Jana menatah, menelusuri urat-urat spirit Muja, bapaknya.
Sosok Barong Bangkal menyambut kita saat memasuki ruang Titian Art Space, Ubud. Sosok itu merupakan patung kayu karya maestro I Ketut Muja (1944 – 2014), pematung dari desa Singapadu, Gianyar.
Sembilan patung kecil ditata di atas pustek. Ruangan tidak begitu besar, tapi pameran digarap sangat apik. Semua patung adalah karya I Wayan Jana, putra I Ketut Muja. Pameran bertajuk ‘Encounter’ ini berlangsung pada 11 Mei – 30 Juni 2019.
Jana lahir di Singapadu, sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Aktif berpameran dan meraih beberapa ‘Award’.
Gagasan-gagasan Jana dieksekusi pada berbagai jenis kayu seperti suar, panggal buaya, waru dan jati. Ada jejak patra yang ia tinggalkan di patung-patungnya, gaya yang dikembangkan pada kurun waktu 10 tahun ini.
Sebelum itu karyanya seperti gaya patung bapaknya. Sejak kecil dia memang belajar mematung kepada I Ketut Muja dan kerap terlibat di dalam proses pembuatan patung karya Muja sebagai asisten. Di ranah seni tradisi, artisan suatu hal yang lazim.
Ikon-ikon tradisi merasuk ke tubuh patung-patung Jana, semisal pepatran Bali. Patra ‘kakul-kakulan’, hasil stilasi dari rumah siput ditengarai sebagai patra dasar yang kemudian berkembang ke berbagai patra seperti ‘kuping guling’, ‘patra punggel’ dan ‘patra sari’.
Pepatran Bali terinspirasi oleh alam, antara lain dari tumbuhan dan binatang di samping terpengaruh oleh motif Mesir, Eropa dan China.
Bawah Sadar
Sumber inspirasi karya Jana juga didapat dari benda pakai yang ditemui di sekitarnya. Bentuk lain yang tersirat adalah citra tumbuhan dan binatang. Bentuk-bentuk itu bermutasi ke dalam benak Jana. Mengalami proses asimilasi dan mewujud serupa mutan, bentuk yang ganjil, muncul dari dunia imaji.
Pengalaman bawah sadar ikut berperan membentuk asosiasi atau interpretasi ketika melihat karya-karya ini. Gejala tersebut dapat dilihat pada karya ‘Harmony’. Batang bagian tengah patung ini – yang memisahkan perut dan leher – lebih kecil volumenya.
Nampak lentur seolah berfungsi menggerakkan tubuh. Mengingatkan pada gerakan ulat saat menggeser tubuhnya. Ada bentuk seperti sayap pada abdomen atau area perut dan di ujung ekor bukannya sengat yang ditatahkan tapi bentuk seperti daun waru atau hati.
Saya menyebutnya ‘seperti’ karena mencurigai bahwa ini mutan.
Pada pustek yang lain nampak sekilas seperti benih. Ada kecambah yang tumbuh pada biji. Berbagai bentuk menempel pada tangkai seperti susunan gigi, daun waru serupa simbol hati, bulatan dan bentuk runjung di ujungnya.
Asosiasi lain pada patung ini ialah citraan kelopak yang tengah membuka, gambaran sesuatu yang sedang berevolusi. Berproses ‘Tumbuh dan Berkembang’ untuk menjadi.
Ada tiga unsur yang mendasari karya Jana, yaitu bentuk bulatan, bentuk gigi atau taring dan hati. Masing-masing unsur memiliki makna. Dua bulatan menyimbolkan laki-laki dan perempuan (purusa-pradana), bentuk hati bermakna cinta atau kasih sayang serta gigi melambangkan kebaikan dan keburukan (rwa-bhineda).
Gigi atau taring bila digunakan untuk kebaikan dapat mengunyah makanan yang bermanfaat bagi tubuh dan pertumbuhannya. Sebaliknya bila digunakan untuk keburukan seperti menyerang dengan gigitan, ia dapat melukai, menciptakan celaka.
Ketiga unsur tersebut dirajut menjadi kesatuan bentuk.
Jana juga menuturkan perkara konsep yang melandasi proses kreatifnya. Menurutnya, semua yang ada di alam semesta berawal dari suatu ‘pertemuan’. Unsur pertemuan melahirkan kehidupan dan generasi, perkembangbiakan pada mahluk dan tumbuhan.
Sepasang Kekasih
Bagi Jana esensi utama pertemuan tersebut adalah ‘hubungan’ sebagai yang tersurat di dalam Tri Hita Karana. Relasi tersebut terjalin antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama dan manusia dengan alam atau lingkungan.
Tunas itu tumbuh pada batang yang menggembung menyerupai kapsul bagai bagasi penuh nutrisi. Terlihat dua figur dengan satu hati melekat pada satu tangkai, meliuk di samping selengkung cabang bermahkotakan kuncup bunga yang menghadirkan harmoni, sedangkan patra kakul-kakulan melingkar di rusuk tangkai memberi tekanan irama. Karya bertitel ‘Irama Hati’ ini mengungkapkan gejolak perasaan sepasang kekasih.
Pada sudut lain ada bentuk lingga berdiri tegak di celah dua payudara yang gembung dan terasa kenyal. Kesan kenyal timbul dari karakter material yang halus dan licin serta didukung efek pencahayaan.
Karya ‘Gairah Dara’ ini terasa sensual. Letak payudara terkesan seperti berada di buritan, sebagai pangkal patung yang membujur seperti perahu. Pada bagian haluan berbentuk gagang dengan posisi mendongak, menempel daun waru yang memiliki anatomi melekung dengan bagian lancip di ujungnya. Di badan gagang menancap deretan gigi.
Haluan ini mengesankan sebagai penghela, membawa seluruh citra visual di dalamnya berlayar di samudra interpretasi. Beragam asosiasi muncul dari patung-patung di ruangan tersebut. Jana menawarkan ruang imajinasi untuk kita masuki dan mengembara di dalamnya.
Karakter Muja memang berbeda dengan Jana. Karya Muja nampak liar. Urat-urat kayu yang menganga merajah sekujur Barong Bangkal, sangat ekspresif. Sensitivitasnya sangat tajam dalam membaca karakter kayu.
Anatomi karyanya sangat dinamis, menyisakan anatomi asal dan meleburnya dengan anatomi yang dibangunnya. Seperti dituturkan Jana, Muja bisa bercakap-cakap dengan kayu. Bisa membaca alur, lekuk dan laku kayu. Memiliki kebebasan dalam membentuk anatomi.
Jana sedang memahat Muja. Dia menatah, menelusuri urat-urat spirit Muja, mendengarkan percakapannya dengan kayu. Barong Bangkal menggerakkan kaki-kakinya, melangkah turun dari ‘singgasana’, meliukkan badan, menari mengikuti rentak suara pahat yang terus menatah, menggurat tubuh Muja, menyayat lebih dalam untuk menemukan rohnya.
Barong Bangkal terus bergerak dinamis dan ritmis. Tatahan-tatahan pahat semakin dalam. [b]