Sebutlah nama Bali, maka sebagian besar orang langsung ingat gemerlap pariwisata.
Bali punya banyak tempat mempesona. Tiga nama paling populer pasti Kuta, Ubud, dan Nusa Dua. Ketiganya bisa mewakili Bali.
Kuta untuk anak-anak muda yang suka pantai dan pesta dengan dana hemat. Ubud mewakili kelompok yang sudah selesai dengan urusan duniawi dan ingin menikmati spiritualitas. Adapun Nusa Dua tentu untuk kalangan kelas atas atau konferensi internasional.
Tentu saja Bali masih punya banyak lagi tempat menarik dan cantik. Tapi, Bali pun banyak sisi-sisi lain yang tenggelam di antara gemerlap pariwisata. Nusa Penida hanya salah satunya.
Nusa Penida merupakan pulau terpisah dari Bali daratan. Bersama dua pulau lain, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, mereka membentuk kecamatan tersendiri di Kabupaten Klungkung.
Perjalanan ke Nusa Penida bisa dilakukan lewat beberapa jalur seperti Sanur di Denpasar, Kusamba di Klungkung, atau Padang Bai di Karangasem.
Terpisah oleh Selat Badung di sisi tenggara Bali, pulau seluas 20.284 hektar ini seperti tenggelam di antara gemerlap pariwisata Bali selatan. Nusa Penida masih identik sebagai daerah tertinggal ketika Bali daratan makin menjadi ikon pariwisata nasional dan bahkan global.
“Begitulah nasib kami di Nusa Penida, dilupakan pemerintah di Bali daratan,” kata Wayan Sukadana, Ketua Yayasan Nusa Penida.
Pulau Bandit
Ketertinggalan Nusa Penida ini bisa dilacak sejak zaman bahuela. Secara historis Nusa Penida telanjur dikenal sebagai “the others” oleh Bali daratan.
Arkeolog Jerman Karl Helbig yang melakukan perjalanan ke Nusa Penida pada tahun 1939 menceritakan bahwa pada saat itu, Nusa Penida sudah dikenal sebagai tempat pembuangan para pembangkang. Mereka yang tidak patuh pada raja atau dianggap bersalah oleh masyarakat umum akan dibuang ke pulau ini.
Menurut Helbig, jauh sebelumnya, Raja Klungkung yang menguasai seluruh Bali pun menggunakan Nusa Penida sebagai tempat para pesakitan. Tak hanya pelaku kriminal tapi juga warga yang tak bisa membayar pajak, lawan politik, hingga korban sistem adat.
“Sejak zaman itu, Nusa Penida sudah dikenal sebagai Pulau Bandit,” tulis Helbig.
Hingga saat ini, menurut peneliti kelahiran Nusa Penida Dewa Keta, stigma Bali daratan terhadap Nusa Penida tak banyak berubah. Warga Nusa Penida, misalnya, masih menyebut Bali daratan sebagai Bali kaja (utara).
“Istilah kaja biasanya disandingkan dengan istilah kelod sebagaimana orang-orang Bali daratan menyebut Nusa Penida,” kata Keta.
Menurut Keta, kaja kelod atau utara selatan ini tak sekadar penunjuk arah mata angin tapi juga menunjukkan relasi kuasa. Istilah kaja-kelod sendiri, dia melanjutkan, bisa disandingkan dengan istilah baik-buruk. Istilah yang ambigu dalam konsep masyarakat Bali secara umum.
“Jika ditarik kembali pada hubungan Nusa Penida dan Bali daratan, maka Bali daratan seolah-olah merepresentasikan kebaikan dan sebaliknya dengan Nusa Penida,” ujar Keta.
Dampaknya, pembangunan di Nusa Penida pun dinomorsekiankan oleh Bali daratan.
Memang Dilupakan
Made Suardana, warga Nusa Penida, menyatakan pulau kelahirannya memang dilupakan pemerintah Bali. “Meskipun sudah berganti-ganti Bupati (Klungkung) atau Gubernur (Bali), pembangunan Nusa Penida ya segitu saja,” kata Suardana yang pernah kerja di kapal pesiar tersebut.
Suardana menambahkan tidak diperhatikannya Nusa Penida bisa terlihat dari beberapa hal seperti jalan, transportasi, dan pendidikan.
Secara umum, jalan raya di Nusa Penida memang masih rusak. Jalan lingkar yang lebarnya hanya cukup untuk dua mobil tersebut berlubang di sana sini. Sebagian sudah bagus hanya di dekat pantai. Begitu masuk pedalaman, jalan kembali bergelombang karena rusak dan berlubang.
Sukadana juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, sekitar 65 persen jalan di Kabupaten Klungkung berada di Nusa Penida. “Ironisnya sebagian besar jalan di pulau kami justru rusak parah tanpa perhatian pemerintah,” ujarnya.
Dari sisi transportasi pun sama saja. Hingga saat ini belum ada dermaga yang dibangun di Nusa Penida. Kapal-kapal penghubung utama pulau ini dengan Bali daratan hanya bersandar di pantai. Tidak ada dermaga atau pelabuhan layaknya di Pelabuhan Benoa, Padang Bai, atau Gilimanuk.
“Parahnya jika mau ke Bali lewat Padang Bai, feri dari Nusa Penida harus mengalah kalau mau bersandar. Perjalanan ke Padang Bai hanya satu jam tapi kami harus antre 3-4 jam karena belum dikasih jatah menyandar,” Suardana bercerita.
Karena itulah, para warga Nusa Penida berharap agar pemerintah Bali maupun Klungkung memberikan perhatian semestinya terhadap pulau mereka. Misalnya dengan memperbaiki jalan lingkar Nusa Penida dan memeratakan pembangunan agar ekonomi warga bisa berkembang. [b]