Hari ini dunia memperingati Hari Pangan Sedunia.
Peringatan tersebut dilakukan tiap 16 Oktober, sesuai hari lahir Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Tujuannya untuk mengingatkan masih banyak kelaparan dan kemiskinan di dunia.
Lalu, bagaimana kedaulatan pangan di Nusa Penida, salah satu pulau kering di Kabupaten Klungkung, Bali?
Nusa Penida memiliki curah hujan minim. Tanahnya berbatu kapur. Maka, tanaman yang bisa tumbuh adalah tanaman-tanaman di lahan kering. Misalnya jagung, ketela pohon, kacang-kacangan dan palawija lainnya.
Mulanya masyarakat Nusa Penida sebelum tahun 2000-an sebagian besar adalah petani. Selebihnya di pesisir laut masyarakat membudidayakan rumput laut dan sebagai nelayan tradisional.
Untuk bahan pangan mereka membudidayakan ketela pohon (gayot), jagung, kacang-kacangan. Itu sebagai tanaman musiman menurut siklus datangnya air hujan.
Namun belakangan seiring perkembangan, masyarakat beralih ke sektor jasa. Ada yang masih bertani dan beternak jumlahnya jauh berkurang.
Masyarakat Nusa Penida Memilih menjadi pekerja bangunan, membuat ukiran dari batu kapur, bekerja dengan urbanisasi ke kota Denpasar dan sekitarnya.
Lahan yang semula ditanami jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan kini ditumbuhi semak-semak, walaupun ada sebagian warga yang memanfaatkannnya dengan menanami pohon jati yang serentak tahun 2004 dengan program Gerhan.
Kondisi ini membuat Nusa Penida secara ketahanan pangan lemah. Beras, telur dan kebutuhan pokok lainnya didatangkan dari daratan Bali.
Kita bisa lihat di pelabuhan tradisional Kusamba dan Dermaga Padang Bay barang-barang yang didistribusikan ke Nusa Penida jumlahnya banyak menumpuk.
Situasi inilah menyebabkan masyarakat Nusa Penida harus menerima harga pangan yang lebih mahal dibandingkan Bali daratan. Karena harus ditambah ongkos penyeberangan laut.
Makan Singkong
Beberapa masyarakat memilih opsi lain. Walaupun tidak membudidayakan singkong atau jagung mereka membeli singkong dari desa lain untuk menekan harga pangan yang mahal.
Alasan lainnya yang membeli singkong adalah mengonsumsi beras yang terus menerus menyebabkan jenuh, mereka ingin menikmati karbohidrat dari ketela pohon Nusa Penida yang rasanya legit . Adapula yang menanak beras dan ketela pohon di campur.
I Made Artawan dari Br. Gepuh membawa satu pickup penuh ketela pohon di dalam kampil. “Biasanya setiap tiga hari sekali saya bawa satu piap gayot. Habis, harganya per kampil Rp. 35.000,-“, ujat Artawan.
Sementara itu warga sekitar ditanya alasan membeli singkong selain untuk berhemat juga akan ditanak dengan beras, rasanya enak. Mereka mengaku bosan mengkonsumsi beras. [b]