“Pesanannya diterima tapi tak jelas datangnya. Kalau ditanya, obat tak ada..”
Dokter Sri Yuniari, dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar, mengatakan hal itu dalam diskusi refleksi layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Bali yang diadakan Ombudsman Perwakilan Bali Desember lalu.
dr Sri menceritakan pengalamannya mengenai proses pengadaan obat kebutuhan JKN saat diskusi itu. Menurutnya pesan melalui e-katalog prosesnya lama. Meskipun begitu, proses yang lama itu tidak bisa menjamin tersedianya obat yang dipesan. “Tidak bisa membuat perjanjian dengan principal,” katanya.
Sejak 2015 an lalu sudah mulai santer berita seringnya obat-obatan JKN kosong di layanan kesehatan. Dampaknya, peserta harus mengeluarkan biaya pribadi meskipun tidak disarankan oleh tenaga kesehatan yang melayani ataupun oleh apotek.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang dipublikasikan pada Desember 2016. Menurut riser itu dari 422 responden di 13 provinsi menunjukkan, 10 persen dari jumlah total responden mengeluarkan tambahan biaya di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Sebanyak 4 persen responden mengeluarkan biaya tambahan untuk obat di FKTP. Sementara, 31 persen jumlah total responden mengeluarkan biaya layanan di rumah sakit. Adapun 20 persen responden mengeluarkan biaya pribadi untuk obat.
Sebanyak 33 persen di antaranya dengan alasan obat tak tersedia di rumah sakit (RS), di samping banyak alasan lainnya.
Salah satu hal yang akan dilakukan oleh penyelenggara JKN adalah menggunakan pengawasan secara elektronik sebagai solusi. Pengawasan JKN ini sebenarnya bukan tugas BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara JKN melainkan tugas kementerian kesehatan sebagai pemegang regulasi JKN, termasuk membuat aturan mengenai obat-obatan ini.
Tidak disebutkan jenis obat yang tidak tersedia dalam penelitian tersebut. Hanya saja peserta sebagai konsumen yang membayar premi atau dibayarkan pemerintah seharusnya mendapatkan hak layanan yang sesuai.
“Polanya tidak bisa ditebak,” kata seorang dokter penyakit jiwa yang melayani salah satu layanan prolanis di Denpasar. Menurutnya kekosongan obat ini juga tidak bisa ditebak dari harganya. Ada obat yang mahal tapi malah tersedia, tetapi ada obat yang cenderung lebih murah tetapi kosong juga.
Hal-hal demikian bisa saja menimbulkan prasangka, terutama pada layanan yang berhubungan langsung dengan urusan obat. Kalau dulu dokter sering dicurigai main mata dengan industri farmasi, sekarang masih menjadi tanda tanya.
Undang-undang sistem jaminan sosial yang dijewantahkan salah satunya dalam jaminan kesehatan nasional dinantikan banyak orang sebagai harapan terputusnya rantai mafia obat yang memungkinkan pelayanan kesehatan terjangkau. Namun, memasuki tahun ketiga masih belum terlihat perubahannya.
Sistem obat yang menggunakan formulasi nasional tidak menyelesaikan masalah juga. Malah masyarakat umum hanya bisa menduga-duga. Masalahnya ada pada industri farmasi atau jangan-jangan layanan kesehatan tidak terampil dalam menyusun estimasi obat yang dibutuhkan.
Hal yang menjadi dampak obat kosong ini salah satunya sistem rujukan menjadi tidak sesuai konsep. Misalnya, peserta penyakit kronis yang harusnya dirujuk balik ke fasilitas kesehatan tingkat pertama tidak bisa dirujuk karena obat di layanan tingkat pertama kosong.
Ini tentu juga akan menjadi pemborosan oleh JKN yang harus membayarkan paket layanan pada rumah sakit, padahal sudah membayarkan kapitasi di FKTP.
Sebenarnya Kemenkes melalui Halo Kemenkes memfasilitasi untuk keluhan obat kosong ini. Namun, silakan coba saja berapa lama responnya. Mungkin memang menghimpun keluhan-keluhan yang bisa diakses terbuka oleh publik harus dimulai dari Anda. [b]