Pernahkah terlintas dalam benak mengapa tiba-tiba kita berada di sini?
Di bumi ini, di Asia, di Indonesia, di Jawa, di Bali, di Lombok, atau di suatu komunitas yang membentuk suatu tradisi latah? Mengapa kita tidak di planet lain: Jupiter, Mars, Pluto, atau di belahan bumi lain: Eropa, Amerika, Antartika, Kutub Utara?
Mengapa kita tidak lahir pada masa lampau: zaman Romawi, zaman Bedahulu-Majapahit-Sriwijaya, zaman kolonial Belanda? Atau lahir pada beberapa tahun ke depan. Misalkan, atau terlahir sebagai manusia penutup zaman? Mengapa kita tidak terlahir pula sebagai si A atau si B, atau terlahir sebagai binatang?
Kenyataan, kita tidak diberikan kesempatan untuk memilih ruang dan waktu kelahiran. Dan andaikata kita tahu sebelumnya bahwa di dunia itu banyak masalah, mungkin kita akan mengurungkan kelahiran itu. Berbahagialah ‘orang-orang’ yang tidak pernah lahir di muka bumi ini!
Hal tersebut memang tidak terelakkan sebagaimana nasib manusia yang harus memiliki ras, bangsa, suku, dan kepercayaan. Setiap bayi yang lahir secara otomatis menjadi bagian dari suatu kelompok yang dihuni oleh orang tuanya. Walaupun lahir dalam perantauan, diadopsi, atau berganti warga negara, ia akan identik dengan ras leluhurnya. Lalu ia dididik, dan setelah dewasa ia harus mengikuti aturan, ajaran, dan tradisi para pendahulunya.
Apabila ia menolaknya dan berbeda dengan lingkungan sekitar maka ia akan dikatakan aneh, mungkin bisa diasingkan, ditelantarkan, dibuang, atau bahkan dibilang sesat. Apalagi menyerap faham-faham baru yang dianggap akan merubah norma hidup, pola pikir, memecah persatuan keluarga dan menyingkirkan kebijakan lokal.
Rasa takut untuk berpaling dari keyakinan pun akan muncul dalam diri seseorang. Namun, perasaan tersebut adalah sesuatu yang manusiawi selama ia mengetahui dan memahami jelas konsekuensinya. Ketika ia disudutkan pada beberapa pilihan, mau tidak mau ia harus menetapkan salah satu yang dipandangnya baik dan benar. Dan, keputusannya patut dihormati sepanjang ia tidak mengganggu ketertiban umum, karena hal itu berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).
Lalu untuk apa kita berada di bumi ini? Sementara kita melakukan aktivitas yang diulang-ulang: makan, tidur, belajar, bekerja, jalan-jalan, cari hiburan, dan sebagainya. Atau mungkin juga kita tidak tahu apa yang diinginkan, tidak tahu apa harus yang dilakukan di saat rasa jenuh dan malas itu melanda.
Apa fungsi kita sebenarnya di dunia ini? Di satu sisi kita masih memikirkan target hidup, entah itu visi atau misi. Sejak kapan kita sadar bahwa diri kita itu memang ada di dunia dan berada di suatu wilayah hukum di mana kelompok mayoritas mendominasi? Hingga seolah-olah kebenaran berada di tangan kekuatan, dan keadilan berada di tangan kekuasaan. Di sisi lain masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan itu sendiri.
Kata orang, semakin baik daya ingat seseorang akan masa kecilnya sejak dini maka semakin lebih cepat ia mengenal dirinya. Namun apa daya lingkungan ‘busuk’ telah meracuni jiwa kita. Sebagai manusia yang tumbuh dengan kasih sayang selayaknya setiap orang mempunyai karakter kemanusian.
Bagaimana memahaminya? Untuk sementara tengoklah dahulu kelakuan binatang! Keunggulan animalia (ras binatang) atas homo sapiens (ras manusia) adalah bahwa mereka tidak bisa berbohong, tidak saling menghasut, dan tidak saling melacurkan diri. Padahal masalah utama binatang di alam bebas -seperti kera yang sering bersetubuh di muka umum- adalah sebatas perebutan makanan dan perebutan wilayah sumber makanan.
Tetapi mengapa manusia, yang katanya beradab, kadangkala lebih buas daripada binatang? Dan kelihatannya jumlah manusia bernaluri buruk lebih banyak daripada manusia bernaluri baik. Apa sebenarnya yang menjadi panduan manusia selama ini?
Penyebab utama pertikaian manusia di dunia bukanlah sekadar isi perut dan perbatasan belaka. Adalah masalah faham atau ideologi, juga konflik klasik tentang kebangsaan, kesukuan, agama dan sektarian. Masalah pertama dikatakan obyektif. Sedangkan masalah kedua bersifat subyektif.
Yang terjadi, kesalahan pada seseorang atau segilintir orang kerap dijadikan kesalahan kolektif, ‘dipukul rata’ dan kadangkala dikaitkan dengan status sosialnya bahkan dengan agama yang dianutnya. Walaupun sebagian masalah bermula dari cara pandang, perbedaan pendapat, persepsi, watak, kebiasaan, adat, etika, atau dari kasus-kasus sepele dan masalah pribadi yang sama-sama tidak tahu diri.
Ujung-ujungnya bisa menimbulkan sentimentil kesukuan dan keagamaan. Misalnya dalam keseharian, seseorang memaki orang bersalah dengan kalimat yang disisipi nama asal usulnya. Lalu orang tersebut merasa suku atau daerahnya lebih baik daripada yang lain, padahal ia sendiri pernah melakukan kesalahan.
Sebaliknya, ketika ada seseorang yang berbuat kebaikan dan berguna bagi khalayak ramai, jarang rasanya asal-usul dan agama terucap dalam setiap pujian dan kekaguman, kecuali kelompok mereka sendiri yang mulai mengatakannya.
Apabila terus-menerus dipersalahkan, apakah seseorang akan mengubah atau menyembunyikan statusnya walau kehilangan jati diri sekalipun di mana nenek moyang dan orangtuanya sudah mencetaknya sebagai orang yang beridentitas? Tampaknya sebagian besar penduduk Indonesia yang ‘berprikebadian ganda’ (spirit kesukuan, keagamaan, kebangsaan plus kekastaan) tidak mau melepaskannya begitu saja, ibarat mempertahankan lembaga sosial banjar adat ataupun banjar dinas.
Wajar saja apabila fanatisme kedaerahan dan kekerabatan yang dogmatis bisa lebih besar gelombangnya dibandingkan rasa nasionalisme. Apakah ini suatu pertanda bahwa status kewarganegaraan sudah tidak mencirikan lagi identitas sebuah bangsa?
Tentunya kita tidak ingin pertumpahan darah seperti Kerusuhan Poso 1998-2001, Konflik Maluku 1999, Tragedi Sampit 2001, dan Kerusuhan ‘Balinuraga’ Lampung 2012 terulang kembali. Itu baru seputar konflik regional yang melibatkan penduduk lokal dengan penduduk pendatang, di luar pertikaian antar suporter sepak bola, parpol, ormas-ormas yang tidak tahu apa sebenarnya yang diperjuangkan.
Belum lagi konflik-konflik nasional antara warga negara asli dengan warga negara keturunan, seperti yang menimpa etnis Tionghoa pada ‘Insiden Kansas 1944’ di Pariaman Sumatera, ‘Peristiwa Mangkuk Merah’ 1967 di Kalimantan, dan terakhir ‘Kerusuhan Mei 1998’ di Jakarta.
Adapun pertikaian yang melibatkan warga negara asing dengan warga keturunan tampaknya tidak terlalu dipermasalahkan, semisal ‘Tragedi Angke 1740’ di Batavia. Padahal, pembantaian yang dilakukan VOC terhadap etnis Tionghoa tersebut cukup menodai sejarah Indonesia.
Di dunia internasional pernah terjadi pemberantasan imigran kulit hitam dan kelompok minoritas lainnya di Amerika yang dilakukan oleh gerakan rasis kulit putih Ku Klux Klan. Hal serupa pada masa pendudukan Nazi di Eropa di mana Hitler menganggap dirinya -yang konon mewakili bangsa Arya- sebagai ras unggul.
Adapun rivalnya, kaum Yahudi sebagai imigran di Jerman, mengklaim sebagai bangsa pilihan Tuhan. Kemudian konflik tersebut diprovokasi oleh sekelompok masyarakat tersembunyi sehingga terjadi pembantaian, dan memicu perang dunia kendati hanya beberapa negara yang terlibat.
Kasus di tanah air dewasa ini belumlah separah itu meskipun terlihat beberapa kelompok sudah menunjukkan lebih hebat dan paling benar dari kelompok lain. Andaikata terjadi perang dunia di Asia mungkin akan melibatkan lebih banyak negara yang berkepentingan apabila masing-masing kelompok yang bertikai didukung oleh negara-negara pengekspor ideologi.
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia selain target perdagangan bebas juga sebagai pasar ideologi. Sebagai konsumen aktif, pada umumnya penduduk Indonesia lebih cepat menyerap pengaruh luar dan lebih cepat pula menerimanya. Namun entah bagaimana awalnya tiba-tiba populasi ‘spiritual sektarian’ bertambah lalu muncul sebagai doktrin agresif atas nama Tuhan. Takut akan kematian kah?
Fanatisme buta pun membabi-buta sehingga kelompok minoritas bisa dicap sebagai ateis apalagi tidak sejalan dengan kehendak mereka. Padahal kelompok mayoritas itu sendiri melibatkan beberapa warga keturunan lain yang berbaju kebenaran massal. Apakah kita mau dicekoki suatu keyakinan yang belum jelas ujung-pangkalnya?
Sila pertama Pancasila –Ketuhanan Yang Maha Esa– bukanlah milik dari satu kelompok. Orang yang tidak beragama pun berhak memilikinya, tanpa terkecuali ‘tidak ber-Tuhan’ sekalipun. Ini adalah urusan pribadi antara manusia dengan penciptanya. Lantas, mengapa mereka sibuk mengkhawatirkan kelompok lain dengan sesuatu yang mereka sendiri masih meraba-rabanya?
Ironis rasanya kalau Tuhan sampai se-ekstrim itu. Antara baik dan buruk pun menjadi absurd. Apabila ada larangan untuk mengkritik dan mempelajari sendiri suatu keyakinan, bagaimana kebenaran mutlak itu bisa ditemukan?
Lihatlah hasil survei dari wikipedia. Persentase penganut agama di dunia: Kristen 31,50 persen, Islam 22,32 persen, Hindu 13,95 persen, Budha 5,25 persen, Yahudi 0,20 persen, dan agama-agama tradisional sekitar 11,30 persen. Sedangkan sisanya adalah ateisme yang berjumlah cukup banyak: 15,35 persen!
Di Indonesia perbandingannya adalah 87,18 persen Islam, 6,96 persen Protestan, 2,9 persen Katolik, 1,69 persen Hindu, 0,72 persen Budha, 0,05 persen Konghucu, 0,13 persen agama lain-lain, dan 0,38 persen sisanya tidak jelas atau mungkin ateisme.
Apakah penganut terbanyak menunjukkan kelompok yang benar? Atau suatu negeri yang tampak kaya itu menandakan penduduknya mempunyai keyakinan yang baik? Dan jika agama yang benar itu cuma satu, apa artinya keberadaan agama lain berikut aliran-alirannya yang bertebaran di seantero dunia ini?
Menanggapi Ekstremisme Dalam Beragama
Dewasa ini ada suatu faham yang istilahnya dilekatkan pada sejumlah agama. Acapkali kita memandangnya sebagai salah satu bentuk aliran agama. Padahal istilah tersebut sering juga digunakan untuk mendampingi kata lain. Entah itu ekstrim lah, garis keras lah, radikal, anarkis, fanatis, teroris, atau fundamental, tetapi esensinya menunjukkan sifat yang sama walaupun praktiknya berbeda.
Kita tidak tahu siapa awalnya yang memberi julukan tersebut. Mungkin juga para pengikut faham-faham tersebut tidak menyadari, tidak pernah memakai atau bahkan tidak mengerti istilah-istilah yang dimaksud. Yang jelas, mereka harus menjalankan perintah sesuai dengan apa yang dikatakan pemimpin-pemimpinnya meski anggotanya tidak tahu persis siapa dan latar belakang pemimpinnya.
Kadangkala mereka juga bergerak tanpa komando tunggal, yang keputusannya berdasarkan kesepakatan, lalu mengeksekusinya secara massal. Di sini kita bisa menilai bahwa kelakuan anggota menunjukkan citra pemimpinnya itu sendiri.
Extremism dalam wacana kini mewakili suatu kelompok yang menuntut keras sebuah sistem yang berlaku agar prinsip dan pendapatnya diterima. Bisa jadi, istilah tersebut muncul dari lawannya atau dari kelompok lain yang tidak setuju dengannya. Misalnya penjajah asing yang menganggap pemberontak sebagai ekstrimis, karena serasa ‘di ujung tanduk’.
Namun, selama tuntutannya betul-betul murni memperjuangkan keadilan, kita bisa menghargainya sebagai suatu tindakan yang baik. Kecuali kalau mereka hanya menyimpulkan pembenaran yang dikaitkan-kaitkan dengan pedomannya. Itu bisa dibilang egois.
Biasanya orang egois cenderung menutupi kesalahannya, kadang berkelit, memungkiri fakta, jaga image, dan lebih sering berbohong. Apabila ada anggota kelompoknya yang bersalah, ia akan berusaha melindungi dan membelanya. Biarpun orang lain dirugikan, yang penting dia menang.
Kemunculan faham ekstrim saat ini boleh dibilang sebuah insiden yang disebabkan oleh suatu watak yang bukan karakter alami manusia. Ia bagaikan penyakit yang disebarkan oleh virus mematikan. Dia bisa menjangkiti siapapun, ras dan etnis manapun, atau agama apapun.
Sejarah dunia telah mencatat hampir semua agama besar pernah dihinggapi faham tersebut. Seperti halnya anarkisme, ia pun bisa menyelundup ke organisasi-organisasi massa, lembaga-lembaga, partai-partai politik, sekte-sekte. Penularannya dimulai dari isu-isu yang ditelan bulat. Kemudian reaksinya dikemas dalam doktrin-doktrin hukum tanpa logika yang mengesampingkan nilai-nilai susila (moral/akhlak).
Namun perihal ketuhanan dan kepemimpinan menjadi polemik baginya. Karena ekstrimis menistakan filsafat (tattwa) sebagai landasan kebijaksanaan dan sebagai induk segala ilmu pengetahuan. Gejalanya terlihat dari cara pandang dan pola pikir tentang benar-salah yang kontradiksi dengan nilai baik-buruk. Gambarannya seperti perpaduan antara imajinasi kesucian, arogansi, kekuasan dan kekuatan.
Kebenaran bagi pengidap ini hanya sebatas menjalankan hukum, bukan menegakkan keadilan, dan cenderung memaksakan kehendak. Sesuatu yang tidak sesuai dengan aturannya, akan dianggap salah walaupun tidak masuk akal. Diskusi-diskusi akademis adalah penghalang baginya. Maka jalan terbaik bagi mereka adalah dengan kekerasan atau teror, baik secara fisik maupun non fisik, agar keberadaannya diakui dan ditakuti. Inilah yang membedakan masyarakat barbar dengan masyarakat intelektual.
Dari mana datangnya faham ekstrem itu?
Jika sifat buruk itu adalah bawaan lahir manusia, maka itu bisa berkonotasi bahwa Tuhan dengan sengaja telah menciptakan keburukan di muka bumi. Namun jika pada dasarnya setiap orang itu terlahir sebagai manusia baik, maka setiap keburukannya itu pastilah ada penyebab. Meskipun hal itu berkaitan dengan genetik atau faktor keturunan. Tapi mengapa seakan-akan Tuhan membiarkan keburukan itu terjadi dan berkembang?
Tidak, manusialah yang melakukan dan membiarkannya! Bahkan ada suatu komplotan dunia yang mengorganisir dengan baik keburukan itu. Mereka meyakini bahwa kebaikan yang tidak terorganisir akan mudah dikalahkannya. Strategi yang mereka lakukan di antaranya dengan memanfaatkan teori-teori keliru yang disebarkan di setiap institusi pendidikan, sambil merekrut orang-orang atau kelompok-kelompok brutal. Mereka menciptakan pula standarisasi dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi.
Oleh sebab itu, mereka selalu berusaha mengarahkan dan menyibukkan manusia ke arah perdagangan dan industri supaya tiada waktu untuk memikirkan diri. Untuk itu mereka memancing setiap negara agar menganut faham kebebasan (liberalisme). Propagandanya dilakukan dengan beribu cara. Menguasai pers dan sastra adalah andalannya, yang kali ini bisa diwujudkan dalam bentuk media massa lain dan film.
Agar tidak dicurigai, mereka berusaha mengalihkan manusia pada dunia hedonisme (kesenangan), yaitu dengan memfasilitasi sarana-sarana hiburan yang melenakan.
Di sini tampak seperti tiada hubungan sama sekali. Padahal ekstrimisme tumbuh subur karena keberadaan liberalisme di mana kebebasan tanpa batas telah mengizinkan semua aliran masuk dan semua hasrat manusia terpenuhi. Di satu sisi ia menguntungkan juga kelompok minoritas, tapi di sisi lain ia menjadi bumerang bagi kestabilan negara, terutama menghadapi kelompok mayoritas yang didukung kapitalis. Di sinilah peran para ekstrimis memanfaatkan situasi dengan menggoyahkan keamanan atas nama keamanan. Seperti itukah watak alami manusia Indonesia?
Pribumi Asli Indonesia
Ahli etnologi mengatakan bahwa ras manusia terbanyak di dunia ada tiga, yaitu mongoloid, kaukasoid, dan negroid. Masing-masing ras melahirkan sub-sub ras dikarenakan penyebaran dan persilangan. Sedangkan pribumi lokal nusantara dikategorikan sebagai sub dari ras Mongoloid, yakni ras Austronesia-Melayu, dikarenakan ada percampuran dengan ras lokal Australoid. Belakangan pribumi Indonesia disebut juga sebagai bangsa Indo-Cina. Sungguh menarik asal-usul bangsa ini!
Catatan lain mengatakan, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, bangsa Arya, India, Cina, Persia dan Arab telah lebih dahulu menginjakkan kaki di bumi nusantara ini. Kedatangan mereka tidak hanya melakukan urusan ekonomi, juga sambil menyebarkan ajaran-ajaran dan faham-faham. Bahkan sebagian dari mereka mendirikan kerajaan-kerajaan, soroh-soroh (klan), hingga melebarkan kekuasaannya ke pelosok-pelosok.
Percampuran di antara mereka pun telah menciptakan bangsa dan budaya baru di daratan Asia Tenggara. Lalu siapakah sesungguhnya penduduk asli nusantara? Barangkali membuktikannya tidak cukup melalui tes DNA.
Seorang ahli geologi Brazil, Prof. Arysio Santos, lewat bukunya ‘Atlantis, The Lost Continent Has Finaly Found, The Definitive Localization of Platos’s Lost Civilization’ (Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peadaban Dunia), menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun lalu itu adalah di Indonesia. Ia mengkaji misteri peradaban surga Atlantis yang tenggelam ke dasar laut. Benua yang diceritakan Plato pada 2.500 tahun lalu itu adalah daratan yang dihuni oleh bangsa Atlantis, yang memiliki peradaban tinggi dan kekayaan alam.
Kemudian Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku dan etnis, dan yang terbesar di antaranya adalah suku Arya dan Dravida. Pendapat tersebut diperkuat juga oleh pakar genetika Inggris, Stephen Oppenheimer, dalam bukunya ‘Eden in The East’ (Benua Tenggelam di Asia Tenggara). Tak ketinggalan juga peneliti Indonesia Ahmad Samantho dan Oman Abdurahman dalam ‘Peradaban Atlantis Nusantara’ menanggapi penelitian mereka dengan membuktikannya melalui beberapa temuan situs arkeologi yang disinyalir merupakan sisa-sisa kejayaan masa itu.
Kemanakah nenek moyang kita dahulu? Di manakah sekarang keturunannya berada? Ketika adanya pengklasifikasian warga negara dan penduduk: asli dan keturunan, atau dalam administrasi daerah semacam tanda pengenal: KIPEM/KIPS/KIPP, sungguh lucu rasanya! Mengapa tidak dengan status ‘WNI’ saja tanpa embel-embel dan satu untuk KTP Nasional?
Keaslian WNI dan penduduk lokal itu sendiri -selain urusan administrasi- patut dipertanyakan pula. Kecuali jika kita identifikasi mulai dari terbentuknya NKRI. Itu pun tidak akan menjamin sepenuhnya apabila rasa kebangsaan itu ditunggangi muatan diskriminatif, bukan karena adanya hubungan darah. Dan pada akhirnya nasionalisme itu terkesan abstrak dan hanya dijadikan sebuah alasan untuk berdomisili saja.
Di samping itu, kelemahan penataan kota yang diwariskan pemerintah Hindia-Belanda sampai kini menyisakan sekat-sekat antar etnis. Misalnya ada kawasan Pecinan, Kampung Arab, Kampung India, Kampung Melayu, Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Madura, bahkan ada Kampung Portugis dan sebagainya. Ini juga diduga menjadi salah satu penyebab yang membuat hubungan pendatang dengan penduduk lokal menjadi renggang. Dan perlahan-lahan tren tersebut mempengaruhi juga etnis-etnis lain untuk mendirikan hal yang serupa di kawasan lain. Bagaimana bisa mereka berbaur dan saling mengenal lebih dekat!
Semenjak Orba, ‘pribumi’ Indonesia diarahkan untuk mengembangkan dan menjual tradisinya demi kepentingan pariwisata dalam setting pemerintah. Namun sayang kita hanya melihatnya dari sisi baik saja, terutama dari sektor ekonomi. Secara tidak langsung eksploitasi kebudayaan dalam industri kapitalis pariwisata telah berdampak buruk terhadap psikologi, seperti memupuk benih-benih semangat kedaerahan baru dalam bingkai modernitas.
Baik disadari atau tidak hasilnya kadangkala berlebihan atau sesekali terasa janggal dan terkesan dibuat-buat. Akhirnya mereka menjadi gamang dengan jatidiri dan bangsanya. Ditambah arus globalisasi yang begitu cepat, membentuk mereka menjadi manusia skeptis: maju nggak kena, mundur nggak kena! Akhirnya dunia klenik menjadi solusi pilihan. Bisakah itu dikatakan sebuah evolusi manusia? Sementara kita, sebagai pribumi masa kini, adalah korban dari politik kebudayaan tersebut.
Memahami Keadilan, Semudah Berbagi Keuntungan?
Menurut sejarah, NKRI digagas dan didirikan oleh kaum intelek dari kelompok mayoritas, mungkin dengan harapan tiada lagi semangat kesukuan dalam nasionalisme: bertanah air satu, berbahasa satu dan berbangsa satu. Tetapi itu bukan berarti kelompok minoritas tidak berjasa dalam perjuangan.
Bisa dibayangkan 17 ribu pulau dengan 1.128 suku! Betapa sulitnya saat itu mempersatukan kerajaan-kerajaan, suku-suku dengan berbagai bahasa dan agama di kepulauan nusantara yang layaknya menjadi sebuah negara serikat, federasi, atau persemakmuran. Dengan apa mereka dipersatukan? Bukankah ada kesepakatan di situ? Ketika berhasil terbentuk sebuah negara kesatuan, apakah itu berarti bahwa hak-hak kelompok mayoritas harus diprioritaskan kendati mereka telah terpecah menjadi beberapa kelompok?
Ini menyangkut keadilan sosial, bukan bagi-bagi kue dan ‘ja-prem’ (jatah preman). Diperlukan obyektifitas dalam penilaian manakala faham fundamental menyusup ke salah satunya, dan selebihnya cenderung anarkis dan radikal. Dan kini sebagian besar pecahan kelompok mayoritas tersebut telah menjelma menjadi ‘kacung-kacung’ kapitalis yang akan terus mengeruk sumber daya alam. Sementara para pelanjut bangsa sesungguhnya yang lebih berkualitas, dibatasi ruang geraknya dan tersingkir menjadi kelompok minoritas.
Kalaulah mereka menghendaki NKRI itu diibaratkan sebuah perusahaan, bagaimana seharusnya mereka berbagi hasil atau menggaji rakyatnya? Adakah presentase hak setiap individu? Dari total jumlah penduduk WNI, berapa persenkah yang sudah mendapatkan haknya? Adakah jaminan khusus selain yang tertera dalam pasal 27-34 UUD 1945? Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan hidup yang layak sebagaimana diwajibkan untuk memiliki kartu tanda penduduk?
Adakah prioritas individu atau kelompok tertentu yang lebih berhak? Bagaimana hak kaum-kaum minoritas yang di suatu masa pernah berjasa membangun sebuah peradaban? Ini mengingat kecemburuan sosial yang sering terjadi dikarenakan para pengelola gagal membangun kesejahteraan penduduk.
Akan tetapi hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah hak untuk mengelola tanah air, sumber daya alam dan segenap isinya terutama yang dikuasai oleh negara. Maksudnya bagaimana solusinya agar beban kewajiban setara dengan hak yang didapatkan. Dalam hal ini apakah status agama, etnis, suku, dan golongan bisa mempengaruhi hak seseorang dalam peran serta pembangunan? Bagaimana dengan warga keturunan? Bagaimana pula warga negara asing yang diberikan hak kelola?
Sungguh rumit rasanya menuntaskan hal tersebut, apalagi pemahaman keadilan tersebut dilihat dari berbagai sudut pandang: kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lain sebagainya. Kalau begitu, apa acuan kebenaran dalam pemahaman Pancasila, logika ataukah relativitas?
Di sini tidak bermaksud melemahkan kandungan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi kenyataan belum ada kesepakatan penafsiran pada setiap silanya, meskipun dibilang ‘harga mati’. Adapun penjelasan dalam butir-butir Pancasila hanya bersifat contoh-contoh perbuatan. Lalu bagaimana bisa Bhineka Tunggal Ika itu bisa dipahami dengan mudah dan direalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari!
Jika Pancasila ditafsirkan berbeda-beda oleh masing-masing individu atau kelompok, maka pada hakikatnya Pancasila telah mengalami distorsi, dengan kata lain telah melahirkan aliran-aliran baru. Dan pergeseran nilai itu dirasakan karena ada klaim sepihak dari sebagian kelompok yang berlindung di bawah payung demokrasi kemudian mencari aman dengan mengatasnamakan pembela negara dan penyelamat bangsa.
Kasus-kasus internasional seputar keadilan selayaknya dijadikan cermin dan pelajaran bagi kasus nasional, dan kasus nasional pun menjadi pelajaran pula bagi kasus regional, atau sebaliknya. Dendam bukanlah jalan pintas untuk menyelesaikan konflik selama kita belum tahu musuh dan provokator sesungguhnya di jagat ini.
Ingat, penduduk Bali pada tataran internasional dan nasional adalah kelompok minoritas, tetapi pada skala regional adalah kelompok mayoritas. Tinggal bagaimana sebaiknya bersikap dan saling tahu diri di hadapan keduanya.
Dan alangkah indahnya di penghujung tahun ini, kita membiasakan diri dengan memandang obyektif seseorang. Buanglah subyektifitas ‘apa suku, kasta dan agamamu’, tetapi ‘apa ideologimu dan bagaimana prilakumu’! Mudah-mudahan dengan kebiasaan tersebut kita akan lebih tahu siapa saudara-saudara kita sesungguhnya.
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. [b]
Comments 2