Teks dan Foto Astarini Ditha
Selain merayakan Nyepi menjelang tahun baru Saka, umat Hindu di dusun ini juga melaksanakan Nyepi lainnya.
Nyepi kedua itu dilaksanakan Sabtu lalu. Pada hari itu, Dusun Palaktiying, Desa Landih, Kecamatan Kintamani, Bangli tampak sepi dari aktivitas warganya. Hari itu memang dalam glosarium istilah perayaan umat Hindu ada dikenal Tumpek Wayang.
Ada beberapa bengkel, warung, semacam tempat reparasi truk dan tempat publik lainnya tutup sejak pagi hari. Yang membikin ganjil tempat-tempat itu dirintangi bambu sebilah atau du bilah mirip tangga. Di bambu yang sama diikatkan sampian, sejenis canang besar bulat berhias bunga gemitir kuning.
Setelah didekati ada satu rumah menyertakan kertas putih di bambu perintang itu. “Tamu sampunang masuk ada nyepi adat”. Aha, pertanda itu menjelaskan bahwa orang-orang di dusun sedang melakukan Nyepi, nyepi adat.
Kelimpungan mencari orang, akhirnya di posko pinggir jalan, ada sekitar 7 pemuda yang sedang nongkrong di sana. “Eits, jangan masuk,” kata mereka. Bambu perintang itulah ternyata merupakan batasannya. Mengingatkan siapa pun agar jangan berani-berani masuk ke pekarangan rumah si pemilik.
Bagi mereka yang masuk, meskipun dalam ketidaktahuan akan adanya larangan itu, tidaklah mendapat sanksi. Yang mendapat sanksi justru si pemilik rumah. “Ada dendanya itu, dulu dendanya berupa beras 200 kg,” jelas salah satu dari mereka.
Kata mereka, itu adalah momentum melakukan nyepi adat. Sedangkan Hari Raya Nyepi yang untuk memperingati pergantian tahun Caka Maret lalu juga mereka ikut rayakan. Di desa mereka hanya dusun Palaktiying yang melakukannya. Dusun sebelah, di Pengotan orang-orang tetap melakukan aktivitasnya. Bengkel, showroom motor kecil-kecilan, warung masih tetap buka. Begitu juga setelah Dusun Palaktiying.
Dalam nyepi adat itu mereka juga melakukan Brata Penyepian. “Sama sih juga ada pantangannya kayak Nyepi itu,” ujar mereka. Yang tampak paradoks adalah mereka sedang menggenggam ponsel dan ada gigitan apel di tangan salah satu mereka.
Tak banyak informasi yang bisa diperoleh dari para pemuda itu. Hingga mereka menyarankan untuk mendatangi para pecalang di dekat pura. Para pecalang berseragam merah dan berjumlah sekitar 5 orang itu ternyata sedang berkumpul di depan LPD setempat.
Mereka membenarkan perihal adanya Nyepi Adat itu. Masepen, begitu Pak Wayan salah satu dari mereka menyebutkan istilah nyepi adat mereka. Masepen sama halnya artinya dengan sepi.
“Nyepi adat ini dimundurkan karena banyak sekali ada odalan, salah satunya odalan di Pura Dalem Pingit,” ujar Pak Wayan. Upacara di Pura Dalem Pingit mereka rayakan satu tahun sekali.
Nyepi pada umumnya dilakukan pada sasih kasanga atau masa kesembilan dalam hitungan kalender Bali. Karena banyak odalan, pelaksanaanya diundur hingga telah masuk ke sasih kedasa, masa kesepuluh. Bila tidak berbenturan dengan banyak odalan mereka biasanya juga melaksanakan Nyepi ini di sasih kesanga.
“Biasanya mulai masuk ke sasih kesanga,” terang salah satu dari mereka.
Nyepi adat ini konon telah ada sejak leluhur mereka terdahulu. “Nanti kalau mau tanya info lengkapnya sama pak kepala desa saja,” terang Pak Wayan yang sehari-harinya bekerja di LPD setempat.
Nyepi adat ini ada yang mereka rayakan setiap satu tahun sekali dan ada yang dua tahun sekali. Dari keterangan mereka, perbedaannya terletak pada sesaji pecaruan yang dihaturkan. Juga pada waktu pelaksanaan nyepi adat itu.
“Ada yang namanya Ageng dan Alit. Kalau yang Ageng carunya memakai anak sapi, godel. Itu dilakukan 2 tahun sekali. Kalau yang Alit carunya memakai ayam dan itu dilakukan setahun sekali,” jelas salah satu dari mereka yang diiyakan oleh Pak Wayan. Waktu pelaksanaanya, bila Nyepi Adat yang alit hanya satu hari sedangkan Nyepi Adat yang Ageng selama tiga hari. “Bisa tiga hari itu tidak boleh menerima tamu,” jelas mereka.
Dalam pelaksanaan Nyepi Adat ini, dari cerita mereka ada saja keluarga yang kena sanksi. “Biasanya ada yang punya keluarga jauh, tidak tahu kalau di sini sedang merayakan nyepi adat, tidak boleh terima tamu,” jelas salah satu dari mereka. Tambahnya, dendanya tidak beras sebanyak 200 kg. “Itu dulu, sekarang lebih ke arah diuangkan”, ujar pecalang muda lainnya. Menurutnya, meskipun nilai materinya tidak seberapa tapi sanksinya lebih kepada perasaan malu. “Itu khan lebih ke sekalanya,” tambahnya.
Adapun sampian berhias bunga gemitir itu merupakan bekas banten yang dinamakan banten tegenan. “Karena dibawanya ditegen, dipikul dengan bambu,” jelas Pak Wayan. Banten Tegenan ini dibuat dan dibawa ke pura oleh kaum laki-laki. Sedangkan wanitanya seperti tradisi umumnya, membawa banten gebogan yang disuun di kepala. Banten tegenan ini berisi buah-buahan dan tipat. Setelah dihaturkan sampian pada banten tegenan ini barulah diikatkan di bambu perintang yang diletakkan di depan pekarangan rumah.
Masyarakat Hindu di Bali memang terkenal dengan ragam tradisi dan ritualnya yang unik. Nyepi yang umumnya dirayakan hanya berpantangan dengan catur brata tanpa atribut apapun, di Dusun Palaktiying ini selain punya hari Nyepi Adat tersendiri mereka juga menambahkan atribut bambu perintang di pekarangan rumah masing-masing. [b]
suksema dah muat tentang nyepi adat Palaktiying, wlapun penulisannya belum pas dg kenyataan, contohnya alamat masih salah.., by Warga Palaktiying