Peringatan May Day atau hari buruh internasional tiap 1 Mei selalu ada setiap tahun. Berbagai belahan dunia merayakan May Day dengan menyalurkan aspirasi. Misalnya di Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja selalu masuk daftar pertama tuntutan para buruh. Seperti yang diungkapkan I Ketut Gede Citarjana Yudi Astera, eks pekerja pariwisata pada salah satu hotel di Bali. “Terbitnya Omnibus Law dan PP 35 dibawahnya bagi kami itu adalah produk undang-undang gagal,” ujarnya.
Bukan tanpa soal Yudi berkelakar begitu. Selama bergabung pada serikat pekerja, Yudi dan rekan-rekannya melihat UU Cipta Kerja tidak mengatur hak-hak buruh dengan adil. Seperti uang pensiun yang jauh menurun serta upah minimum pekerja (UMP) pengawasannya tidak jelas.
Berdasarkan riset Komnas Perempuan, UU Cipta Kerja pada Pasal 88, Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E yang mengakui upah satuan waktu dan/atau upah satuan hasil. Ketentuan itu berpotensi menurunkan standar pelindungan upah yang sudah ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan.
Ketentuan upah satuan waktu dan/atau satuan hasil juga berpotensi memunculkan status kerja baru yang sangat fleksibel sebagai pekerja harian lepas dan/atau pekerja borongan. Juga, berpeluang untuk terbentuknya pengupahan yang sangat fleksibel. Fleksibilitas ini berpeluang jadi lubang dalam model relasi kerja harian dan borongan.
Risiko terbesar akan diterima perempuan pekerja karena akan kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasuk cuti dan tunjangan lainnya terkait hak maternitasnya. Ketentuan lancung lainnya pada Pasal 92 UU Cipta Kerja menetapkan struktur dan skala pengupahan didasarkan pada kemampuan perusahaan dan produktivitas, bukan pada pekerjanya. Kondisi ini akan berpotensi pada situasi pengupahan yang sangat fleksibel dan jauh kelayakan.
Kekhawatiran Yudi dan buruh lainnya yang berdemonstrasi di depan Kantor Gubernur Bali termasuk soal PHK. Ia mengungkapkan UU Cipta Kerja memudahkan perusahaan melakukan PHK, dulu PHK diperbolehkan jika perusahaan pailit. Namun, sekarang ketentuan yang berlaku PHK diperbolehkan jika pengusaha merugi. “Kalau sekarang rugi saja pengusaha, dengan undang-undang Omnibus Law sudah bisa melakukan PHK. Artinya kekuatan buruh semakin melemah,” jelasnya lantang.
Melemahkan Hak Pekerja Perempuan
Tak hanya melemahkan hak-hak pekerja secara holistik, menurut A. A Sagung Rat Mudiyani UU Cipta Kerja melemahkan hak pekerja perempuan. “Saya menagih hak-hak karena banyak buruh perempuan tidak diakomodasi haknya seperti cuti haid, yang kerja 8 jam jadi 12 jam,” jelas Sagung sebagai Dewan Penasihak Serikat Pekerja Mandiri di Bali. Selain itu, ruang istirahat untuk ibu hamil dan menyusui belum sepenuhnya tersedia.
Komnas Perempuan mencatat, UU Cipta Kerja masih mengecualikan pelindungan terhadap pekerja sektor informal yang paling banyak diampu oleh perempuan. Lebih jauh, tidak ada kemajuan dalam upaya peningkatan pelindungan hak maternitas yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Abainya pelindungan berimplikasi pada hambatan partisipasi angkatan kerja perempuan karena tidak dibarengi dengan daya dukung dari lingkungan sosial dan tempat kerja.
Hal-hal substansial yang sejatinya perlu dimuat dalam regulasi sapu jagat ini tidak dimuat. Seperti pembinaan karir perempuan pekerja yang tidak diakomodir. Tak hanya itu, langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan yang rentan dialami pekerja perempuan, justru belum diatur.
Beberapa hal yang disorot termasuk jam kerja panjang, diskriminasi terhadap pekerja disabilitas, dan potensi kemunduran pelindungan pekerja migran Indonesia. Eksploitasi tenaga kerja dengan jam kerja panjang nan fleksibel, rentan dialami pekerja secara general dan magang.
Demonstrasi yang mewadahi serikat pekerja di Bali dan mahasiswa intra maupun ekstra kampus, merangkum 10 tuntutan dalam aksi hari buruh, diantaranya sebagai berikut
1. Cabut Omnibus Law Cipta Kerja (UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang), ganti dengan UU yang baru yang memihak pada keadilan dan kesejahteraan Rakyat;
2. Lakukan evaluasi kinerja Pengawas Ketenagakerjaan agar tegas dan berani dalam melakukan penindakan atas pelanggaran aturan ketenagakerjaan;
3. Hapus sistem kerja kontrak, outsourcing, dan sistem pemagangan yang menghilangkan dan mengeksploitasi pemuda mahasiswa;
4. Naikan upah buruh
5. Hentikan eksploitasi di tempat kerja,serta penuhin K3 ( keamanan,dan keselamatan kerja dan berikan jaminan sosial bagi seluruh pekerja;
6. Menindak tegas tenaga kerja asing ilegal;
7. Berikan perlindungan dan pemenuhan hak -hak pekerja Perempuan dalam bentuk hak maternitas dan perlindungan kekerasan dari kekerasan seksual di tempat kerja;
8. Segera sahkan RUU PPRT
9. Turunkan Harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat;
10. Hentikan Komersialisasi,privatisasi dan liberalisasi Pendidikan yang hanya bertujuan untuk menciptakan buruh upah murah.
Gimana para buruh? Sudahkah kita sejahtera?