan pemerintah untuk mengurangi pergerakan manusia.
Beban ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja karena banyak perusahaan yang kolaps dan gulung tikar tentu berimbas pada kesehatan mental masyarakat. Tak sedikit warga yang mengalami stres, gangguan kecemasan, depresi atau bahkan gangguan mental berat seperti skizofrenia. Bagi mereka yang gelap mata, bunuh diri menjadi jalan terakhir karena tak ada keluarga atau komunitas yang peduli terhadap kondisi kejiwaan mereka.
Aktivitas warga yang berkurang selama pandemi jika saya perhatikan, melahirkan fenomena baru; “kepedulian”. Bukan tanpa alasan saya memakai tanda petik pada kata tersebut. Dahulu, sebelum adanya pandemi kebanyakan warga terutama di kota sibuk bekerja, tak banyak waktu untuk bersosialiasi misalnya di kompleks perumahan. Waktu tersita oleh pekerjaan dan keluarga sehingga tak sempat “peduli” terhadap urusan dan kehidupan orang lain (baca: tetangga). Saat pandemi terjadi, ada sesuatu yang menyatukan, masyarakat bahu-membahu saling membantu satu sama lain, tercipta “solidaritas” melawan musuh bersama: virus Corona.
Kini, jika boleh saya sebut masa pasca-pandemi karena keadaan tampaknya membaik; pasien positif Covid-19 menurun, program vaksinasi berhasil menjangkau banyak penduduk sehingga tercipta kekebalan komunal, masyarakat seakan memulai kehidupan dari awal. Kematian, kesedihan, keputusasaan masih membekas di ingatan. Dari semua yang dialami tebersit harapan akan kehidupan yang lebih baik. Jalanan ramai kembali, kota dibanjiri pencari kerja luar pulau bahkan luar negeri, ekonomi bergairah lagi. Bagaimana dengan kesehatan mental masyarakat?
Saya belum membaca riset atau penelitian tentang hal tersebut. Sejauh pengamatan saya, kebanyakan warga setelah pandemi memiliki lebih banyak waktu untuk mengurusi orang lain. Termasuk juga di media sosial, dengan rajin melihat fitur story atau cerita yang dibuat sahabat, keluarga, rekan kerja atau teman yang tidak kita kenal di kehidupan nyata. Ada yang mengabarkan keberhasilan, usaha baru, pernikahan, pekerjaan baru. Atau sebaliknya; perpisahan, penyakit, kecelakaan, bahkan kematian yang menghayutkan perasaan dan menerbitkan empati.
Pada tingkat terendah, pergunjingan seperti yang saya ceritakan pada awal tulisan. Apakah secara mental mereka sakit? Saya tak berani menjawab karena itu ranah psikolog atau psikiater. Hanya saja, bukankah gosip sudah menjadi budaya di masyarakat kita, budaya komunal sering tak menghargai bahkan membunuh individualitas? Bahkan, dalam sosiologi gosip disebut sebagai kontrol sosial. Apakah teori itu masih relevan pada masa kini? Tentu perlu dikritisi.
Mochtar Lubis, wartawan dan sastrawan kawakan di masa lalu pernah menyampaikan pidato kebudayaan tentang karakter manusia Indonesia, salah satunya hipokrit atau munafik. Lebih suka bicara di belakang ketimbang langsung dengan subjek yang dijadikan bahan gosip. Kita lebih suka mengurusi orang lain ketimbang mengurusi diri sendiri. Apa yang saya alami adalah gambaran nyata yang mungkin banyak orang lain juga alami. Kejadian itu mengingatkan saya untuk lebih banyak eling lan waspada.
Comments 1