Tidak ada Nyepi tanpa Ogoh-ogoh di Bali.
Begitu pada Jumat pekan lalu, sehari menjelang Nyepi. Seluruh penjuru Bali diwarnai ogoh-ogoh. Patung dengan aneka wujud ini diarak di berbagai perempatan.
Namun, ogoh-ogoh sebenarnya tradisi baru di Bali.
“Ogoh-ogoh itu tidak diatur dalam ajaran Hindu. Tidak ada di dalam Kitab Weda. Jadi bisa disebut itu hanyalah tradisi umat Hindu di Bali,” tulis Mpu Jaya Prema Ananda, salah satu pendeta Hindu di Bali, menjawab pertanyaan saya lewat email.
Menurut Mpu Jaya Prema, tradisi ogoh-ogoh muncul karena pada saat Tawur Kesanga, sehari menjelang Nyepi, ada upacara mengharmoniskan jagat. Pada saat upacara tersebut, segala hal buruk harus dihilangkan, baik sifat manusia maupun hal buruk di alam. Sifat-sifat buruk itu dilambangkan sebagai setan (bhuta).
“Segala bhuta itu harus diusir terlebih dulu sebelum kita melakukan Brata Penyepian atau pantangan di hari Nyepi,” lanjut Jaya Prema.
Menurut mantan wartawan TEMPO itu, masyarakat Bali yang memang gemar berkesenian kemudian membuat simbol sebagai perwujudan setan. Lahirlah ogoh-ogoh. Semula, ogoh-ogoh hanya diletakkan di tempat dekat upacara untuk mengusir butha. Begitu selesai upacara, patung raksasa simbol setan itu dibiarkan begitu saja.
Kemudian, karena merasa capek membuat ogoh-ogoh, mulailah muncul ide kenapa tak diarak agar lebih meriah. Maka, ogoh-ogoh pun kemudian diarak mengelilingi tempat upacara. “Lama-lama, karena banyak yang senang, warga malah kemudian mengarak ogoh-ogoh di jalanan desa,” ujar Jaya Prema.
Dalam tradisi menjelang Nyepi saat ini, ogoh-ogoh memang diarak di jalan-jalan desa. Di Denpasar, hampir semua perempatan besar seperti di Catur Muka, perempatan Jalan Gatsu – Jalan Nangka, dan lainnya akan jadi pusat arak-arakan ogoh-ogoh.
Pada saat Pengrupukan, satu hari menjelang Nyepi, itulah ribuan warga akan turut menikmati pawai ogoh-ogoh. Suasana riuh rendah. Penuh massa baik penonton maupun para pengarak.
Kebersamaan
Pelan-pelan, dari semula hanya berwujud menyeramkan, ogoh-ogoh makin banyak bervariasi. Ada yang berwujud Upin dan Ipin, politisi, cewek kafe, hingga terakhir malah ada yang berwujud Pedanda atau tokoh agama Hindu.
Dari semula semata simbol spiritualitas, ogoh-ogoh bergeser maknanya untuk kreativitas dan solidaritas. Ini berlaku terutama bagi anak-anak muda banjar, kesatuan paling kecil secara adat di Bali.
Untuk membuat ogoh-ogoh memang perlu kreativitas dan kebersamaan.
Dua bulan sebelum Nyepi, biasanya anak-anak muda banjar mulai membuat ogoh-ogoh. Perlu waktu antara 1-2 bulan membuat patung raksasa ini.
Anggota Sekaa Teruna Teruni (STT), semacam Karang Taruna, di Banjar Gerenceng, Denpasar, misalnya, membuat ogoh-ogoh selama satu bulan. Prosesnya mulai dari membuat sketsa, kerangka, hingga penyelesaian akhir.
Nyoman Sanjaya, salah satu anggota STT Banjar Gerenceng, menceritakan, dulunya mereka membuat ogoh-ogoh dari bahan gabus (styrofoam). Bahan ini mudah dibentuk. “Hasilnya juga bisa lebih halus dan detail,” kata Sanjaya dua hari lalu.
Namun, penggunaan bahan gabus yang tak ramah lingkungan ini mendapat kritik dari beragam kalangan. Alasannya, bahan plastik justru mencemari udara saat dibakar. Menurut tradisi, ogoh-ogoh memang harus dibakar setelah diarak sebagai peleburan nafsu jahat. Pembakaran gabus inilah yang dianggap tak ramah lingkungan.
“Bahan ogoh-ogoh itu memang harus ramah lingkungan, karena selesai itu ‘kan dibakar,” kata Jaya Prema.
Beberapa desa di Bali sudah membuat aturan agar pembuatan ogoh-ogoh tak menggunakan gabus. Pemerintah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung malah sudah membuat larangan tersebut. Bagi anak-anak muda seperti Sanjaya, larangan itu justru lebih bagus. Sebab, mereka jadi lebih kreatif ketika membuat ogoh-ogoh. Pengerjaan juga bisa dilakukan secara bersama-sama.
“Kalau memakai bahan gabus, hanya satu dua orang yang bekerja karena mereka saja yang bisa. Kalau dengan bahan bambu kan semua anggota bisa terlibat,” ujarnya.
Keterlibatan anggota lain itu, misalnya, dengan membuat kerangka besi, menganyam bambu, dan mengecat. “Jadi lebih terasa kebersamaannya,” tambah Sanjaya.
Dijual
Seiring waktu, ogoh-ogoh juga bertambah fungsi lainnya. Saat ini, ogoh-ogoh makin mudah ditemukan dalam ukuran-ukuran kecil yang dijual untuk anak-anak. Dari benda bermakna spiritualitas dan solidaritas, ogoh-ogoh kini juga bertambah peran sebagai barang dagangan, komoditas.
Bisa jadi I Wayan Candra adalah pembuat ogoh-ogoh paling populer di Bali atau bahkan Indonesia. Dari bengkelnya di Jalan Sesetan, Denpasar, Candra menjual ogoh-ogohnya ke berbagai tempat, bahkan hingga Papua.
Dia menjual ogoh-ogoh dengan beragam ukuran dan harga. Ogoh-ogoh mini seukuran boneka Barbie dijual sekitar Rp 250 ribu. Ogoh-ogoh besar sekitar Rp 12 juta.
Candra pun membuat ogoh-ogoh tak hanya menjelang Nyepi tapi juga tiap tahun. Bagi pengrajin seperti Candra, ogoh-ogoh tak hanya melulu tentang spiritualitas dan kreativitas tapi juga komoditas.
Begitu pula bagi I Wayan Wasnawa, pengrajin ogoh-ogoh di Singapadu, Gianyar. Sudah lima tahun ini dia membuat usaha kerajinan ogoh-ogoh mini. Bukan sebagai sarana menjelang Nyepi tapi sebagai hiasan dan mainan anak-anak semata.
Dia memproduksi ogoh-ogoh itu di bengkelnya di tepi jalan Singapadu. Tiap hari dia membuat setidaknya 10 biji.
Menjelang Nyepi begini, dia mendapat pesanan minimal 500 biji. Ratusan ogoh-ogoh itu dia pajang di etalase bengkel sekaligus tokonya. Dengan warna-warna cerah dan wujud-wujud seram, ogoh-ogoh itu mudah sekali menarik mata tiap orang lewat.
“Tiap tahun pesanan bertambah, ini bisnis yang bagus,” kata Wasnawa.
Berjarak sekitar 20 meter di seberang jalan dari toko Wasnawa, warung lain juga menjual ogoh-ogoh serupa.
Setelah Nyepi begini, kadang-kadang masih ada pula ogoh-ogoh yang dibiarkan sebagai pajangan.
Namun, menurut Mpu Jaya Prema, hal semacam itu bisa termasuk sebagai penyimpangan. “Ogoh-ogoh malah dibiarkan selesai ritual dan dipajang. Ini menyimpang dari hakekat perayaan Nyepi,” ujar Mpu Jaya Prema.
Menurut Mpu Jaya Prema, sekarang ada “pembenaran”. Ogoh-ogoh tak lagi dilibatkan dalam ritual sehingga boleh dipajang selesai diarak. Dia tak menolak dan setuju saja, tetapi sebaiknya tidak dikaitkan dengan Nyepi atau ritual Tawur Kesanga.
“Jadi itu hanya ogoh-ogoh profan, mainan belaka, bukan sakral,” tegasnya. [b]