Ombudsman Bali merespon masalah-masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Akhir tahun lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Bali menggelar pertemuan antar-pihak membahas isu-isu terkait layanan JKN. Isunya dari manajemen, layanan, hingga SDM.
“Pelayanan kesehatan yang berkembang, ada manfaatnya tetapi juga masih ada kekurangan,” kata Kepala ORI Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab membuka pertemuan.
Kegiatan coffee morning ala ORI ini mengundang rumah sakit, Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, puskesmas, dan lembaga non pemerintah yang memiliki fokus pada layanan publik. Pertemuan ini, kata Umar, untuk merangkum keluhan-keluhan para pihak terkait masalah JKN agar menemukan langkah-langkah peningkatan kualitas layanan.
Dua rumah sakit pemerintah yang hadir, RSUD Wangaya Denpasar dan RSUP Sanglah, memulai pertemuan dengan unek-unek. Mereka menjelaskan sejumlah masalah JKN dari perspektif manajemen rumah sakit menghadapi era JKN.
“JKN pro rakyat dan diminati masyarakat,” kata Made Maja Winaya, Direktur Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya. Namun, menurut Winaya, banyaknya pengguna JKN ini menjadi masalah baru, dalam penyesuaian pola tarif di rumah sakit.
Menurut Made Maja, RSUD Wangaya saat ini sudah mengikuti pola tarif Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). “Tujuan BLUD adalah peningkatan layanan,” katanya. Di sisi lain, tarif JKN saat ini di bawah pola tariff BLUD.
“Sistem paket cenderung menurunkan pelayanan. Hal mengkhawatirkan kalau semangat dokter sampai turun,” tambahnya.
Manajemen Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah lain lagi pengalamannya terkait masalah JKN. Pihak rumah sakit terbesar di Bali ini lebih mengupayakan penyesuaian layanan dengan pola tarif JKN. “Regulasi sudah berjalan, yang perlu dilihat sisi positif JKN,” kata dr. Ken Wirasandhi, Kepala Bidang Penunjang Medik RSUP Sanglah. Saat ini yang sudah dilakukan RSUP Sanglah adalah penyesuaian pelayanan mendekati efektivitas.
Menurut Ken, RSUP yang menjadi rujukan daerah Bali, NTB dan NTT ini memulai penyesuaian dengan mengubah panduan praktik klinik (PPK) berdasarkan acuan tarif paket. Mereka juga membuat clinical pathway, pelayanan dokter, farmasi, gizi menjadi satu kesatuan.
Ken mengakui memang ada yang tidak mungkin dilakukan untuk efisiensi, tetapi dia menjamin tidak akan mengurangi mutu. Keluhan lain terkait JKN yang disampaikan dr. Ken selain paket tarif yaitu, pemberian informasi dari BPJS Kesehatan yang kurang menyeluruh.
“Ketika sampai di pelayanan tingkat lanjut, pasien masih membutuhkan penjelasan lebih detail,” katanya.
Layanan Puskesmas
Sementara itu Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Denpasar menyampaikan tambahan pekerjaan yang harus mereka lakukan setelah adanya JKN. “Puskesmas harusnya fokus pada promotif dan preventif, tapi sekarang juga harus memberikan penjelasan kepada peserta JKN,” kata dr. Gusti Ayu Sri Yuniari, Kepala Bidang Pembinaan Pelayanan Kesehatan Dinkes Kota Denpasar.
Selain itu di Puskesmas juga ada masalah JKN terutama mengenai sistem kapitasi yang hanya menghitung pelayanan dalam gedung.
Pelayanan luar gedung yang dilakukan Puskesmas tidak diperhitungkan. Kemudian mengenai pengadaan obat formulasi nasional (fornas), menurutnya, membutuhkan waktu yang cukup lama. Sri Yuniari memberi contoh pengadaan salah satu jenis obat pada tahun 2016 yang baru bisa diinput dalam sistem setelah April 2016, kemudian bisa direalisasikan Agustus 2016 dan barang baru datang pada Desember 2016.
Lamanya pengadaan obat menjadi kendala pelayanan JKN di layanan primer (Puskesmas) pada umumnya. “Dokter di Puskesmas untuk keluhan sederhana misal sakit mata, obat tidak ada, diresepkan tidak bisa, dirujuk juga tidak boleh,” katanya.
Isu lainnya, menurutnya juga peraturan-peraturan baru BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara terlalu cepat. “Ibaratnya belum selesai baca, tapi sudah ada regulasi baru,” kata Yuniari.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali lebih bijak menanggapi masalah JKN ini. Menurutnya semua komponen dalam sistem JKN memang harus lebih bijak lagi. “Integrasi JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara, red) ke JKN mungkin akan lebih banyak keluhan,” kata I Made Suwitra, Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Suwitra menyadari dalam JKN banyak komponen yang terlibat.
Dia juga mengingatkan untuk tidak hanya menyalahkan pilar-pilar layanan JKN, tetapi harus imbang dengan sering mengingatkan hak dan kewajiban peserta. Dia menyebutkan data kepatuhan peserta di Bali. “Kepatuhan peserta hanya 64 persen, sementara dana BPJS 80 persen habis untuk pelayanan,” katanya.
Di samping itu Suwitra juga menyadari mengenai permasalahan obat yang mengacaukan sistem rujukan serta adanya penolakan karena kamar sesuai kelas kosong. Tetapi dengan optimis dia menekankan. “JKN tidak boleh berhenti, harus jalan terus dengan perbaikan-perbaikan,” ujarnya.
Dr. A.A Ayu Dewi Anjani Kepala Puskesmas IV Denpasar Selatan, mengeluhkan peserta JKN dari penerima bantuan iuran (PBI), yang biasa disebut peserta JKN-KIS. Menurutnya peserta JKN PBI seringkali menolak dirujuk.
Dia juga mengkhawatirkan para peserta JKBM setelah jaminan kesehatan daerah ini tidak berlaku lagi. “Masyarakat yang tidak siap, mau tidak mau harus membayar. Ini perlu didosialisasikan,” katanya.
Keluhan Publik
Dalam pertemuan ini hadir juga Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali. Putu Armaya, dari YLPK menanggapi keluhan yang sering diterima YLPK terkait pasien JKN yang ditolak di rumah sakit swasta. Menurut Armaya hal tersebut bisa disengketakan karena melanggar hak-hak konsumen. Armaya mempertanyakan penyelesaian pada pasien yang ditolak tersebut. Dia juga menyarankan untuk sosialisasi integrasi JKBM yang bisa dijangkau semua masyarakat.
Anton Muhajir dari Sloka Institute, selama ini sering berdiskusi dengan banyak pihak yang terlibat JKN. Termasuk kepada pengguna JKN. Menurut Anton banyak kelompok rentan seperti pengidap HIV dan AIDS maupun orang dengan skizofrenia (ODS) yang merasakan manfaat JKN. Namun, dari segi keterbukaan informasi publik, menurutnya belum ada kemauan dan kemampuan untuk memberi akses publik.
“Misalnya menanggapi keluahn via sosial media, membuka ketersediaan kamar realtime,” katanya. Anton juga menyayangkan BPJS Kesehatan yang tersentralisasi. “Seharusnya memungkinkan bisa melakukan improvisasi di daerah-daerah,” katanya.
Pada agenda tersebut BPJS Kesehatan diwakili dr. Dwi Diantari, Kepala Bagian Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan (MPKR) kota Denpasar. Dwi mendapatkan kesempatan berbicara paling terakhir sebelum diskusi sekaligus menanggapi masukan dan keluhan para peserta.
Merangkum tanggapan-tanggapan yang ada, Dwi Diantari mengakui dalam internal BPJS Kesehatan memang ada ketidakseimbangan antara peserta dan sumber daya manusia (SDM) yang ada.
Untuk menyiasati hal tersebut, dalam mengurangi kesenjangan pada kepesertaan digantikan dengan aplikasi meskipun masih sering ada gangguan. BPJS Kesehatan juga memiliki keterbatasan kewenangan terkait keluhan pengadaan obat.
Hal terakhir soal sosialisasi yang menurut beberapa peserta tidak efektif, menurutnya BPJS Kesehatan sudah melakukannya di berbagai media. Sebelum diskusi berakhir Dwi Diantari kembali menanyakan bagaimana memberikan sosialisasi yang efektif.
Dalam diskusi ada beberapa saran, yaitu sosialisasi berbasis banjar dan open data para peserta JKBM yang terintegrasi ke JKN. Hasil pertemuan hari itu memang tidak disimpulkan. Keluhan maupun pendapat dari para peserta tersebut menjadi masukan bagi Ombudsman yang bertanggung jawab untuk mengawasi layanan publik, termasuk di bidang kesehatan.
Pada akhir pertemuan itu perwakilan ORI Bali menandatangani Nota Kesepahaman terkait pelaksanaan Awasi Jaminan Kesehatan Nasional (AJAKAN) dengan Sloka Institute untuk memaksimalkan perhatian ORI terhadap layanan JKN. [b]