Awal tahun 2017 yang lalu, menjadi permulaan baru bagi perjalanan saya menyelami dunia perteateran. Pementasan berjudul “Energi Bangun Pagi Bahagia” yang dibawakan oleh pentolan Bengkel Mime Theatre Yogyakarta, yaitu Mas Andy Sri Wahyudi dan kawan-kawan pada Februari 2017, secara tidak langsung menjadi momen perkenalan saya —dari Teater Orok Unud— dengan kawan-kawan Teater Kalangan. Meskipun beberapa penghuni di dalamnya secara personal memang sudah saya kenal. Mempersiapkan pementasan Mas Andy, memberi saya kesempatan untuk tahu lebih banyak tentang Teater Kalangan, yang awalnya saya kira sama dengan teater kampus pada umumnya. Lalu, apakah Teater Kalangan memang seperti yang saya pikirkan?
Sejak bergabung di Teater Orok pada tahun 2013, bisa dibilang sangat jarang saya “keluar” dari sana. Selalu ada hal yang sulit dijelaskan ketika saya memutuskan untuk dekat ataupun menjauh dari sesuatu, orang, atau pun semacamnya. Itu pula yang terjadi ketika saya berkenalan dengan Teater Kalangan. Saya tidak pernah diiming-imingi atau dijanjikan sesuatu, tetapi hasil ngobrol sampai larut, bicara musik, buku, referensi teater, hingga hal remeh temeh lainnya entah kenapa memberi saya dorongan yang kuat untuk tidak menjauh dari kelompok teater yang lahir di Singaraja itu. Di tengah kebingungan mencari “rumah” karena masa aktif saya di Teater Orok Unud waktu itu hampir habis, maka kehadiran Teater Kalangan saya anggap sebagai keberuntungan dan sekaligus penyelamat bagi jiwa yang kebingungan ini. Hahaha …
Setelah tidak terlalu intens di Orok, ada rindu yang sangat rindu untuk terlibat kembali dalam sebuah produksi. Dan ketika ditawari untuk ambil bagian dalam produksi Kalangan, saya langsung YES!
Monolog DOR dan hal-hal baru
Terlibat langsung dalam proses kreatif Teater Kalangan saya mulai pada pementasan monolog DOR dalam rangka Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Kalau tidak salah, pementasan itu berlangsung pada 17 Juni 2017 di Taman Baca Kesiman. Saat itu saya bersama beberapa kawan lainnya menjadi pemeran pembantu, semacam properti hidup, bintangnya adalah Santiasa Putu Putra. Oya, Jong nama pasarannya. Saat itu saya dibuat bingung. Katanya ini monolog, tapi kok ada banyak orang di panggung? Kok pakai pemeran pembantu segala? Begitu kiranya pertanyaan yang muncul. Maklum saja, sebelumnya, yang saya pahami tentang monolog adalah lakon yang dimainkan oleh seorang aktor. Kemudian, pemahaman itu patah ketika pandangan baru dari Kalangan saya terima, bahwa monolog, bukan lagi perihal berapa orang aktor yang ada di panggung, namun lebih kepada siapa yang mendominasi siapa. Jadi, sah saja ketika monolog itu menampilkan lebih dari satu aktor di atas panggung, asalkan tetap satu orang yang mendominasi, bisa dikatakan sebagai otaknya.
Melalui proses latihan DOR itu juga saya dikenalkan pada metode latihan baru. Saya termasuk orang kebanyakan yang biasanya melakukan pemanasan dengan metode lawas, berlari keliling sekian kali, lalu peregangan, dan kawanannya. Dari produksi DOR, metode jadul yang laris manis itu ter-update. Akrablah saya dengan latihan suzuki, latihan pernafasan, juga bergerak dengan mengikuti irama musik. Ternyata, itu amat sangat melelahkan! Lewat hari pertama latihan, badan terasa sakit. Koyo menempel di mana-mana. Fisik benar-benar digodok sedemikian rupa untuk mencapai kesetaraan energi antarpemain. Dan ketika terlibat lagi dalam proses kreatif selanjutnya —yang hampir semuanya menguras tenaga— agaknya saya menjadi terbiasa dengan latihan seperti itu. Meskipun ujungnya tetap akan melelahkan, tapi tidak membuat saya kapok!
Selama di Teater Orok, saya memang lebih sering bermain monolog, namun monolog yang pada umumnya dikenal orang. Bentuk pementasannya pun selalu realis, tidak pernah ada eskplorasi ekstrim dalam penggarapan. Yang banyak digodok waktu itu adalah masalah rasa, takaran emosi, dan dialog. Blocking dan bisnis kecil di atas panggung, urutan ke sekian. Nah, berbeda dengan Kalangan. Di sini, (menurut saya) eksplorasi dilakukan ekstrim. Naskah menjadi semacam panduan atau garis besar alur cerita. Pada eksekusinya, tidak selalu dimainkan secara utuh. Pada produksi DOR, yang menjadi menarik adalah hadirnya berbagai macam impresi gerak yang menggambarkan berbagai hal, suasana, dan tempat. Misalnya saat menggambarkan pasar, para pemeran pembantu memberikan impresi gerak sebagai pedagang, tukang parkir, dan hal lainnya yang berhubungan dengan suasana di pasar. Tentu itu juga tidak sembarang impresi, karena sebelumnya pengamatan langsung sudah dilakukan oleh sutradara. Dan saat itu saya sadar bahwa riset juga sangat penting untuk pementasan.
Satu hal yang membekas juga dari latihan DOR adalah tentang kerja sama dan percaya pada tim. Ada fase latihan ketika kami harus memupuk kepercayaan satu sama lain dengan menjatuhkan badan, dan mempercayakan pada kawan untuk menangkap kita. Ternyata pikiran amat sangat berpengaruh. Awalnya saya sangat takut, apalagi lantai kan keras, kalau jatuh, bagaimana? Setakut itu. Setidakpercaya itu pada kawan. Dan ketika semua dipasrahkan, dipercayakan, kepercayaan diri si kawan juga akan naik. Dan, yak! Tangkap! Tubuh saya ditopang oleh kaki dan kedua tangannya. Pesan moralnya adalah: ketika kita percaya antartim, kekhawatiran akan tersingkir. Adegan seekstrim apa pun akan dilalui dengan ringan. Karena secara tak langsung, ada perjanjian untuk saling mendukung. Itu tidak hanya berlaku bagi aktor, tim produksi lainnya juga perlu menanamkan itu.
Ruang sebagai Teks
Sebelum mengikuti proses kreatif bersama Kalangan, anggapan saya tentang teater masih sangat konvensional dan menganggap bahwa ruang teater itu sempit pada panggung sebagaimana yang menjadi panggung pertunjukan pada umumnya. Kita sangat saklek pada hal-hal alamiah yang sebenarnya hal itu bisa dijadikan sebagai teks dan bagian dari pementasan. Hal ini juga saya dapatkan ketika membaca buku Ideologi Teater pada salah satu bab yang ditulis oleh Ibed Surgana Yuga.
Bersama Kalangan, saya dicekoki dengan pandangan baru yang akhirnya membuat saya sepakat bahwa ruang di sekitar kita ini baik tempat, tubuh, maupun suara yang selama ini dianggap sebagai noise atau gangguan, justru adalah sebuah teks yang bisa dimainkan dan direspon. Hal ini yang belakangan selalu dijadikan materi latihan. Misalnya metode-metode latihan yang diberikan oleh Jong dengan mengkolaborasikan antara musik dan gerak, melebur dengan ruang tempat latihan, dan hal-hal di sekitar. Kami jadi terbiasa merespon sesuatu. Irama musik, tubuh, suasana, bentuk pepohonan, corak kulit kayu, dan hal-hal sekitar kami jadikan sebagai partitur untuk menentukan dinamika dalam bergerak. Semua itu adalah teks yang dapat memperkaya cerita.
Setidaknya materi ini yang juga selalu diterapkan dalam tiap produksi Kalangan yang saya ikuti setelah DOR. Mulai dari respon puisi Membaca Pagi karya Wulan Dewi Sarawati, Bebunyian, hingga Buah Tangan Dari Utara.
Proses yang gembira dan melelahkan
Teater Kalangan hadir memberi warna baru bagi teater di Bali. Saya melihat kecenderungan Kalangan dalam tiap produksinya adalah menampilkan bentuk yang eksperimental dan bermain dengan simbol, sehingga untuk dapat memaknainya, kita perlu melakukan pembacaan yang lebih. Untungnya, biasanya akan disediakan booklet untuk memberikan gambaran tentang pentas yang dibawakan.
Dalam proses latihan, saya merasa latihan itu bukan lagi menjadi hal yang enggan untuk dilakukan. Hal itu bukan karena latihannya tidak melelahkan, tetapi karena latihannya menyenangkan. Saya berterima kasih pada Sisir Tanah, sudah menciptakan Lagu Bahagia, karena sejauh ini, lagu itu adalah lagu wajib untuk membuka latihan. Kami semua bergerak dan berjingkrak sesuai irama lagu. Lelahnya mungkin setara dengan lari keliling lapangan tenis Dr Goris sebanyak sepuluh kali, tetapi bahagianya yang berlipat ganda. Tidak ada alasan untuk malas, karena latihan dibuka dengan keceriaan. Rasanya seperti sedang berjingkrak di arena konser!
Hadirnya lagu sebagai pengantar latihan ternyata berhasil memberi energi yang positif. Mungkin ini yang menjadi alasan kenapa saat di Orok, masih saja ada rasa malas dan enggan untuk pemanasan dengan serius. Ya, karena pemanasannya membosankan. Itu-itu saja. Tidak ada kebahagiaan. Ah, sedih sekali. Latihan yang berat tidak dibuka dengan bahagia. Lelahnya jadi berlipat. Tapi saya bersyukur punya pengalaman di Orok, karena ketika saya bersama Kalangan, saya tidak shock dengan model latihan yang berat.
Masing-masing pementasan bersama Kalangan, punya kesan dan tingkat lelah tersendiri. Monolog DOR, bagi saya berkesan karena merupakan produksi pertama dengan Kalangan dan ibarat pintu yang membukakan jalan untuk saya menjelajah lebih jauh dan membuat pengalaman baru. Lalu, respon puisi Membaca Pagi. Ini lelahnya luar biasa. Menjadi tantangan juga ketika harus bermain di arena yang luas dan mengakrabi segala macam elemen yang ada di sana dengan impresi-impresi gerak. Tembok, pohon, lantai, tiang, bebatuan, semua terlibat karena itu adalah teks. Selanjutnya, Bebunyian. Bebunyian adalah pementasan yang naskahnya murni dari Teater Kalangan yang mengangkat isu tentang Bali. Penggambaran Bali dari masyarakat agraris dan tradisonal hingga berkembang menuju modernitas dengan segala masalahnya. Tantangan baru muncul dalam produksi Bebunyian, sebab yang kami gunakan sebagai panggung adalah sebuah lahan halaman kosong. Sehingga, kami perlu energi ekstra untuk membangun instalasi. Lelahnya tak hanya fisik, tapi juga pikiran, karena wacana yang diangkat adalah wacana besar, sementara media yang dipakai untuk menyampaikan itu adalah melalui visual dan bunyi-bunyi, tanpa dialog. Selain itu, urusan perizinan juga meminta perhatian lebih. Ya maklum saja, karena tempat pementasannya ada di perumahan, dan tetangganya galak. Hahaha..
Dan, yang paling membekas buat saya pribadi adalah Buah Tangan dari Utara, yang ditampilkan 10 Desember 2017 dan mengangkat isu tentang PLTU Celukan Bawang-Singaraja. Satu bulan kami menyiapkannya. Lelahnya jangan ditanya, tapi hasilnya bikin gembira. Penonton tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga partisipan dalam peristiwa yang dibangun di panggung. Sehingga peristiwa itu jadi milik bersama.
Rumah yang selalu terbuka
Teater Kalangan menjadi rumah bagi siapa saja yang ingin tinggal. Itu sebabnya di awal saya menyebutkan “penghuni” untuk menggambarkan orang-orang yang ada di dalamnya. Tidak ada batasan berapa lama harus menetap, tidak ada keharusan untuk selalu tinggal, semua berhak pergi kapan pun ingin pergi. Tetapi, ketika sudah memutuskan untuk tinggal, harus dijalani dengan sungguh-sungguh.
Menariknya, berada di rumah Kalangan, seperti belajar di ruang kelas yang bebas. Semua bisa menjadi guru sekaligus murid. Karena, penghuninya berasal dari disiplin ilmu yang berbeda. Ada penulis, orang teater, penari, penyanyi, designer grafis, hingga guru sekolahan dalam arti sesungguhnya. Meskipun begitu, semua punya porsi yang sama untuk saling mengejek satu sama lain. Tapi setelah itu, kami masih tetap berkeluarga. Begitulah jalinan ikatan di Teater Kalangan. Terbentuk ikatan yang tidak terbatas pada proses kreatif berteater semata, tetapi juga menjadi lebih personal.
Penghuni yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda juga memberikan keuntungan dalam memperkaya referensi. Tak hanya teater, tetapi juga musik, buku, film, olah tubuh, hingga tempat nongkrong seru, dagang nasi murah, dan banyak lagi. Referensi-referensi itu yang kurang lebih mempengaruhi penemuan baru yang diaplikasikan di Kalangan.
Disiplin
Di rumah ini juga dibangun disiplin dan budaya. Saat kumpul santai, atau istirahat, sah-sah saja kita bercanda. Namun, ketika latihan dimulai, tentu saja harus fokus. Disiplin waktu juga penting, mengingat jadwal dan kesibukan masing-masing yang tak sama. Nah, urusan disiplin waktu itu yang terkadang saya masih kebablasan. Tetapi, lama-kelamaan ada kesadaran yang memang tumbuh dari tuntutan untuk selalu disiplin. Selain tentang disiplin dan fokus, Teater Kalangan juga menyediakan wadah untuk berdiskusi. Di Denpasar, belum pernah saya temui ada budaya diskusi teater yang tumbuh dengan subur. Entah apa penyebabnya. Atau mungkin saja saya yang belum tahu bahwa itu memang ada. Lagi-lagi saya bersyukur akan kehadiran Teater Kalangan, sebab telah memberi wadah muda-mudi ini untuk bertukar pikiran. Meskipun agak melenceng dari jadwal yang diagendakan tiap bulan, tapi ini wajib diteruskan. Begitu pula dengan kepenulisannya. Tapi saya masih kambuhan, sih… Masih harus sering diketok, hehehe.
Teater Kalangan sangat serius dalam membangun kelompoknya. Selain mengutamakan semangat kolektif, di sini masing-masing penghuni juga didorong untuk tumbuh dan berkembang. Yang punya ketertarikan di kepenulisan, didorong untuk terus menulis, begitu pula dengan yang punya interest lain. Ya seperti membangun keluarga sungguhan. Banyak hal yang harus diurus. Manajemen juga mesti dipikirkan. Syukurnya, Kalangan sadar akan pentingnya branding dan pemetaan penonton. Sebagai kelompok profesional, hal tersebut memang sangat perlu dilakukan. Media sosial dan web juga terus di-update. Secara tidak langsung itu adalah cara untuk “menanamkan dan memupuk” Kalangan dalam pikiran pemirsanya.
Harapan ke depan
Selama bersama Kalangan, banyak hal dan mafaat yang saya dapat. Kepekaan terhadap ruang, kemampuan beradaptasi, menjadi tidak bingung ketika dihadapkan pada momen yang “tiba-tiba”, banyak lagi. Menurut saya, bukan hal yang berlebihan ketika saya bilang Teater Kalangan menyediakan menu dengan paket komplit. Belajar bisa, melatih disiplin, latihan bisa, jalan-jalan sambil nonton pentas atau konser bisa, menambah teman, dan banyak hal. Ke depannya, saya berharap ritme yang sudah terbangun di Kalangan, tidak menurun. Juga tetap dengan visi misi, target yang jelas, karya yang makin gila, dan relasi yang kian luas! Semoga energi dari Kalangan juga dapat memberi pengaruh positif bagi kawan-kawan pegiat seni dan jagat perteateran di tanah ini.
Terima kasih untuk pembaca yang betah sampai titik terakhir. Maaf ya, kalau celotehan saya ke mana-mana, semoga tidak merasa percuma karena meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Have a great day, everyone!
Oya, satu lagi: Jangan lupa berdoa sebelum dan sesudah latihan, pang metaksu!
Biodata Penulis
Iin Valentine, seorang penikmat buku, musik, dan penggemar foto. Pertama kali berteater di Teater Orok, Unud. Tahun-tahun yang dihabiskan membuatnya menjadi Ketua Teater Orok selama dua periode dan meraih penghargaan sebagai aktris terbaik dalam beberapa event teater lokal nasional. Tulisan berupa esai, opini, dan ulasan dimuat dalam sejumlah media masa. Kini sembari nyekripsi, menjadi pekerja serabutan di Teater Kalangan sebagai aktor, kadang pimpinan produksi, penulis, properti, dan penonton.