Sekelompok perupa mengajak kita meresapi nilai-nilai bangsa.
Sutasoma Organizer, nama kelompok tersebut, akan menggelar aneka kegiatan seni di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma Tegal Bingin, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar. Temanya “Bhinneka Tunggal Ika”.
Pagelaran seni itu akan dibuka secara resmi pada 5 Agustus 2017 nanti di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma. Dengan mengusung tema Bhineka Tunggal Ika, pelaksana ingin menyajikan sebuah pertunjukan yang mengajak pengunjung untuk kembali meresapi nilai-nilai yang termaktub dalam semboyan negara Indonesia ini.
Pagelaran kali ini merupakan kelahiran ddrama tari pewayangan “Sutasoma” dengan judul Purusada Santha. Dikerjakan dengan baik dan seksama oleh I Made Sukadana, I Wayan Purwanto dan I Wayan Jaya Merta dengan menciptakan sebuah koreografi, topeng dan musik yang baru.
Drama ini mengisahkan perjalanan calon Buddha dilahirkan kembali sebagai Sutasoma sekaligus tercetusnya konsep “Bhineka Tunggal Ika” itu dalam kisah perjalanannya.
I Wayan Purwanto menjelaskan proses kelahiran drama tari kreatif “Sutasoma”. Judul Purusada Santha diambil dari satu fragmen kisah Sutasoma yang digagas menjadi sebuah drama tari inovatif dan kreatif. Pertunjukan ini menggabungkan tarian, wayang wong, dan musik tetabuhan.
Penari akan menggunakan 17 topeng baru yang dibuat secara khusus oleh Cokorda Raka Sedana, mewakili 17 tokoh dalam drama tari pewayangan Sutasoma. “Pementasan ini merupakan proses kelahirannya. Ke depan akan terus kami sempurnakan dan kembangkan,” kata Purwanto.
Seniman Mancanegara
Selain menandai kelahiran drama tari Sutasoma, pagelaran seni Bhineka Tunggal Ika juga menampilkan dua pertunjukan tari lain, Purwa Sandhi Naya pada 10 Agustus 2017 dan Sunda Upasunda pada 12 Agustus 2017.
Purwa Sandhi Naya memiliki arti bertemunya budaya tradisi dengan budaya modern. Dalam acara ini disajikan pertunjukan tari topeng dan wayang, klasik dan kontemporer oleh seniman-seniman mancanegara dari Jepang, Meksiko, Argentina dan Amerika Serikat.
Pementasan Tari Purwa Sandhi Naya ini menunjukan spirit Unity in Diversity. Menunjukan tingginya nilai seni dan budaya bangsa Indonesia sehingga seniman mancanegara pun turut mempelajarinya.
Beberapa seniman terlibat dalam pertunjukan tari Purwa Sandhi Naya.
Kawamura Koheisai (Jepang) menampilkan wayang kontemporer “no Kage to Ongaku”. Kawamura menciptakan sebuah pulau fiktif bernama Pulau Walak dan berperan menjadi binatang-binatang penduduk pulau tersebut yang akan menuturkan kisah lewat cerita dan nyanyian.
Noopur Singha (Amerika), Dewa Ayu Eka Putri (Indonesia), Carolina Cazzulino (Argentina) akan menampilkan tari topeng kontemporer ‘Full Feeling Fotosintesis’ yang menunjukan rasa tentang hubungan manusia dengan alam sekitar.
Yukie Karula dan Takujiro Nakamura (Jepang) menampilkan tari topeng kontemporer, disajikan dalam 2 tarian: ‘Ototachibana hime’ menceritakan seorang pengorbanan istri raja yang akhirmya menjadi ratu laut. Tarian kedua ‘Yume Kannon’ menceritakan tentang alam mimpi seorang kakek yang bertemu dengan Dewi Kannon (Bodhisattva).
Mellisa Arriaga (Meksiko) menarikan tari topeng tradisi ‘Jauk Manis’ dimana dia belajar tari ini dari Ida Bagus Gede Surya Peradantha. Tarian ini menceritakan tentang karakter Raja yang keras dan lembut, dimana dia melakukan perjalanan untuk menemui rakyatnya.
Putu Kaoru Padma (Jepang), Emi Hatanaka (Jepang) dan I Wayan Yudiantara (Indonesia) akan menarikan tari tradisi ‘Telek’. Tarian ini biasanya ditarikan dalam sebuah upacara adat, di mana memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan keselamatan dan dihindarkan dari bahaya.
Pertunjukan tari ketiga adalah fragmen tari topeng “Sunda Upasunda”. Tarian ini diambil dari kisah Mahabarata yang mengisahkan hidup dari Asura Sunda Upasunda, kakak beradik yang mempunyai kesaktian luar biasa, yang pada akhirnya meninggal karena keserakahan ingin menguasai tiga dunia.
Fragmen Sunda Upasunda ini mengingatkan para pemegang kekuasaan agar mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, semakin besar jabatan dipegang, semakin tinggi tanggung jawabnya.
Peristiwa Seni
Selain menggelar pertunjukan tari, dalam pagelaran seni “Bhineka Tunggal Ika” juga melibatkan seniman dan fotografer untuk merespon kelahiran tari dan topeng Sutasoma, merespon tarian Sunda Upasunda, Purwa Sandhi Naya dan juga tema besar tentang keberagaman.
Lontar berisi kisah Sutasoma milik I Wayan Mudita Adnyana, penulis lontar dari desa Tenganan Pegringsingan, Bali serta 17 topeng buatan Cokorda Raka Sedana pun turut dipamerkan.
Nyoman Wijaya menampilkan karya-karya drawingnya yang merekam sosok penari-penari dari tiga pertunjukan tari. Sementara, sekitar 15 fotografer merespon dengan berbagai ide dan eksekusi karya foto yang beragam. 15 Fotografer dari berbagai komunitas foto tersebut antara lain Doddy Obenk, Tjandra Hutama K, Djaja Tjandra Kirana, Mario Andi Supria, DP Arsa, Windujati, Stefanus Bayu, Firmansyah Cakman, Bayu Pramana, Wayan Budhiarta, Gede Apgandhi, Gede Puja, Anom Manik Agung, Widnyana Sudibya, dan Ida Bagus Alit.
DP Arsa salah seorang peserta pameran foto mengatakan mewujudkan gagasan menjadi sebuah peristiwa seni sebagai wujud reaksi dari kondisi negara ini adalah sebuah usaha yang patut diapresiasi. Apalagi jika bersumber pada tradisi bangsa sendiri.
“Selain sebagai sebuah pengingat mungkin juga sebagai alat penyadaran tentang nilai-nilai lama yang tetap, masih dan akan menjadi bagian dari republik ini,” ujarnya.
Pagelaran Seni “Bhineka Tunggal Ika” ini merupakan pagelaran skala internasional yang melibatkan seniman Indonesia dan Mancanegara. Sebuah manifestasi atas kecintaan akan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan visi dan misi memberikan edukasi, entertainment, dan rasa persatuan melalui seni.
Pameran karya-karya topeng, lontar, lukisan dan foto dapat dinikmati selama satu bulan dari 5 Agustus 2017 hingga 5 September 2017 di Rumah Topeng Wayang Setia Darma, Tegal Bingin, Mas, Ubud. Lokasi bisa dicek di peta berikut. [b]