
Debur ombak menghantam tebing laut nan tinggi. Sementara di permukaan tebing, berjarak kurang dari tiga meter berdiri megah sebuah villa. Villa itu belum jadi, masih setengah terbangun, sebagian bangunannya ada bekas material terbakar. Sisa demo beberapa masyarakat Bugbug yang kontra terhadap pembangunan villa.
Villa Neano, apabila melihat dari lanskap Google Earth Pro, sudah ada bangunan utuh di dekatnya yang terdekat Google Maps yaitu Neano Cliff Resort, berlokasi di sebuah tanjakan curam kawasan Samuh, Jalan Raya Bugbug, Sengkidu, Kecamatan Manggis, Karangasem. Kabar terakhir yang didapat pada Selasa (19/09) telah ditetapkan 13 tersangka atas pembakaran bangunan proyek Villa dekat Neano Cliff Resort.
Ketiga belas tersangka itu merupakan bagian dari masyarakat Bugbug yang kontra terhadap proyek pembangunan villa tersebut. I Gede Putra Arnawa, Ketua Tim 9 atau Gema Shanti mengungkapkan ada beberapa kejanggalan pembangunan villa tersebut. Kejanggalan pertama yang ia pertanyakan adalah soal izin. “PUPR mengatakan ini (Villa Neano-red) UMKM, jadi gak perlu izin lingkungan keluarlah SPPL saja, inilah diusulkan ke kementerian untuk dikeluarkan persetujuan lingkungan,” ungkap Putra yang diwawancarai pada Minggu (17/09).
Putra menambahkan SPPL pengajuannya amat mudah, hanya dengan mencantumkan pernyataan mandiri dari pemilik perusahaan. “SPPL membuat pernyataan sendiri, dokumennya cukup dengan pernyataan mandiri bahwa sudah sesuai, inilah penyelundupan informasi,” sebutnya. Aturan mengenai pengajuan SPPL diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 7 aturan tersebut mengatur tentang jenis usaha yang dapat menggunakan SPPL saja, yaitu jenis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan tidak memberikan dampak terhadap lingkungan. Lebih lanjut Pasal 8 aturan ini menyebutkan dampak usaha yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan terdapat 9 poin. Salah satunya, adalah usaha tersebut berdampak terhadap kemerosotan lingkungan hidup.
Putra juga berpendapat, bahwa usaha villa ini merupakan bagian dari penanaman modal asing (PMA), yang baginya disulap sedemikian rupa agar hanya melalui persyaratan usaha dengan kategori UMKM. Regulasi tentang kepemilikan tanah bagi WNA diatur dalam beberapa peraturan nasional. Hak yang didapatkan bagi WNA yaitu hak pakai dengan jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun. Itu dapat diperbarui lagi untuk jangka waktu maksimal 30 tahun. “Usaha ini kategori menengah besar tapi disulap menjadi menengah kecil, UMKM, itu kan usaha menengah kecil mikro. Masak PMA usahanya mikro, inilah terjadi polusi,” ungkap Putra menggebu.

Putra juga menyoroti tentang lokasi pembangunan villa yang tergolong berada di kawasan sempadan jurang dan kawasan suci. RTRW Provinsi Bali tahun 2023-2043 merangkum beberapa hal yang berkaitan dengan pemanfaatan sempadan jurang. RTRW terbaru itu menuliskan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, mencakup bangunan permanen, jaringan jalan, bangunan tempat suci, DTW alam, olahraga petualangan.
Apabila mengacu pada RTRW Kabupaten Karangasem, sempadan jurang termasuk dalam kawasan perlindungan setempat. Lebih khusus, sempadan jurang tergolong kawasan kearifan lokal lainnya. Kawasan perlindungan setempat merupakan bagian dari pola ruang kawasan lindung.
RTRW ini memaknai kawasan perlindungan setempat sebagai kawasan lindung pada kawasan-kawasan tertentu. Fungsinya untuk memberikan perlindungan terhadap potensi dan sumberdaya yang berada di kawasan tersebut.

Menurut Putra, penjelasan yang terdapat dalam RTRW Karangasem telah menjelaskan dengan gamblang bahwa daerah sempadan jurang dilarang membangun. “Sempadan jurang dilarang ada pembangunan permanen,” jelasnya.
Putra menganalogikan, dua kali tinggi jurang di atas 70 meter, dua kalinya berarti 140 meter, menurutnya daratan telah habis dibangun. Ia menambahkan kondisi itu kian diperburuk karena di bawah terdapat Pura Njung Awit. Menurutnya, keberadaan vila tersebut termasuk dalam zonasi sempadan pura dan tidak diperbolehkan membangun di atas jurang.
Pembangunan yang diperbolehkan dari pengamatan Putra adalah kegiatan yang mendukung bangunan pura dan aktivitasnya. Seperti rumah untuk pengempon pura maupun bangunan yang berbasis kerakyatan masyarakat. Putra dan beberapa masyarakat Bugbug menyayangkan pembangunan villa tersebut, yang dinilai tidak sesuai dengan tata ruang dan kearifan lokal di Bali.
Tanggapan Pemerintah Desa Adat Bugbug

Desa Adat Bugbug telah sejak lama menyewakan tanah desa adatnya. Salah satunya tanah desa adat yang disewakan kepada investor asal Korea Selatan di Bukit Asah. Kontrak sewanya berlaku selama 30 tahun. Menurut Nengah Sirnu, Nayaka (Sabha) Desa Adat Bugbug bahwa dalam perjanjian disepakati harga tanah itu Rp600 ribu per arenya. Sedangkan dengan investor Villa Neano ini di bukit lain, di Bukit Gumang.
Menurut Sirnu, warga yang kontra terhadap pembangunan villa mempersoalkan lokasi pembangunan yang dekat dengan Pura Bukit Gumang. “Padahal kan lain itu jauh,” jelas Sirnu pada Minggu (17/09). Sebelum proses kontrak antara investor dengan pihak desa adat terjadi, Sirnu mengaku bahwa Prajuru Desa Adat Bugbug mengundang masyarakat di 12 banjar Desa Bugbug untuk mensosialisasikan adanya beberapa pembangunan di Bugbug.
“Tujuannya itu, satu akan mengurus air agar lebih bagus, kedua ngenteg linggih di Gumang membangun gapura itu, ngenteg linggih melebarkan jalan, menata kolam termasuk sudah mengontrakkan Njung Awit yang Neano ini,” papar Sirnu.

Pihak Prajuru Desa Adat Bugbug tidak melewatkan adanya kesempatan tawaran mengontrak tanah dari investor Villa Neano. Awalnya dihargai Rp5 juta/are. Namun, Desa Adat Bugbug negosiasi dengan investor dan meningkatkan harga menjadi Rp10 juta per are. Sirnu mengungkapkan seluruh pendapatan itu akan kembali ke Desa Adat Bugbug.
Hal yang dipersoalkan yaitu makna kata ngesahang dalam Pawos (Pasal-red) 28 Awig-awig Desa Adat Bugbug. Pawos (pasal-red) itu menjelaskan dilarang memperjual belikan dan ngesahang, memisahkan kekayaan desa adat ke orang lain. Menurut Sirnu, kontrak sewa tanah tidak menyalahi aturan adat di Bugbug. “Ngontrakkan nika ten je ngesahang (mengontrakkan itu bukanlah ngesahang-red), ngesahang itu melepaskan wit, menjual ten dados (tidak boleh-red),” tutur Sirnu.
Undang-undang dan perda yang mendasari pembangunan villa tersebut menurut Sirnu telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Aturan adat hingga perangkat desa adat yang bertugas menurutnya tidak melanggar ketentuan apapun. “Ini semua dipilih, inilah mengadakan rapat prajuru, ini rapat mengundang banjar, disampaikan sosialisasi,… kita punya ikatan warga Bugbug singaraja dan semuanya semua tidak ada masalah,” jelas Sirnu.

Meskipun telah mengadakan sosialisasi, persetujuan akhir untuk menyetujui kontrak penyewaan tanah desa berada di pengurus desa. “Tetap yang menentukan Prajuru (Pengurus) Desa bersama Nayaka,” tegas Sirnu.
Desa Bugbug tergolong desa tua di Bali. Ada sedikit perbedaan dibandingkan dengan kepengurusan desa adat di Bali pada umumnya. Perbedaanya, di Desa Bugbug memiliki seorang Jro Bandesa, yang khusus mengurus tatanan ritual. Sedangkan, Kelian Desa yang sama dengan Bandesa merupakan seseorang yang bertugas membangun desa berdasarkan prinsip dasar Tri Hita Karana. “Kelihan desa terkait pembangunan Tri Hita Karana itu Purwa (nama Kelian Desa Bugbug-red), termasuk penghasilan desa dan pembangunan desa termasuk cara mendatangkan uang,” lanjut Sirnu.
Lihat Struktur Perangkat Desa Bugbug: https://www.desaadatbugbug.com/struktur-organisasi/
Kondisi di Lapangan

Tim liputan menelusuri tempat pembangunan villa yang dimaksud. Sandaran yang dekat dengan Pura Njung Awit hanya sekitar selebar 2 meter. Konsep bangunan yang bertingkat itu, salah satunya memiliki pondasi bangunan yang langsung berhadapan dengan tebing dan lautan. Hanya dipisahkan tumbuhan dengan akar yang telah tercabut. Deburan ombak bersatu dengan angin yang kencang menghanyutkan.
Bangunan villa ada yang sudah jadi dan beberapa bangunan tampak setengah jadi dan baru hanya rangka saja. Beberapa material seperti besi, semen, dan tegel bertumpuk menjadi satu dengan debu tanah. Tepat di bawahnya berdiri Pura Njung Awit yang menghadap laut lepas. Ombak yang menghantamnya seolah memberi pesan, ini hanyalah tempat berdialog alam dan sang penciptanya.