Keduanya menyentil isu aktual di Bali dalam esai.
Setelah melalui proses dan pergulatan panjang, sastrawan Oka Rusmini melahirkan anak-anak rohaninya, “Koplak” dan “Men Coblong”. Dua buku kembar ini dibedah pada Minggu (14/7/2019) di Bentara Budaya Bali (BBB).
Oka Rusmini menyebut kedua bukunya ini kembar buncing. Istilah ini merujuk pada anak kembar berbeda kelamin di Bali.
Buku “Koplak” dan “Men Coblong” diterbitkan bersamaan oleh Penerbit Grasindo (2019). Melalui buku “Men Coblong” Oka Rusmini menawarkan ragam bentuk tulisan baru, kreatif, semacam perpaduan antara kemampuan bertutur ala cerpen, argumentatif cerdas esai dan kepaduan tematik kolom.
Tokoh Men Coblong, seorang wanita paruh baya dengan seorang anak lelaki, menyerukan tanggapannya, kritik, serta bernada sindiran seputar sensitivitas terkait agama, budaya, politik, bahkan kehidupan sehari hari. Esai ini sebelumnya terbit di Bali Post, media tempat Oka bekerja, lalu dilanjut di BaleBengong sejak tahun lalu.
Adapun “Koplak” merupakan serial dengan tokoh utama I Putu Koplak, seorang lelaki koplak yang memandang beragam persoalan hidup secara karikatural. Tulisan ini terbit di Tatkala.
Jurnalis Anton Muhajir mengulas buku “Men Coblong”. Sastrawan Made Adnyana Ole memberikan bacaannya tentang “Koplak”. I Made Sujaya, dosen dan jurnalis, memandu diskusi.
Anton menyebutkan bahwa di tengah dominasi penulis laki-laki, Men Coblong hadir menawarkan sudut pandang ibu-ibu dan perempuan yang lebih feminim. Di tengah banjir informasi abal-abal, Men Coblong menyajikan cerita untuk menjadi refleksi, getir di dalam satire seraya menggugat fakta dalam balutan fiksi.
Kolom Men Coblong mulanya terbit di harian Bali Post sejak 2013 dan berhenti pada tahun 2017. Lalu sejak Januari 2018, tulisan-tulisan Men Coblong mulai “lahir kembali” di Balebengong.id.
Catatan-catatan Oka Rusmini dalam buku Men Coblong ini terkait hal-hal aktual. Beliau banyak membahas posisinya sebagai warga kota.
“Ini tetaplah kumpulan esai, kumpulan tulisan dan bukan sebuah buku (kajian) yang mendalam, namun masih tetap relevan,“ ungkap Anton Muhajir.
Koplak
Sejarah serial Koplak juga sejalan, ditulis dan diterbitkan pertama kali berupa cerpen di Bali Post Minggu pada 2016. Kemudian beralih ke tatkala.co pada 2018.
“Dari cerita yang ditulis itu, Oka tampak punya konsep amat jelas mengenai alasan cerita itu ditulis, dan alasan tokoh utamanya harus bernama Koplak,“ kata Made Adnyana Ole.
Koplak adalah seorang duda yang menjabat kepala desa, serta memiliki seorang anak gadis berusia 21 tahun yang berprofesi sebagai pengusaha muda. Tidak seperti kebanyakan penguasa lainnya yang cenderung sibuk dengan penampilan, Koplak hadir sebagai tokoh yang santun, jauh dari angkuh, serta hangat dan guyub sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di pedusunan.
Sebagai tokoh yang memimpin sebuah desa, Koplak tak lepas dari gunjingan perihal kehidupan kesehariannya, berikut kisah kasih istrinya yang telah meninggal, di tengah kegigihannya berjuang memajukan desanya.
Oka Rusmini menceritakan proses lahirnya dua anak kembar buncing ini. Masalah-masalah dan benturan-benturan dengan masyarakat Bali sendiri membuatnya menulis Men Coblong. Namun, setelah dia membuat Men Coblong, muncul lagi kritik, ‘memangnya hanya perempuan saja yang bisa menyelesaikan semua persoalan?’.
“Nah, dari sana kemudian lahirlah Koplak. Ia seorang laki-laki yang ditinggal mati istrinya ketika melahirkan putri semata wayang mereka, di situ saya ingin menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa menjadi feminis,“ ungkap Oka Rusmini.
Apresiasi
Oka Rusmini telah menulis puisi, novel ,esai dan cerita pendek sedari remaja. Ia memperoleh banyak penghargaan, antara lain: Penghargaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa , Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2003 dan 2012), Anugerah Sastra Tantular, Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali (2012). Southeast Asian (SEA) Write Award, dari pemerintah Thailand (2012) dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014).
Tahun 2017, ia terpilih sebagai Ikon Berprestasi Indonesia Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila kategori Seni dan Budaya dari Pemerintah Republik Indonesia. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Akar Pule (2012), Pandora (2008), Tempurung (2010), Saiban (2014), Men Coblong (2019), dan Koplak (2019) .
Turut memaknai diskusi buku ini ditampilkan pula pembacaan nukilan oleh Wayan Jengki Sunarta dan Ayu Winastri.
Peluncuran “Koplak” dan “Men Coblong” dihadiri pula sejumlah tokoh dan budayawan, di antaranya Pande Wayan Suteja Neka serta Wicaksono Adi yang memberi apresiasi atas kelahiran buku terkini Oka Rusmini.
Wicaksono Adi, penulis seni budaya dan seorang kurator, mengungkapkan bahwa kedua buku ini, Koplak dan Men Coblong, layak untuk dibaca. Melalui kedua buku tersebut, sang penulis sedang membuat komentar terhadap segala sesuatu yang terjadi baik di Bali maupun Indonesia umumnya, dengan membuat perspektif atau cara pendang yang berbeda.
“Di sini Oka menulis dengan mengangkat perspektif melihat suatu situasi dari atas. Jadi dia memandang persoalan secara netral, “ ungkap Wicaksono Adi. [b]