Di awal 90-an ketika saya mulai belajar berusaha membuka warung kopi, Pak Tom (Thomas Hunter) sering mampir.
Kami berbahasa Bali, ngobrol ngalor-ngidul,tentang banyak hal, bercanda dan menertawakan dirinya sendiri. Tentang kelemahan dirinya sebagai manusia dan itu menular, saya tidak merasa keberatan untuk tertular.
Pak Tom adalah seorang akademisi sejati, seorang ahli bahasa, sangat serius dengan apa yang beliau tekuni, terasa perfectionist. Terkadang sangat ngotot dengan apa yang sedang diperjuangkan, apa yang dianggap benar, beliau sadar kalau bersikukuh. Karena hampir selalu reflektif, mempertanyakan dirinya. Tentu saya yang awam tidak begitu mendalami apa yang dilaluinya. Tapi demikianlah.
Pak Tom juga seorang musisi, pemain Sarod alat musik India, yang sering dikenal sebagai sitar, tapi bukan sitar, lebih kompleks dari sitar, beliau belajar langsung dari seorang musisi yang sangat dihormati di India. Seorang musisi yang sangat tekun mendalami musiknya, karena memang senang dan menjiwai, tapi bukan seorang yang begitu suka mempertunjukan kemampuannya, jadi sisi ini kurang begitu banyak dikenal. Hampir tidak pernah Pak Tom bersedia mempertunjukan kemampuannya di depan publik, jarang bersedia. Saya dan penonton di warung saya adalah salah satu yang beruntung karena Pak Tom bersedia bermain. Sebenarnya 3 kali, di malam awal 90-an Ubud yang masih sepi, ketika warung saya baru buka dan 25 tahun kemudian.
Ketika pertama kali seingat saya bermain di publik sangat mencengangkan, ditimpali oleh pemain African Drum dari Jepang, selama 2 jam tidak ada yang beranjak, sangat captivating.
Orang yang paling mengerti bahwa dirinya tidak cocok untuk mengelola sekolah adalah Pak Tom sendiri. Walau isi jiwanya yang utama adalah menularkan ilmu menginspirasi jiwa yang muda-muda, muridnya. Tapi mengelola mereka jiwa muda selama berbulan-bulan adalah tantangan yang memfrustasikan dan melelahkan untuk kecerdasan emosinya. Apalagi soal administrasi dan lain-lain.
Di dunia yang penuh dengan orang yang mengacungkan tangan mencari perhatian menonjolkan diri, kerendah hatian adalah langka, sesuatu yang jarang. Relung hati yang jarang kita singgahi, tapi peneman setia ketika kita berhadapan dengan diri sendiri.
Walau kita akhirnya tidak bisa bertemu, ngobrol, bersenda gurau di dunia nyata di akhir waktu kehidupan kita tau kita bersahabat. Masih bisa melanjutkan ngobrol bersenda gurau ketika kita ketemu kembali di alam sana.
Selamat jalan Pak Tom, sampai ketemu kembali.
“Thomas M. Hunter memberikan kuliah dalam bahasa Sansekerta dan Studi Asia Tenggara untuk Departemen Studi Asia di University of British Columbia. Sebelum bergabung dengan UBC ia bekerja selama lebih dari dua puluh tahun membimbing mahasiswa dari Amerika Utara dalam program studi mereka di luar negeri di Indonesia dan India. Ia pernah menjadi Anggota dari National Endowment for the Humanities (1996), Institute for Advanced Study di Hebrew University of Jerusalem (2003-4) dan Wissenschaftskolleg zu Berlin (2006-7). Publikasinya berfokus pada sastra kuno India dan Indonesia, terutama karya-karya dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Karya-karyanya mengembangkan perspektif sejarah dan sosio-linguistik tentang perkembangan “bahasa catatan” di Asia Tenggara kepulauan dan peran yang mereka mainkan dalam pembentukan negara selama periode pra-modern. Minatnya yang lain termasuk studi dan praktik musik Hindustan dan genre terjemahan ekstemporer Bali yang dikenal sebagai mabasan.” dikutip dari academia.edu
Curriculum Vitae Thomas M. Hunter