Diskusi tentang pengembangan suatu wilayah pariwisata yang ideal tak pernah berujung.
Bisa panjang dan melelahkan. Satu pihak menginginkan wilayah tetap lestari budayanya, terjaga alam dan vibrasi spiritnya, serta tetap mempesona lautnya.
Adapun pihak lain berpikir agak berbeda. Kelompok yang berpikir ideal seperti ini adalah kelompok idealis yang tidak rela daerahnya tergerus oleh dampak negatif pariwisata.
Tanpa dipungkiri pariwisata banyak membawa dampak baik yang juga diidam-idamkan sebagian orang lain. Pariwisata membawa gemerincing dolar dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu pengembangan pariwisata akan dibarengi pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik dan air yang sekaligus untuk masyarakat sekitarnya.
Kelompok-kelompok yang menyetujui konsep pariwisata sebagai penumbuh ekonomi adalah mereka yang menganggap pariwisata dewa penolong penurun angka kemiskinan. Mereka berpikir realistis dan oportunis (menangkap peluang).
Antara kelompok idealis dan realistis ini ada polarisasi pemikiran. Biasanya bertentangan satu sama lain yang biasanya disebuat sebuah paradoks. Inilah dualitas kuno.
Kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri setiap pengembangan wilayah pariwisata pasti akan menimbulkan patologi (penyakit) pariwisata. Mengutip pernyataan Profesor I Wayan Geria dari Universitas Udayana (Unud), pariwisata pasti menimbulkan berbagai masalah.
Menurut Prof Geria, masalah itu misalnya pariwisata akan menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan, kualitas seni menurun karena berorientasi turis, kapiltalistik (penguasan daerah oleh pemodal), tersisihnya masyarakat lokal, perang komisi, kemacetan, harga-harga semakin mahal karena mengacu touris, kerentanan masalah sosial, meningkatnya kriminalitas dan lain-lain.
Demikian pun masalah pengembangan Nusa Penida sebagai destinasi pariwisata. Perdebatan tentang bagaiamana meminimalkan dampak negatif pariwisata di pulau yang sedang menggeliat pariwisatanya ini mungkin sudah ribuan kali didiskusikan.
Demikian pun saya. Misalnya dengan Direktur Friends of the National Parks Foundation Bali Bayu Wirayudha yang getol mengembangkan wisata lingkungan atau eco tourism di Nusa Penida ini.
Pertanyaan saya hanya satu pada Bayu, “Adakah suatu tempat ideal yang telah mengembangkan pariwisata tapi dampak negatifnya seminimal mungkin?”
Bayu menjawab ada tiga tempat yang mampu meminmalkan itu yaitu di Suku Baduy Jawa Barat, Tenganan Pegringsingan, dan suatu kawasan Kuil Budha di Thailand.
Menilik ketiga tempat itu baik di Baduy, Tenganan Pegrisingan dan kawasan kuil budha di Thailand, proteksi dampak negatif pariwisata kuat karena adanya persatuan masyarakat yang sama di sana untuk tetap menjaga budaya dan alamnya.
“Apakah Nusa Penida bisa seperti itu dengan karakter masyarakatnya?” saya lanjut bertanya.
Bayu terdiam tidak menjawab.
Tulisan ini tentunya ingin mengkitik diri kita sebagai masyarakat Nusa Penida sendiri. Apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan untuk meminimalkan dampak negatif pariwisata? Kita tidak boleh hanya diam ataupun mengkritik tanpa berbuat apa-apa. Karena diam dan mengkritik tanpa solusi tidak akan menghasilkan apa-apa.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan sejatinya telah memiliki instrumen untuk menangkal itu. Semisal Perda tata ruang, perda sampah, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan perangkat regulasi lainnya. Dalam setiap pembagunan Resort atau hotel hal itu dilakukan.
Tetapi semua itu tidak serta merta bisa menjawab persoalan dan dampak negatif pariwisata. Karena ketidak dispilinan warga (kita), masalah akan muncul.
Misalnya masalah sampah saja baru-baru ini. Beredar foto-foto sampah yang berserakan di kawasan Pasih Hug. Peristiwa ini cukup membuat kita malu sebagai pemilik pulau ini. Selain itu misalnya pemerintah tidak ada regulasi yang menyatakan tidak boleh menjual tanah sendiri atau yang bersertifikat.
Diskusi tentang meminimalkan dampak negatif pariwisata juga pernah saya lakukan dengan Made Iwan Dewantama. Ia adalah manager Conservation International Indonesia dan salah satu inisiator dijadikan Gunung Batur dan Subak sebagai warisan budaya dunia UNESCO. Iwan
Iwan Dewantama mengatakan bahwa dalam pengembangan suatu wilayah semacam Nusa Penida harusnya tidak saja mengandalkan design engineering detail (DED). Itu kan gambar atau design teknisnya saja.
Mestinya, menurut Iwan, pemerintah juga memikirkan tantang membuat pola perencanaan dengan design social detail (DSD). DSD dibuat dengan maksud agar bisa diproyeksikan atau diperkirakan bagaiamana dampak sosial bila suatu wilayah dikembangkan pariwisatanya. Dari proyeksi tersebut bisa dibuat kebijakan-kebijakan preventif atau pencegahan.
Dari Bayu Wirayudha dan Iwan Dewantama didapat role model dan pola perencanaan DSD. Tinggal bagaiamana pemerintah dan masyarakat bisa mengaplikasikannya dalam awig-awig di masyarakat dan regulasi pemerintah.
Harapannya Nusa Penida menjadi the real paradise yang berkelanjutan bukan parah dise atau tempat yang parah masalahnya seperti kekhawatiran beberapa pihak. Atau Anda punya ide atau usul agar Nusa Penida tetap menjadi paradise? [b]