Belakangan ini, duduk di teras rumah menjadi kebiasaan saya untuk menanti datangnya malam.
Semenjak pandemi COVID-19 mewabah di Indonesia, hampir setiap hari waktu saya habiskan hanya di rumah. Jujur saja, jika saya tidak pandai-pandai dalam mencari kesibukan tentu sangatlah hampa hari-hari saya diterpa kebosanan yang tak berujung.
Namun, untungnya, ada hikmah di balik wabah ini. Selain semakin banyak waktu yang saya habiskan untuk beraktivitas di rumah saja, seperti sore ini saya bisa menikmati senja di teras rumah yang tak terlalu luas ini.
Cukup miris nasib lahan di sekitar rumah saya. Teringat dulu pada sisi depan, samping dan belakang rumah saya dikelilingi oleh sawah. Tiap hari saya selalu saja melihat kesibukan para petani yang notabene penduduk asli desa dengan antusias tinggi menggarap lahannya.
Namun, itu hanya kenangan masa lalu. Kini saya hanya bisa bernostalgia. Mengingat bagaimana saya dengan tetangga mencari kakul untuk diolah menjadi masakan yang akan dimakan sore harinya. Bermain sepak bola di kala sawah sudah melewati masa panen. Bahkan, perang lumpur di tengah sawah yang baru saja habis dibajak. Memang indah kehidupan di desa kala itu.
Namun, kini rumah saya semakin disesaki menjamurnya beton yang dengan cepat tumbuh tinggi menjulang. Dalam waktu singkat, hamparan sawah tadi disulap menjadi komplek perumahan, tempat kos, warung makan, hingga markas mini bus. Semua berubah begitu cepat, tanpa saya sadari.
Setelah mendapatkan waktu beristirahat sejenak, saya baru sadari bahwa terlalu banyak waktu yang saya habiskan untuk melihat jauh dari sekitaran rumah. Sunggu ironis.
Melihat fenomena ini, terlintas dalam kepala saya lirik lagu “Nyanyian Kecil Untuk Sawah” yang dinyanyikan oleh musisi dari Buleleng yakni Relung Kaca. Begini kira-kira liriknya :
“Sawah hilang, petani berhutang
Rakyat kecil kelaparan…”
“Ladang hilang, Real Estate menjulang
Sang sejuk tak kunjung datang”
Sedikit tidaknya tentu ada relevansi antara lirik lagu Relung Kaca ini dengan situasi masyarakat Bali saat ini. Perlahan tapi pasti, sektor pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Bali beralih ke sektor Industri. Tentu saja sektor industri pariwisata. Kini industri pariwisata menjadi primadona masyarakat Bali. Sekolah pariwisata baik sekolah negeri atau swasta pun menjamur dan dielu-elukan oleh calon peserta didik.
“Yen dot maan gaji gede, megae di pariwisata dogen,” candaan seperti itu juga cukup sering saya dengar.
Memang benar. Jika berkumpul dengan sahabat-sahabat semasa kuliah yang kini meniti karier di sektor pariwisata dan bercerita berapa penghasilan yang bisa mereka bawa pulang sebulan, saya hanya bisa tersenyum. Sebab, selisih antara penghasilan mereka dan saya yang tidak bekerja pada sektor tersebut sangatlah jauh. Maka, sangatlah wajar, setiap orang tua mengharapkan anaknya bekerja pada sektor ini.
Semakin Meningkat
Masifnya pertumbuhan pariwisata di Bali juga menuntut berbagai infrastruktur penunjang yang harus disiapkan guna memanjakan wisatawan yang datang ke Bali. Perbaikan jalan dan drainase setiap tahun selalu dilakukan. Mungkin agar penyerapan anggaran terlihat baik. Hotel, restoran, vila, spa, cafe, dan berbagai tempat wisata dibangun dan dikembangkan untuk mendatangkan wisatawan yang semakin banyak.
Target wisatawan yang tiap tahun semakin meningkat juga tanpa alasan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) juga meningkatkan perekonomian masyarakat di Bali (katanya).
Sayangnya, kebanyakan masyarakat di Bali tidak terlibat secara langsung di sektor Industri Pariwisata ini. Mereka hanya sebagai pemeran pelengkap saja. Pemandu wisata, pegawai hotel, restoran, tenaga keamanan, dll. Tak lebih. Sedikit orang Bali yang memposisikan dirinya sebagai pemilik hotel, restoran, villa, dan lain sebagainya. Sehingga kesempatan ini lebih banyak diambil oleh pihak-pihak luar Bali.
Kepemilikan aset pariwisata di Bali yang kebanyakan dimiliki pihak asing menjadi kelemahan terbesar Bali yang menjadi alasan banyaknya aliran uang yang datang kembali malah keluar ke Bali. Terhitung tahun 2018 Bali menjadi penyumbang devisa di sektor pariwisata sebesar 6,8 miliar dolar AS. Jika dikonversikan ke rupiah, maka nilainya berkisar Rp 100 triliun. Sangat jauh jika dibandingkan dengan PAD Bali sekarang yang tak lebih dari Rp 10 triliun.
Besarnya rupiah yang dihasilkan sektor ini, ternyata menyimpan risiko yang juga sangat besar. Pariwisata akan berjalan dengan baik jika keamanan dan kenyamanan berjalan dengan baik pula. Namun, tetapi di tengah pandemi yang mendera seluruh dunia seperti sekarang nampaknya sulit untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan. Alhasil, pariwisata Bali langsung terjun bebas dari ketinggian bahkan hampir tersungkur. Banyak pekerja yang dirumahkan untuk sementara.
Sampai kapan? Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya.
Tak sedikit pula pekerja yang terpaksa untuk menerima PHK dari perusahaannya yang tak bisa survive dalam kondisi yang tak terduga ini. Tentu bukan sekali Bali menghadapi kondisi darurat pariwisata seperti sekarang. Sejak dulu Bali sudah mengalami hal ini. Bom Bali I, II, erupsi Gunung Agung yang berhasil memantik berbagai negara menerbitkan travel warning agar warganya tak berkunjung ke Bali pernah di terima oleh Bali.
Namun, tak pernah Bali menerima dampak yang sebesar ini. Bahkan tak hanya sektor pariwisata yang terpukul hebat. Kerugian ini pu merambah ke multisektor.
Tentu tak ada yang mengharapkan Bali berlama-lama tersungkur dalam kondisi ini. Saya pun mengharapkan agar kehidupan di Bali segera pulih seperti sedia kala. Hanya saja dalam situasi menikmati senja di teras rumah ini saya sering berkhayal, bagaimana kalau masyarakat Bali kembali bergelut dengan sawah dan ladangnya sehingga makin banyak lagi anak-anak yang bercita-cita sebagai petani.
Namun, susah juga, kan sangat banyak orang tua yang ingin anaknya masuk dan berkiprah di sektor pariwisata. Mungkin khayalan saya akan sangat sulit bahkan mustahil untuk terwujud. Ya, namanya saja mengkhayal kan bebas saja. sebelum diatur oleh pemerintah. Hehehe. [b]