Oleh Anton Muhajir
Tinggal di desa, dengan HIV dalam tubuhnya, membuat hidup Ketut Sari (nama samaran), 25 tahun, jadi lebih complicated. Tak hanya harus berjuang dengan kemiskinan, dia juga harus mengurusi sindrom yang dialaminya.
Rumah Sari di salah satu dusun di Desa Datah, Kecamatan Abang, Karangasem berjarak sekitar 150 km dari Denpasar. Dari Denpasar perlu waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai tempat ini. Itu pun melalui jalan tak beraspal, berbatu dan naik turun. Tapi tiap dua minggu sekali, Sari harus ke Denpasar untuk berobat dan cek kesehatan rutin.
Suami Sari sudah meninggal enam bulan lalu karena AIDS. Setelah kematian suaminya, Sari baru tahu kalau dia positif HIV. Itu pun setelah dia terkena infeksi oportunistik seperti jamur mulut (candida), sakit di ulu hati, bahkan rambutnya mulai rontok. Setelah ikut Voluntary, Counseling, and Testing (VCT) di Rumah Sakit Wangaya Denpasar, Sari baru tahu kalau ada HIV dalam darahnya. Bahkan kondisinya sudah kritis akibat infeksi oportunistik.
“Mungkin suami saya yang menulari,” katanya tentang riwayat HIV di dalam tubuhnya. Dia mengaku tidak pernah melakukan perilaku berisiko seperti berhubungan seks dengan orang lain selain suami apalagi menggunakan jarum suntik secara bergantian layaknya injecting drug user (IDU).
Kini Sari tinggal dengan keluarganya sendiri, bukan di rumah suami. Sepeninggal suaminya, Sari kembali ke rumah orangtuanya sendiri meski secara adat dia sebelumnya sudah mepamit untuk tinggal di keluarga besar suaminya. “Kalau tidak ada suami saya lagi, ngapain saya di sana. Lebih baik sama orang tua sendiri yang bisa merawat saya,” kata Sari di rumahnya sekitar dua minggu lalu.
Rumah Sari mewakili umumnya warga miskin di Karangasem. Hanya berdinding bambu, beratap daun alang-alang, dan berlantai tanah. Ada satu kamar seukuran sekitar 5×4 meter persegi di mana dia tidur bersama ibunya.
Sehari-hari, dia membuat anyaman tikar kecil untuk sanggah yang dijual Rp 10.000 per 50 biji, dipotong biaya beli pandan. Sehari dia bisa dapat sekitar 10 anyaman. Dari penjualan anyaman tikar itu dia menghidupi keluarga. “Untuk makan sehari-hari saja sudah pas-pasan apalagi berobat,” tambahnya.
Sari belum minum ARV karena tingkat ketahanan tubuhnya masih bagus. Namun dia harus terapi SGPT untuk menjaga agar kondisi badannya tidak drop sehingga bisa terinfeksi penyakit oportunistik.
Tak hanya Sari yang mengalami susahnya mengakses layanan kesehatan. Wayan Wati (nama samaran), 24 tahun, warga Desa Duda Kecamatan Sibetan Karangasem pun tak jauh beda. Wati juga tertular HIV dari suaminya. Dia ketahuan positif HIV ketika akan melahirkan dan kondisi fisiknya sudah drop. Dia ikut Preventing Mother-to-Child Transmission (PMTCT) di RS Sanglah untuk mencegah penularan HIV dari dia ke anaknya.
Sekarang Wati ikut terapi ARV yang obatnya didapat dari VCT Sanglah. Untuk itu, dia harus mengambil ke Denpasar tiap bulan sekali. Suami Wati bekerja sebagai sopir truk pengangkut pasir dari Karangasem ke Denpasar. Tiap hari suaminya bolak-balik Karangasem – Denpasar bahkan sampai dua kali. “Karena suami sudah capek, jadi tidak bisa mengantar saya kalau mau ambil obat,” katanya.
Maka, Wati harus mengambil obat sendiri ke RS Sanglah. “Saya naik motor sama kakak yang menemani saya ke Badung,” kata Wati di rumahnya. Kadang-kadang Wati harus mengajak anak keduanya untuk periksa kesehatan di Denpasar. “Kami khawatir anak saya juga positif HIV,” katanya.
Wati dan Sari mungkin mewakili gambaran umum ODHA yang tinggal di pelosok Bali, jauh dari Denpasar. Mereka harus tetap berobat meski itu harus ke Denpasar yang berjarak sekitar 100 sampai 150 km. Alasan mereka sama, kenyamanan.
“Karena di sana (Wangaya) sudah kenal sejak awal. Kalau di Karangasem kan harus mulai dari pertama dulu. Takutnya malah ditanya macam-macam tentang penyakit saya. Apalagi di sana pasiennya sedikit dan campur. Saya takut nanti malah tetangga saya di rumah pada tahu tentang penyakit saya,” ujar Sari.
Koordinator Care, Support, and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali dr Tuti Parwati mengakui bahwa ODHA di daerah memang mengalami masalah untuk mendapatkan layanan kesehatan di daerah mereka. “Selain karena fasilitas belum lengkap juga karena faktor kenyamanan pasien. Mereka takut diketahui tetangga lalu mendapat stigma dan diskriminasi,” kata Tuti yang jadi profesor karena penelitiannya tentang HIV dan AIDS tersebut.
Untuk itu, menurut Tuti, KPA Bali sudah melakukan koordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS. “Karena LSM yang lebih banyak bergerak di lapangan,” katanya. Selain itu, tambahnya, KPA juga sudah melatih Puskesmas di daerah-daerah agar lebih paham penanganan pada ODHA.
Made Putri Stuti, Koordinator Dukungan di Yayasan Hatihati, mengatakan bahwa sebagian besar ODHA di daerah memang punya masalah untuk cek kesehatan di daerahnya masing-masing. Padahal, menurutnya, ODHA di daerah juga makin banyak saat ini. Yayasan Hatihati misalnya sekarang banyak mendampingi ODHA di daerah dari yang sebelumnya fokus di harm reduction pun sekarang mendampingi.
Menurut Putri, ODHA miskin punya masalah ganda. Selain susahmengakses layanan kesehatan, mereka juga punya masalah dengan kemiskinan sehingga susah untuk mendapat nutrisi tambahan. “Padahal sebagai ODHA yang rentan mendapat infeksi oportunistik, mereka harus mengonsumsi nutrisi yang cukup,” kata Putri.
Karena itu, Yayasan Hatihati misalnya bekerja sama dengan beberapa lembaga lain seperti Global Fund, Bali International Women Association (BIWA), dan Yayasan Kerti Praja juga memberikan bantuan susu pada ODHA seperti Sari dan Wati. [b]