Teks oleh Astha Ditha
“Makan gak makan asal kumpul”. Demikian judul lagu Slank soal soliadaritas sosial. Tapi bila kumpul-kumpul saja, tanpa makan apa tidak kelaparan? Harga beras boleh saja mencekik. Harga lauk-pauk bisa saja terus melonjak. Tak usah khawatir. “Yah, dengan uang Rp 2.500,00 bisa lah hidup, dengan makan nasi jinggo”, tukas I Nyoman Ardana atau lebih ngetop dipanggil Pak Un. Pria yang sudah lebih dari 10 tahun membuat nasi jinggo, nasi jinggo semat merah. Berikut rangkuman obrolan dengan Pak Un.
Nasi Jinggo semat merah, bagaimana ceritanya nasi jinggo bapak bersemat merah?
Karena nasi jinggo saya sudah banyak yang tahu, tapi masih pakai semat putih susah dibedakan. Daripada repot bikin merk, ya dipakaikanlah semat merah, supaya ada ciri khasnya. Ciri khas nasi jinggo Pak Un.
Bagaimana menjaga otentisitas rasa nasi jinggo bapak?
Takarannya harus pas. Khususnya sambal. Kalau cabe di pasaran lagi mahal, pedasnya dikurangi, kalau sedikit murah digenjot pedasnya. Yang penting kualitas. Dulu pernah ada yang ikut memakai semat merah, tapi banyak yang komplain, katanya nasinya cepat basi, sambalnya beda, dll. Ya, kalau dia beli di langganan saya, tidak mungkin seperti itu. Aromanya sambalnya beda..
Sudah berpuluh tahun bergelut dengan nasi jinggo, apakah ada perbedaan yang signifikan antara nasi jinggo tempo dulu dan kekinian?
Tidak. Kecuali harga. Sekarang saja sudah Rp 2.000,00 itu sudah disesuaikan dengan harga bahan-bahan di pasaran. (Harga pokok nasi Pak Un Rp 2000,00 lalu dijual kembali oleh pedagang kecilnya Rp 2500,00).
Adakah tradisi tertentu ketika menyantap nasi jinggo, baik tempo dulu atau di era kini? Semisal sembari menenggak tuak atau mengobrol di posko/bale banjar?
kalau sembari minum tuak, tidak ada itu. Ya, paling juga di acara-acara pernikahan kematian, pas ada kegiatan mendadak, ingin makan yang praktis, tidak usah repot-repot menunggu orang masak, bungkus dll, lapar ya bisa makan nasi jinggo. Biasa sajalah, seperti menonton TV, mekemit di pura dsb.
Nasi Jinggo bisa dikatakan sebagai ikon kuliner yang merakyat di kota Denpasar. Menurut bapak, bagaiamana masyarakat Bali menghargai kulinernya sendiri?
Masing-masing orang itu punya prinsip, ya. Seperti saya misalnya, maju terus, itulah yang harus dijaga. Ada kebanggan tersendiri manakala hasil karya kita diakui, disukai, dicari banyak orang. Ya, secara pribadi saya sangat menghargai kuliner-kuliner lokal.
Sekarang angkringan nasi jinggo bertebaran di mana-mana, di emperan toko ataupun kaki lima dan rentan tergusur. Bagaimana bapak melihat kondisi ini?
Wah, kalau nasi jinggo saya itu tidak pernah saya dengar terlibat urusan seperti itu. Karena sudah dengan persetujuan si pemilik toko. Ibaratnya satpam di malam hari, ya dia menjaga juga. Pemerintah juga tidak begitu ketat melarang ini itu. Sewajarnya saja. Kalau kita mau tertib, tidak kumuh. Kalau tidak dikasih ya sudah, namanya juga orang pinjam. Yang penting sama-sama baik.
Menurut bapak, bagaimana minat anak muda Bali menekuni usaha kecil di bidang kuliner?
Kemauan untuk belajar ada, niatnya ada. Tapi sekarang kalau dia mau usaha, ya bisa dibilang terlambat. Sebab sudah kalah nama dengan pendahulunya, sudah ditenggelamkan dengan seniornya. Kalau sudah begitu, kedodoran duluan, kalah mental dan tidak bahan banting biasanya usahanya tidak bertahan lama. Yang penting usaha terus.
Apa kiat bapak agar bisa bertahan dalam menjalankan usaha ini?
Yakin dan bekerja dengan benar. Saya buat nasi ini sistematis, sudah diatur, saya perkirakan sedemikian rupa. Saya senang dikritik, jadi ada yang memacu untuk terus maju. Ada juga yang mengkritik menjatuhkan, dibilang nasi saya ada ulatnya, dll. Kalau nasi saya ada ulatnya, pasti semuanya juga ada. Kalau satu gitu, pasti ada yang berulah. Saya tidak main-main buat nasi, tidak ada yang keracunan karena makan nasi saya. Saya tidak mau daging yang diberi es, pokoknya baru. Lombok juga, minta ke suppliernya yang baru dipetik.
Sampai kapan, bapak akan menekuni usaha membuat nasi jinggo?
Kalau bisa diteruskan sampai anak cucu. Meskipun belum ada yang meneruskan usaha saya ini, saya yakin pasti ada yang meneruskan usaha ini. Anak-anak saya beri kebebasan, yang penting percaya saja. Saya ingin nasi jinggo ini tetap ada. Karena sudah tersohor sampai ke luar Bali. Ya, orang yang lancong ke Bali yang baru menginjakkan kaki di Denpasar dengan uang Rp 2.000,00 masih bisa lah hidup, dengan makan nasi jinggo. Karena kalau tidak ada nasi jinggo, jalanan itu sepi, kota itu sepi. Ya ibaratnya seperti denyut malam kota Denpasar. (A. Ditha)
Nama : I Nyoman Ardana alias Pak Un
Lahir : Tahuan 1960-an
Anak : 3 orang, 2 laki dan 1 perempuan
Distribusi nasi jinggo: Sekitar Jalan Setiabudi, Gunung Agung, Hayam Wuruk, Gajah Mada