Saya melihat poster Orpa saat menonton film lain di salah satu gerai bioskop di Denpasar. Membaca ulasan dan kesan penonton di twitter membuat saya tertarik untuk menonton film ini. Namun sayang, hingga hari penayangan tanggal 7 September 2023 lalu, film tak kunjung mendapatkan layar penayangan.
Saya sendiri sudah pasrah untuk tidak bisa menonton film ini. Para distributor film tentu akan lebih memilih film-film blockbuster yang menurut mereka lebih laku untuk ditayangkan. Atau film-film horor yang selama dinilai lebih cepat untuk balik modal. Ahh semoga ini hanya asumsi ngelantur saya saja.
Namun, beberapa hari lalu saya melihat poster ajakan untuk nonton bareng film Orpa di Denpasar, tanpa pikir panjang, saya pun mendaftar dan tidak sabar untuk menonton film ini. Nobar pun dilakasanakan pada hari Senin, 18 September 2023.
Film dengan latar belakang Papua bagi saya tidak terlalu asing. Dulu di kampung, saya sempat menonton Denias, senandung di atas Awan (2006) di kaset bajakan yang dibeli di pasar. Saya juga menonton Di Timur Matahari. Selain latar, film dengan pemeran orang Papua yang menarik yang dulu saya tonton adalah Tabula Rasa (2014).
Film-film ini setidaknya mempunyai satu kesamaan yaitu, mengejar mimpi. Tema yang mensyaratkan ketimpangan pendidikan dan bayangan tentang pendidikan yang lebih baik serta kesuksesan di luar sana sering menjadi tema film-film yang mengangkat soal Papua. Begitu juga film Orpa.
Film Orpa berkisah tentang perempuan di Papua bernama Orpa (Orsilla Murib) yang mempunyai mimpi untuk melanjutkan sekolahnya ke Wamena. Namun mimpinya harus dia pendam mengingat ayahnya menganggap pendidikan tidak penting dan menyuruh Orpa sebaiknya menikah.
Menolak menyerah, Orpa memilih kabur dari rumah untuk pergi ke Wamena.
Ketimpangan pendidikan dan ketidaksetaraan yang dihadapi menjadi poin tambah dalam bahasan film Orpa.
Tak melulu diceritakan dengan suasana yang mengharu-biru. Di beberapa adegan, ketika Orpa bertemu dengan Riyan musisi asal Jakarta yang tersesat dan menjadi teman perjalanan Orpa ke Wamena, muncul dialog-dialog yang lucu.
Orpa yang sepanjang hidupnya tinggal di desa harus berhadapan dengan Riyan yang merupakan orang “kota” yang merasa tahu segala hal. Pertanyaan-pertayaan polos dari Orpa menjadi sisi yang cukup menghibur di film ini.
Ada juga celetukan-celetukan lain seperti, “Sudah dekat, tinggal dua gunung lagi.” atau “Kita bisa sampai dengan jalan dua hari dari sini.” Hal ini secara tidak langsung memotret bagaimana ketimpangan akses transportasi yang terjadi di Papua.
Perjalanan ke Wamena juga membawa pada gambar-gambar yang menarik mengenai hutan, sungai, dan hamparan gunung.
Dalam perjalanan Orpa untuk sampai ke Wamena mendapatkan masalah. Warga kampung menganggap Riyan melakukan hal buruk dan diapun kini diburu. Selain itu, salah seorang warga juga sempat melihat Riyan si orang kota berjalan bersama Orpa. Jadinya, Ayah Orpa juga ikut memburu mereka.
Orpa dan Riyan beruntung berhasil menghindari kejaran para pemburu dan sampai di kamp Misionaris yang sepertinya sudah di kawasan Wamena. Namun, sehari kemudian para pemburu juga berhasil menemukan mereka dan nyaris terjadi perselisihan.
Melihat perselisihan hampir terjadi, Orpa mendekat ke ayahnya lalu berkata, dalam bahasa yang saya sederhanakan (maaf agak lupa kalimat persisnya).
“Jika mimpi saya membuat ayah tidak bahagia dan akan menumpahkan darah, sebaiknya saya tidak perlu bermimpi.”
Kalimat ini menjadi klimaks dari pertentangan batin Orpa tentang mimpi-mimpinya.
Usai film diputar, Dani Huda, selaku Produser film yang hadir pada acara Nobar Film Orpa di Denpasar mengatakan bahwa masyarakat mempunyai respon yang positif atas film ini.
“Ya (orang-orang) pada suka, karena kebanyakan belum pernah melihat perspektif (filmmaker) orang Papua,” jelasnya saat nobar, Senin, 18 September 2023.
Film Orpa memang menjadi menarik ketika film ini ditulis dan disutradarai langsung oleh orang Papua. Aktor dan aktris yang bermain di film ini juga bermain baik.
Orsilla Murib yang berperan sebagai Orpa sukses membawa emosi Orpa menyatu dengan dirinya.
Arnold Kobogau yang berperan sebagai Septinus yaitu Ayah Orpa juga bermain baik sekali. Tipe-tipe ayah patriarkis yang hanya ingin didengar dengan bentakkan yang keras rasanya pas sekali dalam dirinya.
“Ya karena ini belum pernah ada sebelumnya, film dengan perspektif orang Papua yang bukan hanya di depan layar, tapi di balik layar,” ujar Dani.
Bagi saya film Orpa adalah representasi lebih jujur soal kondisi Papua hari ini. Tanpa embel-embel politis atau hal-hal berat lain, film ini rasanya hanya menangkap apa yang memang rasanya benar-benar terjadi di Papua.
Dan, dari Denias hingga Orpa, hak atas pendidikan harus terus diperjuangkan.
.