Sebagai manusia, saya butuh minum air untuk hidup. Walaupun terkadang, saya tidak mengisi kembali gelas saya yang begitu sedikit berisi air putih sebab saya tidak merasa haus. Padahal, setidaknya saya perlu minum kurang lebih dua liter air dalam sehari. Itu adalah jumlah yang cukup banyak bagi saya yang tidak begitu sering merasa haus.
Saya pikir saya cukup minum karena jarang merasa haus, padahal minum air putih tidaklah perlu menunggu haus. Semestinya saya selalu mencoba mengisi gelas saya, tetapi kadang perasaan cukup membuat saya berhenti untuk mengisi, bahkan kadang dalam waktu yang cukup lama. Perasaan “cukup” ternyata bisa berdampak buruk, sebab mungkin kebutuhan terhadap sesuatu bisa jadi lebih dari yang saya anggap cukup.
Mendengarkan karya-karya Man Angga dan Kupit (juga Cok Gus) sebagai Nosstress seringkali mengingatkan saya pada segelas air putih. Saya perlu mengisinya untuk minum, walaupun saya belum merasa haus. Karya-karya Nosstress seringkali membuat saya berpikir bahwa apa yang saya miliki saat ini, belumlah cukup. Saya perlu terus belajar memahami sekitar, menafsir keadaan, untuk menjadi seseorang yang sekiranya tak hanya berporos sepenuhnya pada diri sendiri; untuk tidak “penting iba”.
Istirahat (2021), serupa dengan album Perspektif Bodoh (2012), Perspektif Bodoh II (2014), dan Ini Bukan Nosstress (2017), adalah kumpulan lagu-lagu yang (terdengar) sederhana secara liris dan musik, tetapi reflektif secara makna. Album yang berisikan empat belas nomor ini memasuki telinga saya dengan sahaja bersama suara petikan gitar, tetapi saya bisa makan waktu yang cukup panjang untuk memikirkannya. Seperti yang saya sempat sebut di ulasan saya untuk pertunjukan Teater Kalangan, karya seni yang baik, setidaknya bagi saya, salah satunya adalah yang membuat penikmatnya berpikir dan resah. Istirahat tentu merupakan salah satunya, setidaknya menurut saya.
Sulur hijau
Ada sulur berwarna hijau yang selalu merambat di antara karya-karya Nosstress, termasuk di dalamnya Istirahat: ajakan untuk menghargai alam dan sesama manusia. Terkesan sepele memang, tetapi kenyataannya memang tidak sesederhana itu. Seperti kata lagu “PPKN” yang mengingatkan kita bahwa apa-apa yang disuarakan Nosstress sesungguhnya adalah sesuatu yang esensial, sudah diajarkan oleh guru PPKN kita di bangku sekolah. Begitu pula nomor “Adek” dan “Owa Kecil” yang liriknya mengingatkan petuah-petuah dari ayah saya ketika saya masih kecil. Sesungguhnya kita perlu saling memberi kesempatan bagi sesama manusia, sesama makhluk hidup.
Lantas sampai mana batas kita untuk memberikan kesempatan kepada lainnya? Pada nomor yang cukup jenaka tapi begitu nyata, “Kanan Kiri”, sepertinya kita sudah terlalu banyak memberi kesempatan kepada mereka yang justru memanfaatkan kita. Mungkin kita perlu berpikir bersama, seperti yang terlagukan dengan cukup sendu oleh “Mari Pikir”. Mungkin ada penindasan yang tidak kasat mata terjadi pada kita, sebagaimana yang kita lakukan secara tak sadar pada hewan (padahal manusia juga hewan, kan). Nomor “Si Kancil” yang menampilkan Rara Sekar juga mengingatkan kita akan hal ini.
Manusia tentu bersisian dengan berbagai perasaan, misalnya perasaan sedih akan perpisahan yang pada akhirnya mengajarkan kita untuk ikhlas. “Kandas II” sepertinya sudah begitu gamblang menunjukkan ini, ya?
Apa masih boleh jadi sahabat senjamu?
Saya akui “Kopi, Senja, dan Logika”, laiknya “Oh My God”, begitu menyenangkan hati saya. Sebab sebagai orang yang tidak bisa ngopi (sekarang sedang belajar), lagu ini seolah mewakili saya dengan tepat. Kadang ada perasaan “tertinggal” ketika saya satu-satunya orang yang minum teh atau susu di dalam lingkaran yang meminum kopi. Ajakan ngopi pun sudah terlalu lazim digunakan sebagai undangan untuk ngobrol panjang, santai ataupun serius. Ajakan ngeteh jarang saya temui, walaupun akhir-akhir ini kawan-kawan saya lebih perhatian dengan kekurangmampuan saya meminum kopi (“Ngeteh yuk, Ran?”).
Akan tetapi, “Kopi, Senja, dan Logika” bagi saya tak cuma berkisah tentang seorang yang bukan anak kopi, ingin bergabung bersama anak kopi dan senja. Bagian “logika” dalam lagu ini justru membuat makna ngopi dan bersenja gurau semakin menarik. Kita bisa suka senja jika kita sudah cukup makan siang, dan yakin bahwa makan malam akan tersaji. Kita boleh suka hujan, ketika dapat berteduh dan menghangatkan diri. Betapa kita bisa menyukai sesuatu jika ada suatu prakondisi dan kondisi yang memungkinkan kita untuk menyukainya. Jika kita punya keistimewaan dalam memiliki tempat bernaung dan kepastian mengisi perut, tentu kita dapat memandang hidup dengan lebih indah.
Senja bisa menjadi waktu yang paling dibenci karena bagi sebagian orang, hari sudah ¾ waktu berjalan, dan barang-barang dagangan belum juga laku. Lalu bisa makan apa hari ini? Hujan dapat pula menjadi situasi yang perlu dihardik sebab bagi sebagian orang, air dapat merembes masuk di sela-sela atap, lalu membuat becek, bahkan banjir pijakan mereka.
Ah, betapa nikmatnya menikmati senja dan hujan, ditemani segelas kopi. Reff lagu ini kemudian ingin mengetuk kenikmatan itu sejenak, “Sayang ku enggak bisa ngopi/apa masih boleh jadi sahabat senjamu?” Hal-hal yang berbeda atau kerap luput dalam pemikiran atau perbincangan kita, salah satunya tentang mereka yang tak bisa menikmati senja dan hujan, bolehkah diizinkan untuk hadir di sela-sela kenyamanan kita? Bolehkah kita tak hanya berempati, tapi sedikit-sedikit berpikir bagaimana senja dan hujan yang sama bisa dimaknai sepenuhnya berbeda oleh orang lain? Bolehkah untuk setidaknya ikut merasa sedikit tidak nyaman?
Bu Darmi kita
Album Istirahat menjadi semakin lengkap karena turut membahas isu perempuan?ini poin berbeda yang juga membahagiakan saya dari album ini, dibanding album lainnya. “Bu Darmi” dengan sangat manis menceritakan pengalaman hidup Bu Darmi?saking manisnya, ia justru begitu nyelekit.
Jika kita lahir dan besar di keluarga Hindu-Bali di Bali, maka Bu Darmi adalah para ibu atau perempuan-perempuan dewasa yang kita biasa temukan sehari-hari. Bukan rahasia lagi jika para perempuan menjadi korban (secara terselubung sekaligus terang-terangan) dari sistem patriarki di Bali. Bukan rahasia pula bahwa kisah sedih ini sudah menjadi biasa karena kita menutup (atau ditutup?) mata, seperti nyanyian Man Angga di awal lagu.
Lagu ini menohok sebab liriknya menjelaskan suatu masalah, lalu bagaimana Bu Darmi mencoba untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentang sulitnya memutar otak untuk menanggung biaya upacara adat-keagamaan dengan uang yang pas-pasan, memasak pas-pasan untuk keluarga yang karenanya juga begitu berjuang untuk tetap harmonis. Belum pula sang suami yang sibuk sabung ayam dan menjadikan Bu Darmi sebagai bulan-bulanan atas kekalahannya. Betapa getirnya menjadi perempuan di Bali, betapa melelahkannya. Ia adalah sumber sekaligus muara; tempat bersakit-sakit dahulu untuk menampung segalanya di akhir, baik atau buruk.
Seorang perempuan dewasa yang telah berkeluarga di Bali, sependek pengetahuan saya yang belum berkeluarga, punya terlalu banyak tugas. Urusan pekerjaan, bagi mereka yang bekerja di luar rumah, apapun profesinya, tentu sudah cukup melelahkan diri mereka. Urusan domestik lalu kerap kali dianggap sebagai ranahnya yang utama: mengurus suami, mengurus anak, menyiapkan hidangan, memastikan hunian bersih dan rapi, dan lain-lain. Di Bali, urusan adat-relijius menambah tugas perempuan: memastikan bahwa persembahan sudah dihaturkan setiap hari, mengingat hari-hari adat-keagamaan untuk mempersiapkan persembahan dan mempersembahkannya, serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan adat.
Semuanya kerap dianggap sebagai keharusan dan tanggung jawab dari perempuan (terutama urusan domestik dan kerja adat yang spesifik). Semuanya seringkali harus dilakukan dengan ikhlas, sepenuh hati, dan sempurna. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara melakukannya ketika semua ini begitu melelahkan setengah mati, ketika mati atau menjanda bukan pula menjadi jalan keluar terbaik?
Pekerjaan saya memberi ruang yang begitu besar untuk berinteraksi dengan ibu-ibu, perempuan-perempuan di desa. Saya melihat mereka menyembunyikan kelelahannya, kerap kali mereka kemudian bercerita tentang keletihan mereka dalam menuntaskan hari. Mereka lalu menemukan dukungan ketika berada di antara sesama perempuan. Terlebih lagi, dukungan itu menjadi solidaritas sebab mereka merasakan hal yang kurang lebih serupa, satu sama lain. Pertemuan ini membebaskan; ia menjadi gelanggang para ibu untuk berlari sejenak dari kenyataan dan tugas-tugas mereka yang saking banyaknya justru dianggap biasa dan terberi, tidak dapat diganggu gugat. Ternyata rumah, bagi banyak perempuan, bukanlah tempat ternyaman untuk menjadi diri yang merdeka. Lantas, rumah itu apa?
Bu Darmi-Bu Darmi di sekeliling kita, dan kita kemungkinan juga menyusup di antaranya, berlindung di balik frasa “nak mula keto”, memang begitu adanya. Padahal, di balik kita semua, terdapat sistem patriarki yang laten, mendarah daging, secara tidak sadar menghegemoni kehidupan kita di Bali, yang membuat kita cenderung abai terhadap realitas perempuan Bali. Para Bu Darmi ini, jangankan disuruh berdemo tentang melawan patriarki yang opresif, untuk berpikir bahwa ada kesalahan saja bisa jadi mereka belum sampai. Bukan karena tidak mau dan tidak pintar, tapi pekerjaan mereka untuk mengurus kerja-kerja domestik, kerja untuk penghidupan, dan kerja adat, sudah begitu menyita waktu dan menguras energi mereka. Lebih baik menyelesaikan apa yang ada di depan mata, kan?
Jika ulasan tentang Bu Darmi saya lanjutkan, tulisan ini sepertinya tidak akan berhenti. Jika pengalaman pahit perempuan adalah kata-kata, maka titik itu masih begitu jauh dan tak terlihat untuk menghentikannya. “Bu Darmi” setidaknya mencoba menjadi koma yang menjegal kata-kata itu, walaupun kembali lagi, titik itu masih begitu jauh.
Warna baru
Album ini dibuka dengan “Beragam Warna”, trek yang memperlihatkan ragam suara dari Man Angga, Kupit, dan Cok Gus. Saya ingat sempat mengirim pesan dalam grup WhatsApp yang berisi kawan-kawan karib sesama pendengar Nosstress ketika pertama kali mendengarkan album ini: “Antara sedih atau seneng denger lagu pertamanya.” Lagu ini seolah mendekatkan saya dengan perpisahan, bahkan sejak pertemuan pertama. Lagu ini seakan ingin mempersiapkan saya sebagai pendengar, untuk mendengar seperti apa Nosstress tanpa Cok. Sayangnya, pada sleeve rilisan fisik Istirahat, tidak tertulis secara detail kontribusi para musisi pendukung pada tiap lagu. Padahal saya begitu penasaran dengan apa yang dilakukan Cok di tiap lagu. Sayup saya dengar suara beratnya di beberapa lagu, kemudian saya berpikir apakah isian pianika di lagu lainya adalah punyanya, apakah ketukan perkusif yang samar adalah miliknya? Ataukah ada yang lainnya?
Secara suara, saya tak bisa mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang begitu baru bagi Nosstress. Semakin kayanya elemen suara dalam lagu-lagu mereka memang sudah mulai terasa bahkan sejak album Ini Bukan Nosstress. Tetapi ada suara yang saya rasa segar dalam album ini, mungkin dari pemilihan nada dalam lagu-lagunya. Mungkin pula pada suara vokal Man Angga yang terdengar mendapat porsi lebih. Atau mungkin juga pada upaya yang saya tak tahu sadar atau tidak sadar melakukan untuk mempersiapkan telinga kita, bahwa untuk sekarang dan seterusnya, Nosstress tak lagi berformat trio.
Apapun itu, saya berharap berkurangnya satu personil dalam Nosstress tidak akan membuat mereka berhenti menelurkan karya-karya yang bernas, apalagi kini mereka bisa melakukannya di Taman Bermain Nosstress. Dalam kesederhanaan, mereka dan karya-karyanya mampu mengajak saya dan mungkin banyak pendengar lainnya untuk berpikir lebih dalam. Pun jika tidak, setidaknya lirik-lirik bernada mereka terus terngiang dalam kepala, entah untuk kita nikmati atau untuk mengusik kita agar berbuat sesuatu.
Istirahat seolah melemparkan saya pada era Perspektif Bodoh I dan II. Kerap kita terlalu berpikir yang rumit, sehingga lupa, atau tak sadar bahwa jawabannya ada di depan mata. Padahal, seringkali jawabannya ada di dalam diri kita sendiri. Harus berbuat apa? Harus bersisian dengan siapa? Album ini gamblang dan jujur, sarat sekaligus apa adanya. Saya pikir Nosstress pun demikian. Jura terima kasih saya untuk Nosstress, para musisi pendukung, dan Wild Drawing yang memvisualkan Istirahat dengan ciamik betul.
Album ini digarap Nosstress secara swadaya di masa pandemi yang memaksa kita untuk beristirahat, sesuai dengan judulnya. Masa-masa yang membuat kita begitu merindu pada pertemuan-pertemuan fisik, ajang bertukar cerita. Ini menjelaskan mengapa nomor “Kita Bicara” adalah terfavorit saya, sebab ia dengan tepat menggambarkan kekangenan pada klangenan saya untuk saling bicara dan saling dengar bersama kawan-kawan baik. Petikan gitar diiringi suara pianika di tengah lagu, beserta senandung yang nadanya begitu menyenangkan hati. Mungkin memang benar, asa bersama baiknya dirawat dengan terus dirapal dan diceritakan untuk ia bergema, sehingga ia akan terus ada di sana, dan kita akan menuju ke sana, bersama-sama. Jadi, kapan lagi kita kan berjumpa?
Kembali ke perumpamaan segelas air putih, kini gelas saya telah terisi. Namun, saya baru menyadari bahwa Nosstress dan Istirahat, beserta karya-karya mereka lainnya, tak hanya mengisi gelas saya. Mereka mengingatkan saya untuk tak sampai mengisi gelas itu hingga isinya meluap. Gelas air semestinya menyediakan sedikit ruang kosong supaya memudahkan kita minum, dan agar membuat kita ingat pula untuk mengisinya. Akan tetapi, jika gelas kita masih penuh, alangkah indahnya untuk berusaha membaginya dengan kawan lainnya yang mungkin sedang kehausan. Kini makna “cukup” yang saya singgung di awal dapat direfleksikan kembali. Apakah cukup yang baik adalah kondisi ketika kita merasa cukup untuk diri kita sendiri, atau ketika kita setidaknya berusaha sekecil apapun untuk membantu lainnya meraih cukup tersebut? Seperti kata Nosstress, mari pikir yang sebaiknya.