Berikut adalah sejumlah seruan bersama terkait pelaksanaan Nyepi tahun ini.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali menyampaikan pedoman pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1941 atau kalender masehi 2019 ini. Panduan ini disebarluaskan termasuk ke media sosial oleh PHDI Bali.
Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana dan majelis-majelis agama dan keagamaan di Bali menyatakan seruan bersama seperti tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya penyedia jasa transportasi laut, darat, dan udara tidak diperkenankan beroperasi selama Hari Raya Nyepi. Demikian juga lembaga penyiaran televisi dan radio. Penyedia jasa selular pun diharapkan mematikan data selulernya.
Seruan ini direspon Kemenkominfo dengan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No 3 tahun 2019. Seluruh penyelenggara telekomunikasi yang menyediakan akses internet di Bali mendukung seruan kecuali di obyek vital dan sarana darurat. Misalnya rumah sakit, kantor polisi, militer, BPBD, BMKG, Basrnas, dan lainnya.
Rangkaian Nyepi dimulai dengan Melis/Melasti/Mekiyis sampai 6 Maret yang pelaksanaannya disesuaikan dengan desa setempat.
Selanjutnya adalah upacara Tawur Kesanga yang dilakukan dengan sejumpah prosesi.
Pertama, perwakilan dari masing-masing desa/kecamatan datang ke Pura Besakih membawa perlengkapan persembahyanganuntuk mohon Nasi Tawur dan Tirtha Tawur untuk disebarkan dan dipercikkan di wilayah masing-masing.
Selanjutnya tiap desa menggunakan Upakara Tawur Agung dengan segala kelengkapannya. Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catuspata (perempatan utama) pada waktu tengai tepet (sekitar pukul 12.00 Wita).
Berlanjut sampai tingkat rumah tangga dengan sarana persembahyangan lebih sederhana. Misalnya menghaturkan Segehan Manca Warna 9 (sembilan) dengan olahan ayam brumbun, disertai tetabuhan tuak, arak, berem, dan air yang didapatkan dari desa setempat, dihaturkan ke hadapan Sang Bhuta Raja dan Sang Kala Raja.
Keramaian kemudian berpindah ke jalan-jalan, disebut Pangerupukan, saat ribuan ogoh-ogoh dari ukuran kecil sampai 6 meter diarak oleh anak-anak dan orang tua. Dilengkapi aapi (obor), bunyi-bunyian seperti baleganjur dan lainnya. Ngerupuk dilakukan dengan keliling desa, dan parade ogoh-ogoh ini bisa sampai tengah malam.
Hingga Kamis pagi, pukul 6, petugas keamanan tradisional (pecalang) sudah berjaga-jaga di tiap pemukiman dan jalan. Keriuhan Pangerupukan berganti dengan sunyi, sepi. Nyepi Sipeng dilaksanakan 24 jam sejak jam 06.00 Wita sampai dengan jam 06.00 Wita keesokan harinya, dengan melaksakan Catur Brata Penyepian.
Di antaranya Amati Gni, yaitu tidak menyalakan api/lampu termasuk api nafsu yang mengandung makna pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka. Amati Karya, tidak melakukan kegiatan fisik/kerja namun melakukan aktivitas rohani untuk refleksi diri. Amati Lelungan, tidak berpergian, dan Amati Lelanguan, tidak mengadakan hiburan/rekreasi yang bertujuan untuk bersenang-senang, melainkan tekun melatih batin.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali juga menyepakati agar penganut agama dan keyakinan lain menyesuaikan pelaksanaan Brata Penyepian seperti tidak ada bunyi pengeras suara misalnya saat Sholat dan tidak menyalakan lampu pada waktu malam hari. Dapat diberikan pengecualian bagi yang menderita atau sakit dan membutuhkan layanan untuk keselamatan. [b]